Kupang (ANTARA Sulsel) - Lima suku adat di Kecamatan Biboki Feotleu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), menggelar sumpah adat menolak rencana TNI-AD membangun markas Batalion Infanteri 746 dan Kavaleri Tank di wilayah mereka.

"Ritual adat ini terpaksa kami gelar menyusul tindakan sejumlah warga yang telah menjual lahannya seluas sekitar 20 hektare untuk kepentingan pembangunan Yonif 746 dan Kavaleri Tank tanpa melakukan konsultasi dengan tokoh adat setempat," kata Simon Daiton, salah seorang tokoh adat setempat, Kamis.

Lima suku adat yang menggelar upacara menolak pembangunan markas Yonif 746 dan Kavaleri Tank di wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah kantung Timor Leste, Oecusse itu, adalah Suku Afeanpah, Anmuni, Ustetu, Taitoh dan Suku Atitus.

"Ritual adat itu kami lakukan pada awal bulan ini di Fatunaibo, perbatasan antara Desa Naku dan Makun di wilayah Kecamatan Biboki Feotleu. Kami merasa tidak dihargai sebagai tokoh adat oleh oknum warga yang melepas lahannya untuk kepentingan TNI-AD," katanya.

Daiton yang juga keturunan Raja Feotleu itu mengatakan, lahan seluas sekitar 20 hektare yang dilepas untuk kepentingan rencana pembangunan batalion dan markas Kavaleri Tank tersebut adalah milik Suku Tobe.

"Suku ini tidak pernah melakukan konsultasi dengan tokoh adat yang ada di Biboki, sehingga kami dari lima rumpun suku adat yang ada melakukan ritual adat menolak rencana TNI-AD membangun markas batalion dan Kavaleri Tank di TTU," ujarnya.

Para tokoh adat dari lima suku adat yang ada di Biboki menolak rencana pembangunan markas batalion dan Kavaleri Tank tersebut, karena wilayah Oecusse dan Timor Leste pada umumnya, bukan merupakan ancaman yang serius bagi keutuhan NKRI.

Dari sisi pertahanan keamanan negara, TNI-AD memandang penting membangun kekuatan militer di wilayah perbatasan, karena Indonesia berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia.

Ketika TNI-AD hendak membangun markas Yonif 744/Satya Yudha Bhakti (SYB) di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU, masyarakat setempat juga menolaknya, namun akhirnya menerima kehadiran batalion yang pernah berjaya selama menjalankan misi operasi di Timor Timur, ketika wilayah bekas koloni Portugis itu masih menjadi bagian dari NKRI.

"Ritual adat ini merupakan langkah terakhir kami dalam upaya menolak rencana TNI-AD membangun markas Yonif 746 dan Kavaleri Tank di TTU," kata Leo Anmuni, seorang kepala suku setempat menambahkan.

Komandan Kodim TTU, Letkol Inf AM Sinaga yang dikonfirmasi secara terpisah mengatakan, pihaknya tetap terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pembangunan batalion dan Kavaleri Tank di wilayah perbatasan negara.

"Reaksi protes dari sejumlah elemen masyarakat terhadap rencana TNI-AD membangun markas batalion dan kavaleri tersebut cukup hebat, namun kami tetap berupaya meyakinkan mereka tentang manfaat pasukan di perbatasan, sehingga rencana tersebut bisa terealisasi," katanya.
(T.L003/P004)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024