Jakarta (ANTARA) - Seharusnya Minggu malam nanti di Stadion Etihad adalah momen menentukan dalam penobatan Manchester City sebagai juara Liga Inggris.

Tak disangka, status juara liga didapat lebih cepat setelah Sabtu malam tadi Arsenal tumbang 0-1 di tangan Nottingham Forest.

Kekalahan itu membuat Arsenal sudah tak mungkin mencegah The Citizen menjuarai Liga Premier musim ini.

City memang sangat pantas mendapatkan trofi ini.

Mereka memainkan laga yang lebih banyak ketimbang tim Inggris dan Eropa mana pun, tapi mereka malah tampil semakin bagus ketika tirai musim hendak ditutup.

Dalam jadwal yang begitu padat karena bermain dalam empat kompetisi berbeda yang di antaranya harus menghadapi tim-tim kelas berat dalam Liga Champions, City tampil sangat konsisten. City sudah tersisih dari Piala Liga.

Mereka tidak saja menjadi tim yang lebih menyerang dan lebih menekan dibandingkan lawan-lawannya, tetapi juga tim yang lebih produktif dan sangat sulit ditembus lawan dibandingkan lawan-lawannya.

Kini mereka menjadi tim Liga Inggris kelima yang menjuarai liga utama tiga musim berturut-turut. Mereka juga bisa menjadi tim Inggris kedua yang menciptakan treble setelah Manchester United.

Mereka memiliki pemain yang merata bagus dalam semua lini yang tak memiliki kesenjangan kualitas antara pemain inti dengan pemain cadangannya, sampai pelatih mereka, Pep Guardiola, kesulitan menyeleksi pemain yang mesti dimainkan lebih dulu.

Guardiola sendiri adalah faktor terbesar yang membuat City begitu hebat dan begitu sukses sepanjang musim ini.

Manajer sepak bola yang disebut sejumlah kalangan sebagai yang terbaik sepanjang masa itu pernah menyihir Barcelona menjadi tim yang bermain indah dan menyerang yang mendominasi liga Spanyol.

Atmosfer sama menakjubkan, dia ciptakan di Jerman kala melatih Bayern Muenchen kendati gagal mempersembahkan trofi Liga Champions.

Kini, bersama Manchester City yang dibelanya lebih lama ketimbang Barca dan Bayern, Guardiola mengubah tim ini menjadi kekuatan yang siap menerkam siapa pun, selain membuat penggemar sepak bola terpesona oleh kesempurnaan dan konsistensi mereka.

Hanya tiga klub yang merasakan sentuhan Guardiola dan ketiganya dipuaskan oleh bagaimana Guardiola mempersembahkan trofi, selain membuat pemain-pemain asuhannya mendapatkan anugerah pribadi, termasuk Ballon d'Or.

Dari musim ke musim, selalu saja ada rekor yang dia buat, mulai dari enam trofi dalam satu musim sewaktu bersama Barcelona, sampai rekor sukses mencetak 100 poin dalam satu musim bersama The Citizens.


Paling konsisten

Kini, Manchester City menyamai Everton dengan sembilan kali menjuarai liga utama atau empat trofi di bawah Arsenal yang sudah 13 kali menjuarai liga utama.

Manchester United dan Liverpool menjadi dua tim yang paling sering menjuarai liga utama, masing-masing dengan 20 dan 19 trofi. United juga menjadi tim yang paling sering menjuarai liga pada era Liga Premier, dengan 12 trofi.

Namun sejak 2012, Setan Merah tak pernah lagi menjuarai Liga Premier. Sebaliknya, dalam kurun waktu sama, City menjadi tim yang paling sering juara dengan tujuh kali juara yang enam di antaranya terjadi saat diasuh Guardiola.

Boleh dikata, semakin lama Guardiola melatih City, maka semakin kuat dan dominan tim ini.

Tak ada tim Liga Inggris yang sekonsisten dan sekuat City musim ini. Pun di Eropa.

Untuk itu, jika mereka sukses meraih tiga gelar musim ini, maka itu sudah sepantasnya.

Dibandingkan dengan juara dan calon juara lima liga elite Eropa lainnya musim ini, hanya Barcelona yang menyamai City dalam urusan menorehkan kemenangan dalam pertandingan liga domestik.

Kedua tim sama-sama sudah memenangkan 26 pertandingan dari rata-rata 35-36 pertandingan liga sejauh ini.

Namun dalam urusan mencetak gol, City tak ada duanya. City sudah memasukkan 92 gol atau tiga gol lebih banyak dari Bayern di Bundesliga.

Kembali, hanya Barcelona yang melampaui mereka dalam perkara sulit ditembus lawan. Musim ini sejauh ini, Barca hanya kebobolan 15 gol, atau separuh dari jumlah gol lawan yang membobol gawang City.

Di Liga Inggris, bersama Newcastle United, The Citizens adalah tim tertangguh yang sampai pertandingan liga mereka yang ke-36, hanya kebobolan 31 kali, sedangkan Newcastle 32 kali.

Kini, City memiliki segalanya untuk tidak hanya mencetak sukses dalam Liga Champions, tetapi juga treble yang semestinya tak sulit diraih mengingat lawan-lawannya pada final Liga Champions dan Piala FA adalah Inter Milan dan Manchester United yang saat ini kelasnya agak di bawah mereka.

Indikatornya terlihat dari statistik Liga Inggris. United jauh tertinggal dari City sampai selisih 16 poin. United urutan keempat, City pertama.

Pun dibandingkan dengan Inter Milan yang saat ini 17 poin di bawah pemuncak klasemen Serie A yang juga juara musim ini, Napoli.

Inter juga masih berjuang untuk bisa mengikuti Liga Champions musim depan karena masih berebut tiga jatah tersisa dengan Juventus, Lazio dan AC Milan.

Bukan hanya itu, secara tim, komposisi skuad City terlalu kuat, baik untuk Manchester United maupun Inter Milan, walaupun United adalah satu dari lima tim yang mengalahkan City musim ini.

Empat tim lainnya adalah Tottenham Hotspur, Brentford dan Liverpool, serta Southampton dalam perempatfinal Piala Liga. Liverpool menjadi satu-satunya tim yang dua kali mengalahkan City, salah satunya dalam Community Shield.


Bugar dan merata berkualitas

Dari segi komposisi tim, City adalah tim yang mengerikan, dan alah satu bagian paling mengesankan dari City musim ini adalah bugarnya seluruh anggota skuad.

Hampir tak ada pemain penting City yang cedera selama musim ini. Dan ini berkat Guardiola yang cerdas nan cerdik mengelola tim.

Kedalaman skuad City musim ini juga luar biasa merata, baik pemain inti maupun cadangan, sehingga Guardiola tak kesulitan menyusun tim terbaik.

Di sisi lain, dengan memberikan kesempatan bermain yang relatif seimbang, Guardiola mendapatkan tim yang pemain-pemainnya bugar dan sekaligus bisa tampil bagus.

Pemain-pemain seperti Julian Alvarez dan Aymeric Laporte misalnya, sudah bermain lebih dari 2.300 dan 1.700 menit, bahkan Rico Lewis telah bermain lebih dari 1.000 menit sepanjang musim ini.

Di lain pihak, gelandang-gelandang seperti Riyad Mahrez, Phil Foden, dan Jack Grealish dirotasi dengan baik sehingga melapis kekuatan tim dengan baik pula.

Ini masih ditambah Erling Haaland yang membuat lawan acap lupa bahwa bukan hanya Haaland yang berbahaya di City, karena semua anggota skuad The Citizen adalah berbahaya.

Dengan fakta-fakta seperti itu, nasib City kemungkinan besar tidak akan seburuk kala takluk kepada Chelsea dalam final Liga Champions 2021.

Skuad City kini telah belajar dari kegagalan pada musim-musim lalu.

Ini ditambah pengalaman Guardiola dalam memimpin kompetisi Liga Champions yang membuatnya tahu apa yang harus dilakukan agar City menang dan tahu apa yang diperlukan agar pengalaman buruk di masa lalu tidak terulang.

Guardiola adalah pelatih ketiga di Eropa yang paling sering memimpin tim dalam Liga Champions. Dia hanya kalah dari Alex Ferguson dan Carlo Acelotti.

Ferguson memainkan 190 pertandingan Liga Champions yang 102 di antaranya dia menangkan, sedangkan Ancelotti memainkan 188 laga yang 107 di antaranya dimenangkan.

Guardiola sendiri menempati posisi ketiga dengan 157 laga yang 99 di antaranya menang. Namun, Guardiola memiliki efektivitas kemenangan tertinggi, sebesar 64 persen.

Tak heran jika kemudian mereka bisa melibas lawan-lawannya, termasuk raksasa-raksasa seperti Bayern Muenchen dan Real Madrid dalam perjalanan menuju final di Istanbul, Turki, bulan depan.

Hanya nasib sial yang membuat City gagal menjadi tim Inggris keenam yang menjuarai Liga Champions/Piala Eropa setelah Liverpool, Manchester United, Nottingham Forest, Chelsea dan Aston Villa.

Sebaliknya, treble bagi Manchester City dan gelar juara Liga Champions ketiga dalam karir kepelatihan Guardiola, bukan saja kepantasan, tapi juga demi keadilan.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024