Semarang (ANTARA) - Dalam sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka, pemilih lebih leluasa menentukan calon anggota legislatif. Bahkan, mereka memilih caleg tanpa melihat latar belakang atau asal partai politik (parpol) yang bersangkutan.

Terkadang terjadi pertarungan di dalam hati pemilih. Di satu sisi tidak menyukai parpol peserta pemilu, tetapi di sisi lain ada keinginan kuat memilih calon anggota legislatif (caleg) yang bersangkutan karena pelbagai faktor.

Faktor itu, antara lain, kedekatan emosional dan kriteria tertentu terhadap caleg yang layak jadi wakil rakyat, misalnya sidik (jujur), amanah (dapat dipercaya), tablig (menyampaikan), dan fatanah (cerdas).

Masyarakat yang punya hak pilih tentunya sudah punya ukuran yang menjadi dasar penilaian ketika akan menentukan pilihannya. Namun, ada pula di antara pemilih yang menjadi sasaran "tembak kepala".

Modus "tembak kepala" ini biasanya sudah dikalkulasi oleh caleg "nakal" agar bisa lolos sebagai calon terpilih. Kekurangpercayaan diri sang caleg ini mendorong yang bersangkutan menempuh cara seperti itu.

Agar bisa lolos menjadi anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, mereka lantas mengalkulasi seberapa modal politik untuk meraih kursi di daerah pemilihan (dapil).

Untuk mengetahuinya, caleg "nakal" ini melihat hasil pemilu sebelumnya guna menentukan seberapa besar modal politik agar lolos menjadi wakil rakyat. Misalnya, per kepala (pemilih) Rp50 ribu sampai dengan Rp100 ribu, tinggal mengalikan dengan jumlah suara yang berpeluang mereka terpilih.

Berdasarkan hasil Sistem Perhitungan dan Penetapan Jumlah Kursi Partai Politik Peserta Pemilu 2019 di Daerah Pemilihan Jawa Tengah (Dapil Jateng) IX, misalnya, calon anggota DPR RI yang lolos ke Senayan minimal meraih 113.829 suara.

Meski meraih suara minimal, caleg tersebut berada di urutan ke-7, sementara caleg di urutan ke-8 meraih 287.180 suara. Di sinilah pentingnya caleg mengetahui aturan main konversi suara sainte lague dalam sistem proporsional terbuka.

Agar dalam posisi aman, setidaknya caleg atau parpol meraih 150.000 suara. Kalkulasi politik ini perlu perhitungan matang bagi caleg yang akan bermain politik uang karena biayanya sampai miliaran rupiah.

Andai meraih suara terbanyak, calon anggota DPR RI belum tentu lolos ke Senayan jika suara partai politik caleg yang bersangkutan secara nasional di bawah ambang batas parlemen 4 persen.

Berdasarkan hasil final rekapitulasi nasional Pemilu Anggota DPR RI 2019, terdapat sembilan partai yang memperoleh suara melebihi ambang batas parlemen 4 persen, yakni: PDI Perjuangan sebanyak 27.053.961 suara (19,33 persen); Gerindra 17.594.839 suara (12,57 persen); dan Partai Golkar 17.229.789 suara (12,31 persen).

Berikutnya PKB sebanyak 13.570.097 suara (9,69 persen); NasDem 12.661.792 suara (9,05 persen); PKS 11.493.663 suara (8,21 persen); Partai Demokrat 10.876.507 (7,77 persen); PAN 9.572.623 suara (6,84 persen); dan PPP 6.323.147 suara (4,52 persen).

Pada Pemilu 2019, terdapat tujuh partai yang suaranya tidak dikonversi menjadi kursi DPR karena di bawah ambang batas parlemen.

Ketujuh partai tersebut, yaitu: Perindo 3.738.320 suara (2,67 persen); Berkarya 2.929.495 suara (2,09 persen); PSI 2.650.361 suara (1,89 persen); Hanura 2.161.507 suara (1,54 persen); PBB 1.099.848 suara (0,79 persen); PKPI 312.775 suara (0,22 persen); dan Garuda 702.536 suara (0,05 persen).

Oleh karena itu, caleg sejak dini perlu melakukan simulasi sistem perhitungan dan penetapan jumlah kursi partai politik peserta pemilu. Dengan demikian, sejak namanya masuk sebagai daftar calon tetap (DCT), target perolehan minimal suara sudah mereka ketahui.


Proporsional tertutup

Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih bisa mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Namun, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih cukup mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar parpol peserta pemilu anggota legislatif.

Hingga kini, belum ada kepastian apakah pada Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau menerapkan sistem proporsional tertutup. Ini semua bergantung pada putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara: 114/PUU-XX/2022.

Uji materi dalam perkara ini terkait dengan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), 353 ayat (1) huruf b, 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD NRI Tahun 1945 pada hari Rabu, 16 November 2022.

Sesuai dengan jadwal Pemilu 2024, tahapan pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota mulai 24 April hingga 25 November 2023, kemudian jadwal hari pencoblosan pada tanggal 14 Februari 2024.

Jika terjadi perubahan dari sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup, kalkulasi politik kemungkinan akan bergeser pada caleg nomor urut atas agar parpolnya meraih suara terbanyak di setiap dapil, atau tidak semua caleg berlomba-lomba meraih suara paling banyak agar mereka terpilih.

Hal ini mengingat partai politik yang mengajukan daftar calon ke KPU berdasarkan nomor urut. Nomor urut caleg di setiap dapil ini ditentukan oleh partai politik. Nomor urut ini sangat menentukan tingkat keterpilihan caleg.

Dengan sistem proporsional tertutup ini, pemilih ketika berada di bilik pemungutan suara, hanya mencoblos parpol. Jadi, jika tidak menyukai parpol bersangkutan, pemilih akan pindah ke lain hati.

*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Provinsi Jawa Tengah

Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Keuntungan sistem pemilu bagi pemilih

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024