Makassar (ANTARA) - Kuasa hukum sejumlah media tergugat menanggapi bukti surat yang diajukan pihak penggugat kepada majelis hakim yang memeriksa perkara gugatan perdata terdaftar di PN Makassar dengan No: 1/Pdt G/2022/PN Mks tertanggal 5 Januari 2022. 

Kuasa Hukum Media Tergugat IV dan V, Dr Mumahammad Al Jebra Al Iksan Rauf SH MH mengatakan klaim kerugian investasi pihak tergugat atas pembatalan proyek dengan nilai ratusan triliun rupiah bukan diakibatkan oleh pemberitaan media, melainkan tidak memenuhi kriteria agreement proyek.

"Ada yang menarik dari bukti-bukti yang diajukan (penggugat) terkait pemabatalan proyek Heads Of Agreement ‘Royal Talloo Rivertfront City Resort di Pulau Lakkang. Ternyata kita temukan dalam bukti (P-21) tersebut bahwa pembatalan kontrak bukan disebabkan kesalahan media (pemberitaan), tapi karena mereka tidak mematuhi agreement proyek yang disyaratkan oleh pihak investor," kata Dr Al Jebra, sapaan akrabnya, usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Kamis (9/6).

Sidang lanjutan kasus perdata itu mengagendakan pengajuan bukti surat dari pihak tergugat yang pada sidang sebelumnya yang digelar Kamis (2/6) dinyatakan belum lengkap, terkait penguasaan dokumen di kantor pusat.

Lebih jauh Al Jebra mengatakan dari bukti surat tersebut, dapat diartikan adanya pemutusan kontrak sepihak antara investor dengan penggugat, dimana gugatan perdata yang dimaksud tersebut harusnya dialamatkan ke pihak investor, bukan kepada enam media.

"Jadi kalau pemutusan kontrak sepihak harusnya mereka (investor) yang ditarik masuk sebagai pihak yang bersengketa langsung, karena mereka memiliki kepentingan langsung dengan Penggugat," sebutnya.

Untuk itu, bukti surat yang diserahkan pihak penggugat terkait klaim investasi yang dimaksud, kata Al Jebra, patut dipertanyakan. Pasalnya, investasi asing dalam bukti surat pihak penggugat dalam hal pembangunan di Pulau Lakkang tidak menunjukkan adanya pelibatan pemerintah baik daerah maupun pusat.

"Kesepakatan pembangunan Pulau Lakkang dan Pulau Raja Ampat jika dilihat dari  bukti P-19 s/d P22 adalah bentuk dari investasi asing. Kalau ingin membangun setidaknya harus ada pelibatan pemerintah baik daerah maupun pusat. Ini tidak ada sama sekali," urai Jebra.

"Kontradiktifnya adalah bukti P-19 dan P-22 bahwa yang mengajukan proyek proposal anggaran adalah PT Biizdnillah Tambang Nusantara, BTN Power (M) SDN, BHD, ADP Daya Prima dan The Regency Of Sulawesi. Namun, Penggugat merasa dirugikan. Inikan lucu, siapa yang merasa dirugikan? Seolah yang mendapatkan proyek pekerjaan itu adalah Penggugat, nyatanya tidak," sambung Al Jebra.

Menurut dia, bukti surat yang diajukan terkait kesepakatan membangun Pulau Lakkang dan Raja Ampat di Papua. Namun menjadi pertanyaan, apakah Penggugat juga penguasa di Papua, sehingga mengajukan gugatan terhadap Tergugat.

Sementara Kuasa Hukum Media Tergugat VI Esa Mahdika SH menilai bukti surat yang diserahkan pihak penggugat sudah melenceng dari gugatan sebelumnya, dimana memperkarakan pemberitaan media yang harusnya menjadi Delik Pers.

"Apa yang ditunjukan dalam alat bukti oleh penggugat menurut kami sudah melenceng jauh dari gugatannya. Gugatannya ini mengenai Delik Pers, yakni atas pemberitaan media-media yang digugat, bukan gugatan sengketa waris kerajaan atau siapa yang berhak untuk dikukuhkan menjadi Raja. Menurut kami hal ini jelas menunjukkan telah kaburnya gugatan Penggugat," tegasnya.

Adapun mengenai kontrak kerja sama atau apapun bentuknya, kata Esa, juga tidak berkaitan dengan media Tergugat. 

Menurut dia, jika penggugat merasa dirugikan atas kontrak proyek, harusnya mengajukan gugatan wanprestasi atau semacamnya dengan pihak yang membuat kesepakatan dengan pihak penggugat.

Selain itu, lanjut Esa, perlu diperhatikan dalam alat bukti penggugat pada P-21 yang menyebutkan Yang Maha Mulia tidak pernah ditabalkan sebagai Sultan tak memenuhi kriteria yang diperlukan dalam agreement proyek.

"Maka dengan demikian ini ada kualifikasi dari penggugat yang sebenarnya tidak memenuhi sebagaimana agreement proyek yang dimaksud," kata Esa.

Atas dasar itu, Esa menilai gugatan yang ditujukan kepada enam media oleh penggugat semakin tidak jelas. Dimana disebutkan bahwa media tergugat telah melanggar hukum dalam Delik Pers mengenai cover both side yang didalilkan pihak penggugat.

"Yang mana dimaksud melanggar hukum dalam gugatan dan repliknya? Sampai dengan sidang tadi tidaklah terbukti ada bukti hak jawab dari Penggugat sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers Jo Peraturan Dewan Pers No 9/Peraturan DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab," sambung Esa.

Selain itu, kata dia, bila yang diperkarakan terkait status Raja Tallo, maka harusnya yang digugat adalah narasumber dalam berita tersebut. Sementara bila perkara tersebut berkaitan dengan bisnis, maka gugatan itu dialamatkan ke para pihak yang membuat suatu perikatan, sebagaimana Pasal 1338 KUHPerdata yakni "Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya".

"Jadi dalam perkara ini jelas tidak ada hubungan hukum antara media dengan yang membuat perjanjian dengan Penggugat," ujarnya. 

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024