Jakarta (ANTARA) - Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani awalnya menanggapi positif kritik internasional terhadap catatan hak asasi manusia Qatar mengenai perlakuan terhadap pekerja migran, perempuan dan kaum LGBTQ dalam kaitannya dengan Piala Dunia 2022 yang akan digelar dari 20 November sampai 18 Desember.

Emir Qatar itu bahkan menganggap semua kritik itu konstruktif dalam membantu Qatar mengembangkan aspek-aspek yang dianggap harus dikembangkan atau dimajukan lagi.

Namun, lama kelamaan Sheikh Tamim gerah. Dia merasa kritik tersebut sudah melebar ke mana-mana sehingga mengabaikan esensi utama menghadirkan turnamen sepak bola yang bisa membahagiakan masyarakat global.

Dia akhirnya meradang bahwa "sejak kami mendapatkan kehormatan menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar menjadi sasaran kritik yang tak pernah dihadapi negara tuan rumah mana pun sebelumnya yang pernah menggelar Piala Dunia."

Pemimpin Qatar ini menjadi berprasangka bahwa "ada udang di balik batu" dari semua kritik terhadap negaranya yang justru dikenal sebagai oasis keterbukaan di dunia Arab, khususnya Arab Teluk.

Di negeri inilah pers paling independen di Timur Tengah berada, dalam bentuk stasiun televisi Al-Jazerra. Negeri ini juga aktif membangun persepakbolaan Eropa dengan berinvestasi pada klub-klub besar di benua itu.

Sudah puluhan miliar dolar AS dibelanjakan oleh Qatar untuk mempersiapkan Piala Dunia 2022 sejak mereka dipilih menjadi tuan rumah turnamen ini pada 2 Desember 2010.

Tetapi selama mempersiapkan Piala Dunia 2022, Qatar tak henti menjadi sasaran kritik atas perlakuannya terhadap pekerja asing, LGBTQ, kaum perempuan, bahkan lingkungan.

Amnesti Internasional dan Human Rights Watch menyoroti perlakuan tidak adil Qatar kepada pekerja asing yang turut membangun stadion-stadion Piala Dunia, dalam laporan berjudul "Qatar World Cup of Shame" pada 2016.

Lima tahun kemudian koran terkemuka Inggris, The Guardian, menggelar peliputan investigatif yang menyimpulkan paling sedikit 6.751 pekerja asing meninggal dunia di Qatar dari 2010 sampai 2020.

Berangkat dari laporan ini, sejumlah kota di Prancis termasuk Paris menyatakan tak akan menggelar 'nonton bareng' dalam bentuk fan zone yang menjadi tempat ribuan orang menonton bersama laga-laga Piala Dunia dari layar-layar raksasa.

Langkah itu diikuti oleh Berlin di Jerman dengan menyatakan Gerbang Brandenburg yang rutin menjadi fan zone, kali ini tak akan menggelar nonton bareng Piala Dunia.

Dukungan dari Presiden FIFA

Emir Qatar berusaha membantah semua itu. Dia bahkan mendapatkan dukungan dari Presiden FIFA Gianni Infantino yang menegaskan bahwa laporan ada 6.500 pekerja migran meninggal dunia di Qatar sebagai sama sekali tidak benar.

Infantino justru menyatakan "hanya" ada tiga kematian yang berkaitan dengan Piala Dunia.

Proyek pembangunan venue dan fasilitas Piala Dunia 2022 sendiri diakui Qatar hanya mengambil porsi satu persen dari total proyek konstruksi di negara Arab Teluk ini.

Di sela menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York belum lama ini, Infantino menjamin Piala Dunia 2022 akan menjadi turnamen sepak bola terbesar sepanjang masa.

Infantino mengundang masyarakat antarbangsa agar datang Qatar. Dia menjamin bahwa selama sebulan Piala Dunia, dunia akan bersatu.

Di New York itu, Infantino berkata, "Qatar sedang mempersiapkan sebuah ajang unik dengan menjadi tuan rumah untuk sekitar 2 juta orang yang akan menonton langsung pertandingan dalam turnamen ini di stadion-stadion, dan 5 miliar lainnya di seluruh dunia akan menonton ajang ini, sungguh luar biasa."

Penegasan Infantino ini tak hanya menjadi pembesar hati untuk Qatar yang terus disorot dalam kaitannya dengan masalah HAM dan pekerja asing.

Padahal Qatar adalah satu dari sedikit negara di Timur Tengah yang berusaha menampilkan wajah yang lebih terbuka kepada dunia, mulai dari pers, kesempatan pendidikan untuk semua warga termasuk perempuan, sampai kebijakan ekonomi yang ramah pasar.

Qatar malah acap kali menjadi tuan rumah tidak saja pentas-pentas olah raga global, namun juga pentas budaya, sains, politik dan diplomasi internasional.

Menafikan pemahaman antarbudaya

Kritik terhadap Qatar malah menguatkan ada kecemburuan dan prasangka terhadap negara-negara non Barat yang menjadi tuan rumah turnamen global olah raga. Beberapa waktu lalu China juga menjadi sorotan dalam kaitannya dengan Olimpiade Musim Dingin 2022.

Di satu sisi kritik itu sering merupakan "pemaksaan" cara pandang dan nilai yang diyakini satu kawasan terhadap kawasan lainnya, khususnya cara pandang Barat terhadap sistem-sistem nilai yang berlainan dengan mereka.

Akibatnya, usaha mempromosikan dan memaksakan standar dan nilai-nilai yang berlaku di Barat terhadap budaya lain itu membuat upaya membangun jembatan untuk pemahaman antarbudaya dan antar-nilai menjadi tidak penting atau dikesampingkan.

Tekanan yang terjadi pada Qatar itu menciptakan paradoks dalam mana pemaksaan cara pandang yang Barat-sentris terhadap isu-isu lokal malah bisa menciptakan kesalahpahaman antar budaya yang lebih luas di seluruh dunia.

Padahal jika tujuannya menyatukan dunia, seharusnya pendekatan yang ditekankan adalah pendekatan yang lebih multikultural dan lebih toleran terhadap nilai-nilai domestik dan lokalitas.

Belum lagi kaitannya dengan kepentingan olah raga dan sepak bola yang justru satu dari sedikit area sosial yang bisa membahagikan manusia secara universal dan bahkan bisa mempersatukan dunia, walau hanya sesaat, hanya satu bulan.

Tak ada negara yang kondisinya paripurna sehingga tak memerlukan kritik, termasuk Qatar. Tetapi berlama-lama dalam kontroversi untuk sebuah turnamen olah raga yang disambut luas hampir seisi dunia, juga tak baik.
 
Fokus saja kepada sepak bola

Legenda sepak bola yang mengantarkan Prancis menjuarai Piala Dunia, Zinedine Zidane, sudah menyeru "waktunya melupakan semua kontroversi ini dan fokus kepada sepak bola."

Lagi pula, jika melihat konklusi Olimpiade Musim Dingin 2022 di China, dalam kebanyakan kasus, tekanan ekstra-olah raga kepada tuan rumah penyelenggara turnamen olah raga global menguap begitu ajang olah raga itu berakhir.

Lebih dari itu ketuanrumahan Qatar dalam Piala Dunia 2022 adalah hasil konsensus global lewat proses bidding. Jika Qatar dinyatakan cacat moral sehingga pantas terus dikritik, maka kritik yang sama intens seharusnya dialamatkan pula kepada proses konsensus dalam bidding tuan rumah Piala Dunia itu.

Seperti diakui Emir Qatar, kritik memang perlu dan positif untuk memperbaiki apa yang dirasa masih buruk dan meningkatkan apa yang dirasa sudah baik tapi perlu lebih baik lagi.

Namun sorotan-sorotan itu dalam beberapa hal malah lebih kentara menunjukkan upaya memaksakan nilai-nilai di satu entitas sosial ke entitas sosial lainnya, padahal semua itu masih perlu digodok lagi lewat dialog multikultural yang setara, seimbang dan menenggang lokalitas.

Seharusnya itu lebih menjadi pekerjaan rumah bersama masyarakat global dalam forum di luar olah raga.

Oleh karena itu, mari fokus saja dulu kepada sepak bola, kepada Piala Dunia, yang sejak lama menjadi kesempatan bagi manusia sejagat untuk bergembira dan bersatu walau sejenak, apalagi saat ini dunia dibuat runyam oleh resesi dan diteror oleh perang seperti terjadi di Ukraina serta oleh retorika-retorika permusuhan dan kebencian.

Tulisan ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mendudukkan Piala Dunia Qatar dalam perspektif selayaknya

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024