Makassar (ANTARA) - Memiliki keluarga yang bahagia setelah menikah, tentu menjadi impian semua orang. Namun adakalanya impian itu tidak selamanya menjadi kenyataan.
Setidaknya itulah yang dialami perempuan seperempat abad yang menggendong anak berusia dua tahun di sudut teras sebuah rumah singgah di Kota Makassar.
Asse, sapaan akrab perempuan itu, menuturkan awal mula`menempati di rumah singgah tersebut setelah mendapatkan perlakuan kekerasan dari suaminya.
Pernikahan atas dasar perjodohan dari keluarga, membawa Asse harus bersama suaminya yang umurnya lebih muda 5 tahun darinya.
Kebiasaan sang suami yang suka minuman keras dan berjudi, baru diketahui setelah hidup bersama. Sebagai buruh bangunan, gaji mingguan kerap dihabiskan di meja judi sambil meminum minuman keras.
Sementara Asse dituntut untuk melayani dengan masakan kegemaran suami, meski hanya sesekali mendapatkan uang belanja.
Suatu ketika, suaminya pulang ke rumah dalam kondisi mabuk berat dan lapar, namun di meja makan tidak tersedia makanan.
Tak ayal benda-benda di sekelilingnya menjadi pelampiasan, termasuk isterinya. Awalnya Asse mencoba bertahan demi anaknya yang ketika itu masih berumur setahun.
Namun kejadian itu terus berulang, hingga akhirnya ia bersama anaknya kabur dari rumah. Dalam kondisi gamang itu, ia dipertemukan dengan pekerja sosial (peksos) yang kemudian membawanya ke rumah singgah di Makassar. Ia kemudian ditangani salah satu Sentra Layanan Kementerian Sosial.
Potret korban kekerasan perempuan itu hanya segelintir dari kasus kekerasan perempuan yang mengemuka dan sempat dimediasi oleh rumah singgah, baik kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan, maupun yang diteruskan ke meja hijau.
Pemerhati masalah perempuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Husaimah Husain mengatakan, dukungan regulasi dari pemerintah terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta edukasi yang dilakukan terus-menerus oleh para pihak menjadi pemicu terbukanya penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Jika terdata kasus kekerasan terhadap perempuan tahun ini meningkat dibanding tahun sebelumnya, itu karena adanya dukungan regulasi ataupun ruang pelayanan pada korban yang mudah dijangkau, seperti rumah singgah yang hadir di tingkat kelurahan atau desa.
Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Makassar diketahui ada 362 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak periode Januari - Oktober 2022.
Sebelumnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar melansir sepanjang 2021, jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 1.551 kasus.
Dari jumlah tersebut, 774 kasus kekerasan terhadap anak, KDRT 184, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) 98 kasus.
Dinas DP3A Makassar mencatat, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dari tahun ke tahun berfluktuasi.
Namun untuk penanganan kasusnya, dalam kurun lima tahun terakhir, mengalami peningkatan sekitar 10 persen. Sementara jika dibuat rata-rata, ada peningkatan sebesar dua persen setiap tahunnya.
Mencermati kondisi tersebut, setidaknya dua perspektif melihat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di kota berjuluk "Anging Mammiri" itu.
Pertama, adanya regulasi yang lahir untuk perlindungan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan undang-undang terkait tindak pidana kekerasan seksual yang menjadi payung hukum, sehingga korban tidak takut lagi melapor.
Kedua, adanya ruang layanan untuk pengaduan yang mudah dijangkau, seperti adanya shelter (rumah singgah) hingga tingkat kelurahan atau desa. Bahkan, kini sudah ada Koalisi Perempuan di tingkat balai.
Lusia Palulungan dari Dewi Keadilan Sulsel yang juga mantan Ketua LBH Apik Kota Makassar mengatakan munculnya data kasus jumlah kekerasan perempuan itu karena sudah ada keberanian perempuan yang menjadi korban untuk melaporkan kasusnya.
Padahal sudah menjadi rahasia umum, kekerasan ini merupakan fenomena "gunung es", yang muncul dipermukaan itu hanya sebagian saja, dan patut diwaspadai yang masih tersembunyi.
Pernyataan itu diperkuat UPTD PPA yang melansir bahwa bertambahnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengindikasikan dua hal.
Pertama, memang kasus yang terjadi di masyarakat bertambah. Kedua, karena semakin banyak yang berani melaporkan kasus tersebut ke DP3A.
Kembali ke fenomena gunung es, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan itu bisa saja yang tidak terlihat atau tidak muncul ke permukaan justru lebih banyak.
Rumah singgah
Salah satu upaya untuk menekan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah melalui penguatan shelter atau rumah singgah bagi korban kekerasan.
Karena itu, Pemkot Makassar bersama International Organization for Migration (IOM) menggelar workshop Penguatan Shelter Warga di Makassar pada 5 Maret 2021, saat pandemi COVID-19 masih berlangsung.
Meski dalam suasana pandemi, pengelola rumah singgah tetap antusias mengikuti workshop dengan nara sumber utama Koodinator Program IOM untuk Wilayah Indonesia Timur Son Ha Dinh.
Sementara Pemerintah Kota Makassar mengapresi pengelola dan pendamping Shelter Warga yang telah membantu tugas pemerintah dalam menjangkau korban kekerasan atau memerlukan layanan sosial.
Masyarakat adalah garda terdepan dan merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Karena itu, kerja sama antara pemerintah, lembaga nonpemerintah dan lembaga internasional sangatlah penting untuk saling berkoordinasi dan berintegrasi, sehingga dapat mengoptimalkan layanan yang dibutuhkan para penyintas.
Hal tersebut utamanya dalam menyikapi fenomena gunung es dari kasus kekerasan terhadap perempuan, sehingga ke depan tidak ada lagi kekhawatiran jika banyak kasus yang tersembunyi di lapangan.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan, memang membutuhkan kerja keras. Karena itu, tidak ada kata kendur dalam upaya menguatkan koordinasi dan meningkatkan kapasitas penyedia layanan berbasis masyarakat.
ilustrasi workshop penguatan kapasitas pengelola Rumah Singgah (Shelter) dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Antara/ HO-Lusia
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Rumah singgah jembatani penanganan kasus kekerasan perempuan
Setidaknya itulah yang dialami perempuan seperempat abad yang menggendong anak berusia dua tahun di sudut teras sebuah rumah singgah di Kota Makassar.
Asse, sapaan akrab perempuan itu, menuturkan awal mula`menempati di rumah singgah tersebut setelah mendapatkan perlakuan kekerasan dari suaminya.
Pernikahan atas dasar perjodohan dari keluarga, membawa Asse harus bersama suaminya yang umurnya lebih muda 5 tahun darinya.
Kebiasaan sang suami yang suka minuman keras dan berjudi, baru diketahui setelah hidup bersama. Sebagai buruh bangunan, gaji mingguan kerap dihabiskan di meja judi sambil meminum minuman keras.
Sementara Asse dituntut untuk melayani dengan masakan kegemaran suami, meski hanya sesekali mendapatkan uang belanja.
Suatu ketika, suaminya pulang ke rumah dalam kondisi mabuk berat dan lapar, namun di meja makan tidak tersedia makanan.
Tak ayal benda-benda di sekelilingnya menjadi pelampiasan, termasuk isterinya. Awalnya Asse mencoba bertahan demi anaknya yang ketika itu masih berumur setahun.
Namun kejadian itu terus berulang, hingga akhirnya ia bersama anaknya kabur dari rumah. Dalam kondisi gamang itu, ia dipertemukan dengan pekerja sosial (peksos) yang kemudian membawanya ke rumah singgah di Makassar. Ia kemudian ditangani salah satu Sentra Layanan Kementerian Sosial.
Potret korban kekerasan perempuan itu hanya segelintir dari kasus kekerasan perempuan yang mengemuka dan sempat dimediasi oleh rumah singgah, baik kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan, maupun yang diteruskan ke meja hijau.
Pemerhati masalah perempuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Husaimah Husain mengatakan, dukungan regulasi dari pemerintah terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta edukasi yang dilakukan terus-menerus oleh para pihak menjadi pemicu terbukanya penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Jika terdata kasus kekerasan terhadap perempuan tahun ini meningkat dibanding tahun sebelumnya, itu karena adanya dukungan regulasi ataupun ruang pelayanan pada korban yang mudah dijangkau, seperti rumah singgah yang hadir di tingkat kelurahan atau desa.
Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Makassar diketahui ada 362 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak periode Januari - Oktober 2022.
Sebelumnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar melansir sepanjang 2021, jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 1.551 kasus.
Dari jumlah tersebut, 774 kasus kekerasan terhadap anak, KDRT 184, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) 98 kasus.
Dinas DP3A Makassar mencatat, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dari tahun ke tahun berfluktuasi.
Namun untuk penanganan kasusnya, dalam kurun lima tahun terakhir, mengalami peningkatan sekitar 10 persen. Sementara jika dibuat rata-rata, ada peningkatan sebesar dua persen setiap tahunnya.
Mencermati kondisi tersebut, setidaknya dua perspektif melihat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di kota berjuluk "Anging Mammiri" itu.
Pertama, adanya regulasi yang lahir untuk perlindungan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan undang-undang terkait tindak pidana kekerasan seksual yang menjadi payung hukum, sehingga korban tidak takut lagi melapor.
Kedua, adanya ruang layanan untuk pengaduan yang mudah dijangkau, seperti adanya shelter (rumah singgah) hingga tingkat kelurahan atau desa. Bahkan, kini sudah ada Koalisi Perempuan di tingkat balai.
Lusia Palulungan dari Dewi Keadilan Sulsel yang juga mantan Ketua LBH Apik Kota Makassar mengatakan munculnya data kasus jumlah kekerasan perempuan itu karena sudah ada keberanian perempuan yang menjadi korban untuk melaporkan kasusnya.
Padahal sudah menjadi rahasia umum, kekerasan ini merupakan fenomena "gunung es", yang muncul dipermukaan itu hanya sebagian saja, dan patut diwaspadai yang masih tersembunyi.
Pernyataan itu diperkuat UPTD PPA yang melansir bahwa bertambahnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengindikasikan dua hal.
Pertama, memang kasus yang terjadi di masyarakat bertambah. Kedua, karena semakin banyak yang berani melaporkan kasus tersebut ke DP3A.
Kembali ke fenomena gunung es, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan itu bisa saja yang tidak terlihat atau tidak muncul ke permukaan justru lebih banyak.
Rumah singgah
Salah satu upaya untuk menekan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah melalui penguatan shelter atau rumah singgah bagi korban kekerasan.
Karena itu, Pemkot Makassar bersama International Organization for Migration (IOM) menggelar workshop Penguatan Shelter Warga di Makassar pada 5 Maret 2021, saat pandemi COVID-19 masih berlangsung.
Meski dalam suasana pandemi, pengelola rumah singgah tetap antusias mengikuti workshop dengan nara sumber utama Koodinator Program IOM untuk Wilayah Indonesia Timur Son Ha Dinh.
Sementara Pemerintah Kota Makassar mengapresi pengelola dan pendamping Shelter Warga yang telah membantu tugas pemerintah dalam menjangkau korban kekerasan atau memerlukan layanan sosial.
Masyarakat adalah garda terdepan dan merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Karena itu, kerja sama antara pemerintah, lembaga nonpemerintah dan lembaga internasional sangatlah penting untuk saling berkoordinasi dan berintegrasi, sehingga dapat mengoptimalkan layanan yang dibutuhkan para penyintas.
Hal tersebut utamanya dalam menyikapi fenomena gunung es dari kasus kekerasan terhadap perempuan, sehingga ke depan tidak ada lagi kekhawatiran jika banyak kasus yang tersembunyi di lapangan.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan, memang membutuhkan kerja keras. Karena itu, tidak ada kata kendur dalam upaya menguatkan koordinasi dan meningkatkan kapasitas penyedia layanan berbasis masyarakat.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Rumah singgah jembatani penanganan kasus kekerasan perempuan