Makassar (ANTARA) - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) memfasilitasi Observation Visit delegasi Japan International Cooperation Agency (JICA) ke Kanwil Kemenkumham Sulsel, pada Kamis (2/2).

Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM  Hernadi mewakili Kakanwil Kemenkumham Sulsel Liberti Sitinjak mengatakan kegiatan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan dan mendapatkan gambaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan sampai tahapan implementasinya di Jepang sebagai bahan perbandingan khususnya dalam tahapan proses pembentukan produk hukum daerah di Indonesia.

Menurut dia, pelaksanaan harmonisasi rancangan peraturan daerah (ranperda) dan rancangan peraturan kepala daerah (ranperkada) di Kanwil dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No 13/2022 tentang perubahan kedua UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Hernadi kemudian menjelaskan alur tahapan harmonisasi yang dilakukan pihaknya. Pada tahap pertama, Pemrakarsa mengunjungi Kanwil Kemenkumham Sulsel dan menghadap Kepala Kantor Wilayah. Tahap selanjutnya dilakukan Pemeriksaan Administrasi,  lalu Analisis Konsepsi, selanjutnya diadakan Rapat Harmonasi, dan tahap Paraf Dokumen Harmonisasi (Surat selesai harmonisasi).

“Hasil pengharmonsiasian tersebut nantinya diserahkan kembali kepada Kakanwil untuk kemudian diterima kembali oleh Pihak Pemrakarsa,” jelas Hernadi Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Hernadi (dua kanan) saat Observation Visit Delegasi JICA di Kanwil Kemenkumham Sulsel, pada Kamis (2/2/2023). ANTARA/HO-Humas Kemenkumham Sulsel
Pada Kesempatan ini pula, Hiromi Oikawa selaku perwakilan dari Delegasi JICA memberikan pandangan mengenai pelaksanaan harmonisasi rancangan produk hukum daerah di Indonesia.

Menurutnya jika di Indonesia, pelaksanaan harmonisasi dilakukan setelah rancangannya selesai disusun. Namun sebaiknya, sejak awal pihak perancang dan pembentuk produk hukum daerah harus saling berkoordinasi supaya tidak terjadi inkonsistensi terhadap rancangan produk hukum tersebut.

“Tetapi kalau dimungkinkan, perancang bisa dilibatkan sejak awal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di tempat pembentuk (kabupaten/kota setempat),” jelas Okawa.

Okawa menambahkan terkait pelaksanaan harmonisasi di Jepang, untuk peraturan daerah atau peraturan kepala daerah, tidak ada harmonsiasi yang dilakukan oleh pihak pusat (Kementerian Kehakiman Jepang dan Kementerian Dalam Negeri Jepang). Namun semua proses bisa diselesaikan di dalam lingkungan pemerintah daerah setempat di Jepang.

Menanggapi hal tersebut, Perancang Kanwil Kemenkunham Sulsel Muhammad Abdillah mengakui bahwa sejauh ini pelaksanaan harmonisasi di Indonesia berbeda dengan di Jepang. Karena ketika melihat definisi “fasilitasi”, ada kesamaan dengan definisi “harmonisasi”, yang ujung-ujungnya penyelarasan terhadap perundang-undangan yang lebih tinggi baik asas maupun sumber hukum lainnya.

“Kami perancang menyarankan agar proses tersebut disatukan seperti di Jepang. Tetapi di Indonesia,  biro hukum di provinsi bertindak sebagai wakil pemerintah pusat (Kemendagri) sehingga, kami sebagai fasiltiasi produk hukum daerah beririsan dengan biro hukum sebagai pembina hukum di daerah,” jelas Abdillah.

Abdillah berharap kepada perwakilan Ditjen PP agar dalam menempatkan proses harmonisasi sebagai sebuah prosedur, seharusnya ada satu-kesatuan penggunan istilah dalam proses penyusunan perarutan perundang-undangan sehingga tidak ada dualaimse antara Kemenkumham dan Kemendagri, mengingat penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk juga produk hukum daerah diserahkan keapda Kemenkumham.

“Jadi pemegang utama pembinaan hukum di daerah dan hukum di seluruh Indoensia dipegang oleh Kemenkumham sehingga tidak ada dualisme antara penggunaan istilah faslitasi dan harmonsiasi dimana isitilah fasilitasi digunakan Kemendagri dan istilah harmonisasi digunakan Kemenkumham,” jelas Abdillah.

Sedangkan, Direktur Litigasi Dirjen PP Kemenkumham Listyarini Wulandari berharap diskusi ini dapat memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi dalam rangka pembentukan peratauran perundang-undangan di daerah tentunya sesuai dengan UU No 13/2022 tentang perubahan kedua atas UU No 12/2011 tentang pembentukan peraturan perudnang-undangan.

“Tentunya tadi terkait kebijakan dari Kemendagri selaku pemilik wilayah di daerah yang tentunya dalam pekerjaan yang dilaksanakan oleh perancang, harus selalu berkoordinasi dengan  pemerintah daerah. Harapannya jangan sampai Kanwil Kemenkumam ini tidak memiliki fungsi, jadi harus bersinergi dengan biro hukum di daerah. Harus selalu mengupdate hal-hal yang terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujar Listyarini dihadapan perancang Kanwil Sulsel.

Turut hadir dalam kegiatan ini Koordinator Standarisasi dan Bimbingan Ditjen PP Andriana Krisnawati, Kepala Bidang Hukum Andi Haris, dan seluruh pegawai Divisi Yankum.(*/Inf)

Pewarta : Darim
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024