Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim yang mengadili perkara dugaan korupsi Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara Tahun Anggaran 2016 menyebut tidak terjadi "total loss" (kerugian total) sebesar Rp738,9 miliar tetapi hanya ada kerugian senilai Rp17,22 miliar.
"Majelis hakim sependapat dengan jumlah kerugian negara Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada KPK Nomor: LHA-AF-05/DNA/08/2022 Tanggal 31 Agustus 2022 yang merupakan Rp738,9 miliar tapi bukan 'total loss' dikarenakan faktanya Helikopter Angkut AW 101 benar adanya dan memiliki nilai materiil namun belum dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pengadaan," kata Ketua Majelis Hakim Djumyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Helikopter AW 101, menurut majelis hakim, telah diterima TNI AU dan telah terdaftar dalam Barang Milik Negara (BMN) dengan nilai Rp550.563.910.814 dan terdapat kelebihan pembayaran yang telah disetorkan kepada negara oleh Irfan Kunia 7 November 2019 sebesar Rp31.689.290.000 sesuai rekomendasi BPK.
Di samping itu, ada nilai pembayaran termin III dan IV sebesar Rp139.424.620.909 yang masih berada di rekening lintas tahun atas nama PT Diratama Jaya Mandiri yang diblokir penyidik KPK yang dapat diperhitungkan sebagai pengembalian kerugian keuangan negara.
"Maka sisa kerugian negara menjadi sebesar Rp738,9 miliar dikurangi Rp550.563.910.804 dikurangi Rp31.689.290.000 dikurangi Rp139.424.620.909 sehingga terdapat jumlah Rp17.222.178.271, maka terdapat Rp17.222.178.271 sebagai jumlah yang harus dikenakan sebagai pengganti kepada diri terdakwa," ungkap majelis hakim.
Namun majelis hakim tetap meyakini adanya dana komando (dako) sebesar Rp17.733.600.000 untuk Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) saat itu Agus Supriatna.
"Dalam persidangan terbukti adanya pemberian dana komando di mana terdakwa mengakui sesuai kesepakatan 4 persen dari pembayaran tahap ke-1 sebesar Rp17.733.600.000 sehingga jumlah pembayaran pada 5 September 2016 atas Diratama Jaya Mandiri adalah hanya sebesar Rp418.956.300.000 dari nilai tahap I
sebesar 60 persen dari nilai kontrak sebesar Rp443.340.000.000 selanjutnya diambil Rp17.733.600.000," ungkap hakim.
Selanjutnya bertempat di Gedung B3 Lt 2 Disku Mabes TNI AU, Sigit Suwastono menyerahkan dana komando yang berasal dari pencairan tahap ke-1 (satu) pengadaan Helikopter AW-101 tersebut kepada Wisnu Wicaksono.
Sigit Suwastono pada 9 November 2016 membuat Rekening BRI Cabang Mabes TNI AU yang digunakan sebagai tempat penampungan bunga deposito dana komando atas nama Dewi Liasaroh, yaitu asisten rumah tangga pegawai BRI Cabang Mabes TNI AU. Sigit lalu membuat sejumlah rekening deposito
Irfan Kurnia dalam perkara ini divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar kerugian negara sebesar Rp17,22 miliar subsider 2 tahun penjara.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Irfan Kurnia Saleh divonis 15 tahun penjara ditambah Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp177.712.972.054,6 miliar subsider 5 tahun kurungan.
Terhadap putusan tersebut, JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
"Kami tetap meyakini 'total loss' sebagaimana auditor forensik KPK dan ahli dari ITB karena secara fungsi helikopter angkut tidak terpenuhi tujuannya tapi sekali lagi terkait putusan hari ini kami pikirkan kembali terkait pertimbangan hakim tadi, kami ingin tahu secara lengkap pertimbangan majelis hakim dalam putusannya," kata JPU KPK Arif Suhermanto.
JPU KPK menyebut bahwa hakim menyetujui ada dana komando (dako) untuk Kasau Agus Supriatna.
"Terkait dana komando Rp17 miliar tadi majelis menyampaikan ada, sama seperti tuntutan JPU, dan seperti majelis hakim sampaikan disebutkan siapa-siapa saja yang turut serta dalam perkara ini, lima-limanya ada," tambah jaksa Arif.
Sedangkan Irfan Kurnia Saleh dan penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Majelis hakim sebut pengadaan Heli AW 101 bukan "total loss"
"Majelis hakim sependapat dengan jumlah kerugian negara Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada KPK Nomor: LHA-AF-05/DNA/08/2022 Tanggal 31 Agustus 2022 yang merupakan Rp738,9 miliar tapi bukan 'total loss' dikarenakan faktanya Helikopter Angkut AW 101 benar adanya dan memiliki nilai materiil namun belum dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pengadaan," kata Ketua Majelis Hakim Djumyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Helikopter AW 101, menurut majelis hakim, telah diterima TNI AU dan telah terdaftar dalam Barang Milik Negara (BMN) dengan nilai Rp550.563.910.814 dan terdapat kelebihan pembayaran yang telah disetorkan kepada negara oleh Irfan Kunia 7 November 2019 sebesar Rp31.689.290.000 sesuai rekomendasi BPK.
Di samping itu, ada nilai pembayaran termin III dan IV sebesar Rp139.424.620.909 yang masih berada di rekening lintas tahun atas nama PT Diratama Jaya Mandiri yang diblokir penyidik KPK yang dapat diperhitungkan sebagai pengembalian kerugian keuangan negara.
"Maka sisa kerugian negara menjadi sebesar Rp738,9 miliar dikurangi Rp550.563.910.804 dikurangi Rp31.689.290.000 dikurangi Rp139.424.620.909 sehingga terdapat jumlah Rp17.222.178.271, maka terdapat Rp17.222.178.271 sebagai jumlah yang harus dikenakan sebagai pengganti kepada diri terdakwa," ungkap majelis hakim.
Namun majelis hakim tetap meyakini adanya dana komando (dako) sebesar Rp17.733.600.000 untuk Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) saat itu Agus Supriatna.
"Dalam persidangan terbukti adanya pemberian dana komando di mana terdakwa mengakui sesuai kesepakatan 4 persen dari pembayaran tahap ke-1 sebesar Rp17.733.600.000 sehingga jumlah pembayaran pada 5 September 2016 atas Diratama Jaya Mandiri adalah hanya sebesar Rp418.956.300.000 dari nilai tahap I
sebesar 60 persen dari nilai kontrak sebesar Rp443.340.000.000 selanjutnya diambil Rp17.733.600.000," ungkap hakim.
Selanjutnya bertempat di Gedung B3 Lt 2 Disku Mabes TNI AU, Sigit Suwastono menyerahkan dana komando yang berasal dari pencairan tahap ke-1 (satu) pengadaan Helikopter AW-101 tersebut kepada Wisnu Wicaksono.
Sigit Suwastono pada 9 November 2016 membuat Rekening BRI Cabang Mabes TNI AU yang digunakan sebagai tempat penampungan bunga deposito dana komando atas nama Dewi Liasaroh, yaitu asisten rumah tangga pegawai BRI Cabang Mabes TNI AU. Sigit lalu membuat sejumlah rekening deposito
Irfan Kurnia dalam perkara ini divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar kerugian negara sebesar Rp17,22 miliar subsider 2 tahun penjara.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Irfan Kurnia Saleh divonis 15 tahun penjara ditambah Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp177.712.972.054,6 miliar subsider 5 tahun kurungan.
Terhadap putusan tersebut, JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
"Kami tetap meyakini 'total loss' sebagaimana auditor forensik KPK dan ahli dari ITB karena secara fungsi helikopter angkut tidak terpenuhi tujuannya tapi sekali lagi terkait putusan hari ini kami pikirkan kembali terkait pertimbangan hakim tadi, kami ingin tahu secara lengkap pertimbangan majelis hakim dalam putusannya," kata JPU KPK Arif Suhermanto.
JPU KPK menyebut bahwa hakim menyetujui ada dana komando (dako) untuk Kasau Agus Supriatna.
"Terkait dana komando Rp17 miliar tadi majelis menyampaikan ada, sama seperti tuntutan JPU, dan seperti majelis hakim sampaikan disebutkan siapa-siapa saja yang turut serta dalam perkara ini, lima-limanya ada," tambah jaksa Arif.
Sedangkan Irfan Kurnia Saleh dan penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Majelis hakim sebut pengadaan Heli AW 101 bukan "total loss"