Makassar (ANTARA News) - Pengamat Komunikasi Politik Universitas Hasanuddin Dr Hasrullah menilai kekalahan Fauzi Bowo-Nachrawi Ramli yang didukung banyak partai dari Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang diusung PDIP dan Gerindra pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta membuktikan bahwa kekuatan figur lebih berperan daripada kerja partai.

"Kemenangan Jokowi adalah karena kemampuannya dalam memainkan opini publik. Ini membuktikan kekuatan figur lebih berperan di banding dengan kerja-kerja partai, karena memang pilgub itu pemilihan figur, bukan partai," kata Hasrullah dalam dialog politik bertajuk "Fenomena Incumben Tumbang" yang digelar Forum Simpul Madani di Makassar, Jumat..

Ia menuturkan, Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, menampilkan sosok egaliter dengan kesederhanaannya, seperti makan di warung Tegal (Warteg), naik angkutan umum bersama warga, bahkan berboncengan naik ojek.

"Bandingkan dengan incumben yang lebih sering tampil formalistik, protokoler serta simbol-simbol kekuasaan lainnya," kata Hasrullah.

Selain itu, lanjutnya, kemenangan Jokowi atas Fauzi Bowo yang saat ini masih menjabat Gubernur DKI Jakarta sekali lagi menegaskan bahwa kekalahan incumben bukanlah mitos.

"Lima tahun lalu Pak Amin Syam (Gubernur Sulsel 2003-2008) selaku incumben juga kalah," tutur Hasrullah.

Pendapat senada juga diungkapkan Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS Dr Adi Suryadi Culla. Menurut dia, kekalahan pejabat lama sangat berkaitan dengan figur baru yang memiliki rekam jejak kepemimpinan yang menawarkan harapan lebih baik.

"Incumben tidak mustahil dikalahkan. Sejak pilkada digelar 2005 lalu, lebih 40 persen pilkada yang memperlihatkan incumben dijatuhkan. Kasus terakhir di pemilihan gubernur Aceh," ujarnya.  

Faktor kemenangan Jokowi, kata dia, tidak terlepas dari kemampuannya membangun kedekatan emosional dengan konstituennya, termasuk memberi perhatian kepada media dalam hal pencitraan.

"Foke (sapaan akrab Fauzi Bowo, Red) terjebak dalam statistik. Beliau memiliki banyak penghargaan, namun itu tidak selamanya berefek pada perilaku pemilih. Kinerja incumben belum tentu berbanding lurus dengan persepsi publik. Media punya pengaruh besar di sini," ungkapnya

Adi menambahkan, Jokowi dianggap figur alternatif yang mampu menjawab kekecewaan masyarakat terhadap ketidakpuasan terhadap incumben, dan hal itu bisa saja berlaku di Sulsel pada Pilgub 2013 mendatang.  

Selain Hasrullah dan Adi, akademisi UIN Alauddin Firdaus Muhammad dalam diskusi itu menyatakan pilgub di Jakarta menjadi pelajaran berharga bagi semua kandidat di Sulsel.

"Pilgub di Jakarta berbeda dengan pilgub di Sulsel. Incumben maupun penantang di Sulsel pasti belajar dari Pilgub Jakarta. Tapi tidak bisa juga di 'copy paste' (dijiplak, Red). Misalnya Jokowi pakai baju kotak-kotak. Apakah di sini juga harus pakai kotak-kotak?" tuturnya.

Menurutnya, yang berlaku di Jakarta adalah pilihan rasional, mayoritas pemilih menginginkan perubahan, sehingga orang Jakarta tidak mempermasalahkan memilih orang Solo sebagai pemimpinnya.

Sementara di Sulsel, lanjut Firdaus, pilihan masyarakat masih bersifat emosional karena tingkat pendidikan politik masih rendah. "Indeks Demokrasi di Sulsel masih rendah, yakni di urutan 30, jadi rasionalitas pemilih belum begitu kuat," katanya.

Namun demikian, kata dia, proses pendidikan politik di Sulsel terus berjalan. Pendaftaran kandidat yang berjalan damai merupakan bukti adanya pertumbuhan kedewasaan berpolitik di Sulsel.

Bakal Calon Gubernur Sulsel Ilham Arief Sirajuddin yang sempat hadir dalam diskusi tersebut mengaku Pilgub DKI dapat menjadi pelajaran berharga dan patut dijadikan contoh semua kontestan, baik saat bertarung maupun saat meraih kemenangan.

"Tetapi jangan samakan Jakarta dengan Sulsel, jelas itu tidak selaras. Masyarakat membutuhkan pemimpin baru dengan semangat yang baru. Seperti halnya di DKI Jakarta, mereka inginkan perubahan, begitupun di Sulsel," ucapnya.  (T.KR-DF/S024)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024