Jakarta (ANTARA) -
Plastik merupakan polimer yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua produk mengandung plastik mulai kendaraan, furniture sampai perlengkapan dapur. Bahkan 90 persen kemasan pangan juga menggunakan bahan plastik.
 
Kampanye daur ulang plastik terus digaungkan, namun, sebagian besar akan menjadi sampah dan berakhir di sungai, waduk sampai terakhir masuk ke laut, kemudian terurai menjadi mikroplastik yang ikut masuk dalam tubuh hewan air.
 
Jumlah sampel ikan di Indonesia yang mengandung mikroplastik bahkan 5 kali lebih banyak dibandingkan di Amerika. Fiber dan fragmen adalah jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan di tubuh ikan.
 
Dosen Oseanografi dan Biologi Laut Fakultas Ilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria mengatakan, berdasarkan hasil penelitiannya di Muara Kamal, dalam satu kerang hijau dapat mengandung 7 hingga 469 partikel mikroplastik. Kerang laut akan menyaring air laut untuk mengambil bahan makanannya sehingga Mikroplastik masuk dalam pencernaannya.
 
Penelitian itu menjadi bukti nyata sampah mikroplastik mengancam ekosistem dan kesehatan manusia.
 
Data dari Pusat Riset Geoteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, memperkirakan rasio jumlah plastik terhadap ikan di laut pada 2025 adalah 1 berbanding 3, artinya laut akan semakin jenuh dengan mikroplastik.
 
Jika tidak upaya mengurangi sampah plastik maka diprediksi pada 2050 diperkirakan jumlah sampah plastik akan lebih banyak dibandingkan jumlah ikan di laut. Artinya semakin banyak produk pangan laut yang sudah terkontaminasi mikroplastik.
 
Mikroplastik merupakan partikel plastik atau fiber dengan ukuran < 5 mm. Ada dua tipe mikroplastik ini yakni primer dan sekunder. Mikroplastik primer diproduksi dalam ukuran yang sangat kecil, contohnya polyethylene microbeads yang banyak terdapat pada produk kecantikan. Sedangkan mikroplastik sekunder berasal dari degradasi plastik sekali pakai yang berukuran lebih besar.
 
Selain itu, ada juga serat mikroplastik yang merupakan serat sintetis seperti polyester atau nylon yang digunakan untuk bahan pakaian, mebeler, senar pancing dan jaring ikan.
Tanpa disadari saat mencuci baju dari serat sintetis maka secara tidak langsung ada buangan mikroplastik yang akhirnya terbawa air dan berujung masuk ke laut.

Semua mikroplastik yang sudah masuk laut akhirnya ikut terbawa arus dan menyebar ke seluruh perairan dunia sehingga dapat ditemui dari perairan tropis hingga laut arktik.

Penelitian yang dipublikasikan oleh Institut Alfred Wegener di Pusat Penelitian Kutub dan Kelautan Helmholtz (AWI), Jerman, pada April 2022, kandungan mikroplastik yang tinggi ditemukan di air, dasar laut, pantai-pantai terpencil, sungai dan bahkan di es dan salju di seluruh wilayah Arktik.

Penelitian itu mengungkap, setiap tahun ada 19 sampai 23 juta metrik ton sampah plastik berakhir di sistem perairan dunia.
Demikian juga di Indonesia, mikroplastik dapat ditemukan di perairan laut, sedimen sungai, estuari, sedimen di lingkungan terumbu karang, bahkan dalam perut ikan.

Sampah plastik yang terpendam bertahun-tahun di tanah juga terurai menjadi mikroplastik yang ikut terserap tanaman melalui serapan air tanah yang tercemar. Sejumlah sayuran yang ditanam di lahan bekas timbunan sampah ternyata juga mengandung mikroplastik.

Ayam kampung yang mencari makanan di sekitar areal sampah juga sudah terbukti di darah dan telurnya mengandung mikroplastik.
Bahkan polusi udara juga mengandung mikroplastik berukuran 10 – 25 nm yang dapat terakumulasi di saluran pernafasan dan paru-paru hewan dan manusia sehingga akan mengganggu sistem pernapasan.
Jadi ancaman mikroplastik sudah berada dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Jika saja ada alat ringkas yang mampu mendeteksi keberadaan Mikroplastik di bahan pangan maka nilai makanan akan tergantung konsentrasi Mikroplastik itu.Ini tantangan dunia riset untuk menciptakan alat tersebut untuk mendeteksi cemaran Mikroplastik.


Beberapa cara
Peneliti Eka Chlara Budiarti dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) menjelaskan bahwa mikroplastik dapat memasuki tubuh manusia memiliki beberapa cara beberapa di antaranya, seperti pernapasan, pencernaan dan paparan terhadap benda plastik yang sudah mengalami pelapukan.

Pernapasan itu diakibatkan dari ada faktor dari udara, tidak hanya di dalam ruangan yang terdapat perabotan plastik yang terlapuk dan terikut dari udara, yang akhirnya menyebarkan serpihan atau serbuk dari pelapukan benda plastik, tapi juga bisa dari baju kita.

Partikel-partikel tersebut, yang terjadi akibat adanya pelapukan, bisa masuk ke dalam saluran pernapasan. Hal itu dikarenakan ukuran partikel plastik yang sangat kecil, bahkan terdapat juga yang berukuran nanometer.

Selain itu, mikroplastik juga dapat masuk ke tubuh manusia melalui pencernaan ketika mengonsumsi bahan pangan yang sudah tercemar mikroplastik seperti ikan, daging ayam, telur dan sayuran yang terkontaminasi.

Untuk paparan, bisa terjadi ketika menyentuh bahan plastik yang sudah mengalami pelapukan dan ukuran partikel plastik yang sangat kecil dapat masuk lewat pori-pori.

Sebelumnya, polusi mikroplastik juga sudah ditemukan di dalam darah manusia. Penelitian yang dipublikasikan di Environment International menyatakan peneliti yang menganalisa sampel darah 22 orang menemukan partikel plastik hampir 80 persen dari orang yang diuji.

Setengah dari sampel darah mengandung plastik PET, yang umum digunakan dalam botol kemasan dan terdapat pula kandungan polistirena yang biasa dipakai untuk kemasan makanan.

Mikroplastik mempunyai ukurannya yang hampir sama dengan molekul darah itu sendiri sehingga bisa tertransfer lewat lapisan-lapisan sel, transportasi membran sel.

Mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia dapat terendap di saluran pernapasan dan organ lain seperti hati dan ginjal.

Endapan mikroplastik atau nanoplastik, yang merupakan benda asing di dalam tubuh, tidak bisa dicerna atau diserap oleh tubuh dan bisa menimbulkan iritasi.

Jika dibiarkan terlalu lama peradangan tersebut berpotensi memicu timbulnya tumor sampai menjadi kanker.

Dr. Mufti Petala Patria mengungkap, hasil riset pada beberapa hewan percobaan, mikroplastik akan berpengaruh pada perubahan kromosom yang dapat menyebabkan infertilitas, obesitas, dan kanker.

Selain itu mikroplastik juga dapat menyebabkan respon imun yang tidak normal. Semua dampak negatif itu mungkin dapat terjadi pula pada manusia.

Perlu penelitian lebih dalam untuk mengetahui sejumlah penyakit yang bisa diakibatkan oleh cemaran Mikroplastik yang masuk dalam pencernaan manusia.

Pengganti plastik

Data ilmiah yang dipaparkan seharusnya menggugah kesadaran dan keseriusan dalam mengatasi masalah mikroplastik yang tidak hanya mengancam ekosistem laut tetapi juga kesehatan manusia.

Makin parah cemaran mikroplastik akan memunculkan penyakit baru yang disebabkan residu mikroplastik dalam tubuh manusia dan akhirnya menggerus dana kesehatan global.

Kampanye mengurangi penggunaan plastik harus terus digaungkan termasuk mendaur ulang sampah plastik (recycle) dan menggalakkan kegiatan membersihkan sampah plastik di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, sungai, danau dan laut.

Selain itu yang tak kalah penting adalah memproduksi kemasan ramah lingkungan dari bahan organik yang banyak terdapat di Indonesia seperti serat singkong, daun pandan, kulit jagung, daun jagung, daun kelapa, daun kelapa sawit, pohon rami, daun dan pelepah pisang sampai eceng gondok yang menjadi tanaman penutup di sungai dan danau.

Kemasan pangan, tas belanjaan yang selama ini menggunakan plastik harus bertahap digantikan dengan bahan dari serat alam, apalagi Indonesia kaya akan potensi serat alam.
Indonesia yang menjadi keketuaan G20 bisa menjadi pelopor riset bahan kemasan dari serat alam. Sebagian universitas di Indonesia sudah memulai riset itu sehingga tinggal diperkaya untuk riset mekanisasi yang lebih efisien untuk skala industri dan mencari bahan serat yang banyak terbuang.

Beberapa yang potensial yaitu serat rotan, serat daun kelapa sawit dan daun jagung yang potensinya luar biasa. Biasanya diperlukan perlakuan tertentu terhadap serat alam agar bisa diolah menjadi lembaran kertas serat alam dan dibentuk berbagai kemasan.

Ada pula yang diproses sederhana dengan anyaman seperti serat rotan, eceng gondok, daun pandan, daun kelapa seperti besek, tas jinjing dan keranjang.

Saat ini cassava bag atau plastik berbahan dasar pati singkong yang sudah banyak dijual toko online di Indonesia. Wujud cassava bag sangat mirip dengan kantong plastik biasanya, tetapi teksturnya lebih halus dan lembut.

Dikutip dari laman Green Alley, cassava bag terbuat dari resin alami yang terdiri dari 98 persen pati tapioka, 1 persen minyak nabati, dan 1 persen biopolimer alami yang dapat terurai dan dikonsumsi oleh mikroorganisme dalam tanah.

Sementara berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sustainable Waste Indonesia, cassava bag hanya membutuhkan waktu sekitar 180 hari untuk terurai dalam tanah. Hal ini sangat berbeda dengan kantong plastik biasa yang memerlukan waktu lama hingga benar-benar terurai.

Bayangkan potensi sentra industri kecil kemasan alami itu akan tumbuh dimana-mana jika saja ada kebijakan untuk mewajibkan penggunaan kemasan yang ramah lingkungan itu diberlakukan untuk tas belanjaan wajib di minimarket, supermarket dan pasar tradisional.

Kemasan dari bahan serat alam pasti harganya lebih mahal dibanding kemasan plastik, tetapi untuk menciptakan lingkungan yang sehat memang harus ada investasi yang disiapkan.

Bukankah menjaga kesehatan juga perlu investasi, bahkan pengorbanan untuk menggunakan bahan ramah lingkungan juga demi perlindungan bagi generasi selanjutnya.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cemaran mikroplastik jadi ancaman nyata kesehatan global

Pewarta : Budhi Santoso
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024