Jakarta (ANTARA) - Ribuan tenaga kesehatan dari profesi dokter, perawat, bidan, hingga mahasiswa kedokteran menggelar unjuk rasa untuk menyuarakan aspirasi penolakan RUU Kesehatan Omnibuslaw.
Aksi damai pada Senin (8/5) itu menjadi kali ketiga dokter di Indonesia kembali turun ke jalan, setelah peristiwa kriminalisasi dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani pada 2013, dan kasus dokter di pelayanan primer terkait Undang-Undang Pendidikan Kedokteran di 2015 yang juga memantik reaksi serupa.
Demonstrasi di jantung Ibu Kota Indonesia itu boleh jadi sebagai gelombang terbesar karena melibatkan massa dari lima organisasi profesi, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), yang juga berdenyut di berbagai daerah.
Salah satu isu yang santer disuarakan adalah rencana pemerintah mengambil alih wewenang organisasi profesi dalam ekosistem pendidikan kedokteran, sebab Indonesia perlu membuka lebih banyak program pendidikan dokter spesialis.
Saat ini Indonesia dihadapkan dengan permasalahan kekurangan jumlah dan distribusi dokter spesialis yang menyebabkan layanan kesehatan kepada masyarakat hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Salah satu upaya peningkatan jumlah dokter spesialis hingga menjangkau pelosok negeri ditempuh melalui pembukaan program pendidikan berbasis universitas (university-based) atau berbasis kolegium (college-based), seperti tertuang dalam usulan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah pasal 183 RUU Kesehatan.
Pasal tersebut juga mencantumkan program pendidikan spesialis berbasis universitas akan tetap ada dan memiliki kekhasan dengan muatan akademik dan penelitian yang lebih besar.
Akselerasi dokter spesialis ditempuh pemerintah dengan membuka alternatif pendidikan spesialis berbasis rumah sakit atau kolegium sehingga lebih banyak dokter bisa menempuh pendidikan spesialis.
Program ini akan diprioritaskan untuk mendidik dokter dari daerah yang belum memiliki program spesialis sehingga, sambil belajar mereka tetap dapat bekerja di daerahnya.
Seperti diketahui, ketentuan eksisting mengatur tentang hak organisasi profesi dalam merekomendasikan pemberian satuan kredit pendidikan (SKP) dan ujian sertifikat kompetensi di bawah kolegium.
Selain itu, kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Profesionalisme Kedokteran Gigi Berkelanjutan (P3KGB) selama ini menjadi kewenangan mutlak organisasi profesi.
Pemerintah mengusulkan agar RUU Kesehatan tidak mengatur pembentukan organisasi profesi. Alasannya, UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Oleh karena itu, pembentukan organisasi profesi sebagai lembaga masyarakat nonpemerintah dikembalikan kepada profesi masing-masing dan memiliki peran membantu Pemerintah dalam melakukan pembinaan keprofesian.
Sementara kedudukan Lembaga Konsil dan Kolegium di dalam RUU Kesehatan diatur dalam aturan pelaksanaan, bukan di dalam UU. Hal ini penting agar ada fleksibilitas dalam pengaturan, mengingat keberadaan lembaga dan organ tersebut dalam rangka membantu Pemerintah menjalankan fungsi eksekutif.
RUU Kesehatan juga memastikan organisasi profesi tetap akan berdiri sebagai lembaga masyarakat nonpemerintah.
Perlindungan hukum
Isu yang juga tak kalah menuai sorotan demonstran saat itu adalah jaminan perlindungan hukum bagi tenaga medis di tengah sikap kritis pasien yang kini semakin memicu kekhawatiran kalangan dokter.
Salah satunya terkait perkembangan teknologi dan informasi yang memungkinkan pasien memviralkan rasa kekecewaan atas layanan dokter yang dianggap kurang optimal, bahkan mungkin dugaan malapraktik.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Adib Khumaidi memperlihatkan penggunaan pita hitam sebagai visualisasi aksi penolakan RUU Kesehatan dalam aksi damai yang digelar di Gedung Kemenkes RI Jakarta, Senin (8/5/2023). ANTARA/Andi Firdaus
Pelindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan merupakan hal yang baru. Dalam Pasal 57 huruf a UU Tenaga Kesehatan Nomor 36/Tahun 2014 dinyatakan tenaga kesehatan berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional.
Hal ini tidak dihilangkan, bahkan ditegaskan kembali di dalam RUU Kesehatan Pasal 282 Ayat (1) bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan masih bisa menghadapi proses hukum meskipun telah dikenakan sanksi disiplin.
Tindakan sanksi disiplin tidak selalu membebaskan tenaga medis dan tenaga kesehatan dari tanggung jawab hukum atas tindakan pidana yang dilakukan. Akan tetapi dalam RUU Kesehatan, terdapat pasal pelindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mengatur diutamakannya restorative justice dalam penyelesaian perselisihan.
Dalam RUU Kesehatan, terdapat beberapa pasal baru yang memberikan tambahan pelindungan ekstra, contohnya pada Pasal 208 e, yang mana peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan berhak mendapatkan bantuan hukum.
Contoh lain, Pasal 282 ayat (2) yang memberikan hak bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk menghentikan pelayanan jika mendapatkan tindak kekerasan, perundungan, hingga pelecehan.
Tenaga medis asing
Dalam orasi yang disampaikan perwakilan IDI di Jakarta juga diungkapkan keberatan mereka atas wacana Pemerintah mempermudah izin praktik dokter asing di Indonesia. Sebab, kebutuhan dokter dalam negeri diklaim sudah mencukupi sehingga hanya diperlukan perbaikan tata kelola.
Pada RUU Kesehatan Pasal 233 dikatakan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang melaksanakan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.
Jika hasil uji kompetensi memenuhi persyaratan, mereka harus mengikuti adaptasi di fasilitas pelayanan kesehatan serta wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) selama beradaptasi di Indonesia.
Jika hasil uji kompetensi mereka dinilai belum kompeten, maka dokter WNA harus kembali ke negara asalnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Selain itu pada Pasal 236, tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan, dengan ketentuan terdapat permintaan dari pengguna, atau otoritas rumah sakit dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan.
Tenaga medis asing juga dipekerjakan untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga tercantum bahwa pengguna yang melakukan permintaan harus mengutamakan penggunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia yang memenuhi standar kompetensi terlebih dahulu.
Tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA juga dapat memberikan pelayanan kesehatan di daerah yang tidak diminati, contohnya daerah tertinggal serta daerah konflik.
Terlepas dari segala bentuk pro dan kontra terhadap pembahasan RUU Kesehatan yang kini bergulir di Komisi IX DPR RI, upaya mengemukakan pendapat di muka umum adalah hak konstitusi setiap warga negara.
Gelombang aksi damai kalangan medis sejatinya memberi pesan kepada seluruh otoritas berwenang bahwa muncul aspirasi yang hingga kini belum terakomodasi dan perlu dipertimbangkan secara matang sebelum RUU Kesehatan berakhir dengan pengesahan.
Editor: Achmad Zaenal M
Tulisan ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjawab aksi penolakan RUU Kesehatan Omnibuslaw
Aksi damai pada Senin (8/5) itu menjadi kali ketiga dokter di Indonesia kembali turun ke jalan, setelah peristiwa kriminalisasi dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani pada 2013, dan kasus dokter di pelayanan primer terkait Undang-Undang Pendidikan Kedokteran di 2015 yang juga memantik reaksi serupa.
Demonstrasi di jantung Ibu Kota Indonesia itu boleh jadi sebagai gelombang terbesar karena melibatkan massa dari lima organisasi profesi, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), yang juga berdenyut di berbagai daerah.
Salah satu isu yang santer disuarakan adalah rencana pemerintah mengambil alih wewenang organisasi profesi dalam ekosistem pendidikan kedokteran, sebab Indonesia perlu membuka lebih banyak program pendidikan dokter spesialis.
Saat ini Indonesia dihadapkan dengan permasalahan kekurangan jumlah dan distribusi dokter spesialis yang menyebabkan layanan kesehatan kepada masyarakat hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Salah satu upaya peningkatan jumlah dokter spesialis hingga menjangkau pelosok negeri ditempuh melalui pembukaan program pendidikan berbasis universitas (university-based) atau berbasis kolegium (college-based), seperti tertuang dalam usulan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah pasal 183 RUU Kesehatan.
Pasal tersebut juga mencantumkan program pendidikan spesialis berbasis universitas akan tetap ada dan memiliki kekhasan dengan muatan akademik dan penelitian yang lebih besar.
Akselerasi dokter spesialis ditempuh pemerintah dengan membuka alternatif pendidikan spesialis berbasis rumah sakit atau kolegium sehingga lebih banyak dokter bisa menempuh pendidikan spesialis.
Program ini akan diprioritaskan untuk mendidik dokter dari daerah yang belum memiliki program spesialis sehingga, sambil belajar mereka tetap dapat bekerja di daerahnya.
Seperti diketahui, ketentuan eksisting mengatur tentang hak organisasi profesi dalam merekomendasikan pemberian satuan kredit pendidikan (SKP) dan ujian sertifikat kompetensi di bawah kolegium.
Selain itu, kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Profesionalisme Kedokteran Gigi Berkelanjutan (P3KGB) selama ini menjadi kewenangan mutlak organisasi profesi.
Pemerintah mengusulkan agar RUU Kesehatan tidak mengatur pembentukan organisasi profesi. Alasannya, UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Oleh karena itu, pembentukan organisasi profesi sebagai lembaga masyarakat nonpemerintah dikembalikan kepada profesi masing-masing dan memiliki peran membantu Pemerintah dalam melakukan pembinaan keprofesian.
Sementara kedudukan Lembaga Konsil dan Kolegium di dalam RUU Kesehatan diatur dalam aturan pelaksanaan, bukan di dalam UU. Hal ini penting agar ada fleksibilitas dalam pengaturan, mengingat keberadaan lembaga dan organ tersebut dalam rangka membantu Pemerintah menjalankan fungsi eksekutif.
RUU Kesehatan juga memastikan organisasi profesi tetap akan berdiri sebagai lembaga masyarakat nonpemerintah.
Perlindungan hukum
Isu yang juga tak kalah menuai sorotan demonstran saat itu adalah jaminan perlindungan hukum bagi tenaga medis di tengah sikap kritis pasien yang kini semakin memicu kekhawatiran kalangan dokter.
Salah satunya terkait perkembangan teknologi dan informasi yang memungkinkan pasien memviralkan rasa kekecewaan atas layanan dokter yang dianggap kurang optimal, bahkan mungkin dugaan malapraktik.
Pelindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan merupakan hal yang baru. Dalam Pasal 57 huruf a UU Tenaga Kesehatan Nomor 36/Tahun 2014 dinyatakan tenaga kesehatan berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional.
Hal ini tidak dihilangkan, bahkan ditegaskan kembali di dalam RUU Kesehatan Pasal 282 Ayat (1) bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan masih bisa menghadapi proses hukum meskipun telah dikenakan sanksi disiplin.
Tindakan sanksi disiplin tidak selalu membebaskan tenaga medis dan tenaga kesehatan dari tanggung jawab hukum atas tindakan pidana yang dilakukan. Akan tetapi dalam RUU Kesehatan, terdapat pasal pelindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mengatur diutamakannya restorative justice dalam penyelesaian perselisihan.
Dalam RUU Kesehatan, terdapat beberapa pasal baru yang memberikan tambahan pelindungan ekstra, contohnya pada Pasal 208 e, yang mana peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan berhak mendapatkan bantuan hukum.
Contoh lain, Pasal 282 ayat (2) yang memberikan hak bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk menghentikan pelayanan jika mendapatkan tindak kekerasan, perundungan, hingga pelecehan.
Tenaga medis asing
Dalam orasi yang disampaikan perwakilan IDI di Jakarta juga diungkapkan keberatan mereka atas wacana Pemerintah mempermudah izin praktik dokter asing di Indonesia. Sebab, kebutuhan dokter dalam negeri diklaim sudah mencukupi sehingga hanya diperlukan perbaikan tata kelola.
Pada RUU Kesehatan Pasal 233 dikatakan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang melaksanakan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.
Jika hasil uji kompetensi memenuhi persyaratan, mereka harus mengikuti adaptasi di fasilitas pelayanan kesehatan serta wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) selama beradaptasi di Indonesia.
Jika hasil uji kompetensi mereka dinilai belum kompeten, maka dokter WNA harus kembali ke negara asalnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Selain itu pada Pasal 236, tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan, dengan ketentuan terdapat permintaan dari pengguna, atau otoritas rumah sakit dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan.
Tenaga medis asing juga dipekerjakan untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga tercantum bahwa pengguna yang melakukan permintaan harus mengutamakan penggunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia yang memenuhi standar kompetensi terlebih dahulu.
Tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA juga dapat memberikan pelayanan kesehatan di daerah yang tidak diminati, contohnya daerah tertinggal serta daerah konflik.
Terlepas dari segala bentuk pro dan kontra terhadap pembahasan RUU Kesehatan yang kini bergulir di Komisi IX DPR RI, upaya mengemukakan pendapat di muka umum adalah hak konstitusi setiap warga negara.
Gelombang aksi damai kalangan medis sejatinya memberi pesan kepada seluruh otoritas berwenang bahwa muncul aspirasi yang hingga kini belum terakomodasi dan perlu dipertimbangkan secara matang sebelum RUU Kesehatan berakhir dengan pengesahan.
Editor: Achmad Zaenal M
Tulisan ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjawab aksi penolakan RUU Kesehatan Omnibuslaw