Kolonodale, Sulteng (Antara News) - Warga Desa Ganda-ganda dan warga Kota Kolonodale, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, kini kesulitan memperoleh air bersih karena sumur-sumur mereka mengering sebagai dampak penggundulan kawasan hutan untuk menambang nikel di sekitar desa tersebut.

"Air sumur kami saat ini tidak ada yang berair, semua sudah kering padahal ini bukan musim kemarau," kata Eu Lenta, Kepala Desa Ganda-ganda yang ditemui di kediamannya di Ganda-ganda, Kecamatan Petasia, Selasa.

Selain sumur yang mengering, kata Eu, rawa-rawa di sekitar desa yang biasa dimanfaatkan airnya bila air sumur habis, kini juga mengering sehingga warga desa harus mencari air ke Kolonodale yang jaraknya mencapai tiga kilometer.

"Untuk sementara, kami meminta bantuan perusahaan tambang nikel pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk membagi-bagikan air kepada warga," ujarnya sambil menunjukkan loyang dan ember-ember plastik milik warga yang diletakkan di depan rumah untuk menanti pembagian air bersih.

Pada saat-saat tertentu, mobil tangki air milik sebuah perusahaan tambang akan berjalan mengisi ember-ember tersebut sekali dalam sehari. Meski demikian, jumlahnya sangat terbatas, tidak mencukupi kebutuhan makan, minum dan cuci semua warga desa yang jumlahnya 556 kepala keluarga atau sekitar 1.650 jiwa.

Eu mengatakan bahwa kesulitan air bersih yang melanda warganya dan sebagian warga Kota Kolonodale terjadi pascapenambangan nikel oleh pemilik IUP dalam beberapa tahun terakhir tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.

"Desa kami ini memang bukan kota yang banyak air, namun kelangkaan air dewasa ini terasa sangat parah setelah banyak perusahaan tambang beraktivitas menggunduli hutan di sektiar desa untuk menggali nikel," ujarnya.

Ia menyebutkan, ada 10 IUP pertambangan nikel yang beroperasi di sekitar desa itu dan sudah membuka ribuan hektare hutan untuk mengeruk tambang nikel dan tidak satu perusahaan pun yang melaksanakan kewajibannya melestarikan lingkungan.

"Tidak ada perusahaan yang memiliki kolam penampungan sedimen dan air lumpur (sedimen pond) seperti yang diwajibkan sehingga bila ada hujan, air bercampur lumpur langsung tercurah ke laut sebab semua areal penambangan terletak dikawasan hutan di tepi pantai," ujar Eu lagi.

Dari 10 IUP tersebut, lima perusahaan sudah berhenti berperasi dan meninggalkan kawasan gundul bekas penambangan yang tidak direnovasi.

Selain meninggalkan hutan yang sudah rusak, kata Eu, perusahaan-perusahaan itu juga meninggalkan hutangnya kepada rakyat sekitar yakni dana tanggung jawab sosial kemasyarakatan (CSR) bernilai miliaran rupiah.

Ia memberi contoh, PT. Integra Teknik Nusantara berhutang dana CSR untuk duakali pengapalan, PT.Sumber Permata Selaras dua kapal dan PT.Bangun Bumi Indah (BBI) satu kapal.

Sesuai kesepakatan bersama, kata Eu, setiap perusahaan menyisihkan dana Rp5.000/ton nikel yang dikapalkan untuk program pemberdayaan masyarakat (CSR).

Bila setiap kali pengapalan terdapat 50.000 ton nikel, maka dana CSR yang tidak dibayarkan perusahaan IUP nikel yang sudah berhenti itu bernilai 5xRp5.000x50.000 atau Rp1,250 miliar.

Eu juga mengeluhkan operasional IUP sekalipun kehadiran perusahaan itu bisa mengatasi pengangguran di desa, karena desa mereka terserang polusi udara dari debu di jalanan yang dilintasi mobil-mobil pengangkut nikel setiap hari.

"Meski perusahaan melakukan penyiraman jalan, namun debu tetap merajalela dan bila musim hujan, jalan-jalan akan berlumpur," ujarnya. (Editor : M Taufik)

Pewarta : Rolex Malaha
Editor :
Copyright © ANTARA 2024