Makassar (ANTARA) - Pengembangan Kawasan Wisata Karst Rammang-rammang yang berpusat di Kampung Berua, Dusun Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, terkendala perubahan iklim sejak beberapa tahun terakhir.

Ketua RT Kampung Berua Darwis ketika dihubungi dari Makassar, Senin, mengatakan bahwa ia bersama warga kesulitan membaca perubahan iklim yang dari tahun ke tahun semakin tidak menentu.

Kampung Berua sebagai pusat Kawasan Wisata Rammang-rammang yang dikelilingi batu karst dengan segala keindahan alamnya, kerapi terendam banjir. 

Terhitung telah tiga kali terjadi banjir di kawasan tersebut sejak musim penghujan tahun 2021-2022.

Alhasil, perubahan iklim ini banyak dirasakan warga, mulai dari seringnya banjir, air sungai yang cepat meluap, intensitas hujan semakin meningkat hingga perubahan keasaman air setempat.

"Memang ada perubahan, jika sebelumnya banjir terjadi karena hujan selama 5 hari berturut-turut, kini cukup hujan 3 jam saja, semuanya sudah terendam air," kata dia.

Sebelumnya, warga Kampung Berua mempercayai sekaligus mewaspadai dua waktu yang menjadi masa tingginya curah hujan, yakni tahun baru Masehi dan tahun baru China. Hanya saja, itu tidak lagi bisa menjadi patokan.

Masyarakat Kampung Berua mulai sadar bahwa telah terjadi pergeseran iklim yang diperparah oleh sejumlah kebijakan.

Darwis mengungkapkan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan seringnya terjadi banjir di Kampung Berua, seperti penyempitan Sungai Pute, pendangkalan sungai, serta sejumlah proyek sekitar kawasan wisata yang dinilai penanganan lingkungannya kurang baik, termasuk pembuatan jembatan Bosowa.

"Jadi ketika ada proyek negara, mereka menganggap cuma sedikit perubahannya, tapi sebenarnya itu malah berdampak dan berlangsung lama. Kemarin anggapannya Bosowa cuma sedikit yang diambil, tapi itu berpengaruh ke sungai," ungkap Darwis.

Empat tahun lalu, kata Darwis, perubahan iklim dan cuaca semakin terasa signifikan. Perubahan itu terjadi setelah adanya rehabilitasi sungai dari wilayah Bantimurung. 

Rehabilitasi tersebut memperlebar aliran sungai sehingga dipastikan debit air semakin deras mengalir ke muara, dan mengakibatkan air sungai meluap lebih cepat dari biasanya.

"Sumber dan muaranya ke sini, padahal dulu kan lebih lambat, jadi bersamaan di sini air meluap," tambah mantan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Salenrang.

Selain itu, krisis iklim berakibat pada tingkat keasaman garam air di Kampung Berua. Jika sebelumnya keasaman garam air setempat mulai naik di bulan Juni, kini periodenya semakin turun yakni Oktober maupun November. Sehingga selama iklim seperti ini, durasi air tawarnya lebih lama.

Lebih jauh, krisis iklim yang terjadi mulai berdampak pada inisiasi masyarakat untuk budidaya ikan. Intensitas hujan dan cuaca yang tidak menentu berakibat pada tambak ikan warga yang gagal panen, akibat banjir.

Meski demikian, pemuda setempat mulai memikirkan untuk melakukan budidaya ikan tawar, lantaran keasaman garam air tambak semakin menurun. Kondisi ini akan dimaksimalkan untuk budidaya ikan sebagai salah satu penopang pariwisata dan menarik perhatian wisatawan.

Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulsel Andi Nur Hasbi mengemukakan bahwa berdasarkan data secara umum,  kondisi cuaca ekstrem di Sulsel semakin sering terjadi. Hal tersebut dipastikan berdampak pada curah hujan hingga mengakibatkan banjir.

"Secara umum, memang ada peningkatan intensitas hujan. Tetapi kita tidak bisa mengukur curah hujannya karena itu berdasarkan zona," katanya.

Ia menjelaskan terdapat dua alasan utama terjadinya banjir, yakni curah hujan yang tinggi. Ini pun terjadi karena krisis iklim mengakibatkan perubahan iklim dan mengakibatkan curah hujan meningkat.

Luasan penyerap air yang semakin sempit dan sedikit atau tutupan lahannya kecil sehingga aliran air semakin besar. Termasuk alih fungsi lahan yang dipastikan bisa berdampak pada lingkungan.

Pewarta : Nur Suhra Wardyah
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024