Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad memandang perlu penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI agar menjadi lembaga negara yang lebih berwibawa meski tanpa amendemen konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Idealnya, penguatan DPD dilakukan dengan mengubah UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana harapan anggota. Akan tetapi, cara itu hampir mustahil bisa dilakukan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, harus dicari cara lain agar wacana penguatan DPD bisa dilakukan meski tanpa mengubah UUD," kata Fadel dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Fadel mengemukakan hal itu saat membuka focus group discussion (FGD) bertema Penguatan Lembaga Negara DPD RI Tanpa Mengubah UUD NRI Tahun 1945 di Ruang GBHN Gedung Nusantara V, kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (13/7).
"Oleh karena itu, kami berkumpul di sini untuk mendengar masukan dari semua yang hadir agar bisa dirumuskan dan tawarkan sebagai sebuah solusi," ujarnya.
Ia menyebut usulan penguatan DPD tanpa melalui amendemen konstitusi tersebut muncul lantaran banyaknya masalah yang masih menghambat wacana perubahan UUD NRI Tahun 1945.
"Di sisi lain, DPD menghendaki adanya peningkatan peran dan fungsi dalam memperjuangkan aspirasi daerah," imbuhnya.
Selain itu, lanjut dia, penguatan DPD tanpa melakukan amendemen terhadap konstitusi juga muncul lantaran DPD menjadi lembaga negara yang lebih berwibawa, khususnya saat berada di daerah.
Untuk itu, Fadel berpendapat salah satu kewenangan yang bisa memperkuat fungsi dan tugas DPD, antara lain, keterlibatan anggota DPD dalam pengurusan dana transfer daerah yang nilainya mencapai Rp800 triliun, termasuk dana bagi hasil yang selama ini kurang mendapat perhatian anggota DPD.
"Waktu Ketua DPD RI dipegang Pak Ginandjar Kartasasmita, kami sering mengundang seluruh gubernur untuk bertemu dan membicarakan masalah-masalah yang ada di daerah untuk diteruskan ke pemerintah. Ini juga bisa kami lakukan untuk menyelesaikan masalah yang ada di daerah, juga meningkatkan wibawa DPD," tuturnya.
Pada kesempatan tersebut, dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Benediktus Hestu Cipto handoyo juga menilai penguatan DPD tidak melulu harus melalui amendemen UUD, dan pilihan tersebut merupakan sesuatu yang bijaksana.
"Saat ini antara DPR dan DPD sudah terjalin relasi, partnership, dan kolaborasi cukup baik, tinggal bagaimana internal DPD menentukan akar masalah dan menemukan bagian mana yang sudah baik dan mana yang belum," kata Benediktus.
Benediktus melanjutkan, "Kalau mau konsentrasi saja ke dana transfer daerah, dana bagi hasil, dan dana perimbangan daerah, misalnya, itu bisa membuat keberadaan DPD makin diperhitungkan."
Ia memandang perlu implementasi secara sungguh-sungguh atas putusan MK No 92/PUU-X/2012 yang memberi ruang cukup kepada DPD agar bisa terlibat sebagaimana DPR agar keberadaan lembaga tinggi negara itu tidak lagi dipandang sebelah mata.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula beberapa anggota DPD selaku pemakalah pendamping, di antaranya Ahmad Kanedi, Angelius Wake Kako, Djafar Alkatiri, Habib Ali Alwi, Matheus Stefi Pasimanjeku, dan Mamberop Y. Rumakiek.
"Idealnya, penguatan DPD dilakukan dengan mengubah UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana harapan anggota. Akan tetapi, cara itu hampir mustahil bisa dilakukan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, harus dicari cara lain agar wacana penguatan DPD bisa dilakukan meski tanpa mengubah UUD," kata Fadel dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Fadel mengemukakan hal itu saat membuka focus group discussion (FGD) bertema Penguatan Lembaga Negara DPD RI Tanpa Mengubah UUD NRI Tahun 1945 di Ruang GBHN Gedung Nusantara V, kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (13/7).
"Oleh karena itu, kami berkumpul di sini untuk mendengar masukan dari semua yang hadir agar bisa dirumuskan dan tawarkan sebagai sebuah solusi," ujarnya.
Ia menyebut usulan penguatan DPD tanpa melalui amendemen konstitusi tersebut muncul lantaran banyaknya masalah yang masih menghambat wacana perubahan UUD NRI Tahun 1945.
"Di sisi lain, DPD menghendaki adanya peningkatan peran dan fungsi dalam memperjuangkan aspirasi daerah," imbuhnya.
Selain itu, lanjut dia, penguatan DPD tanpa melakukan amendemen terhadap konstitusi juga muncul lantaran DPD menjadi lembaga negara yang lebih berwibawa, khususnya saat berada di daerah.
Untuk itu, Fadel berpendapat salah satu kewenangan yang bisa memperkuat fungsi dan tugas DPD, antara lain, keterlibatan anggota DPD dalam pengurusan dana transfer daerah yang nilainya mencapai Rp800 triliun, termasuk dana bagi hasil yang selama ini kurang mendapat perhatian anggota DPD.
"Waktu Ketua DPD RI dipegang Pak Ginandjar Kartasasmita, kami sering mengundang seluruh gubernur untuk bertemu dan membicarakan masalah-masalah yang ada di daerah untuk diteruskan ke pemerintah. Ini juga bisa kami lakukan untuk menyelesaikan masalah yang ada di daerah, juga meningkatkan wibawa DPD," tuturnya.
Pada kesempatan tersebut, dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Benediktus Hestu Cipto handoyo juga menilai penguatan DPD tidak melulu harus melalui amendemen UUD, dan pilihan tersebut merupakan sesuatu yang bijaksana.
"Saat ini antara DPR dan DPD sudah terjalin relasi, partnership, dan kolaborasi cukup baik, tinggal bagaimana internal DPD menentukan akar masalah dan menemukan bagian mana yang sudah baik dan mana yang belum," kata Benediktus.
Benediktus melanjutkan, "Kalau mau konsentrasi saja ke dana transfer daerah, dana bagi hasil, dan dana perimbangan daerah, misalnya, itu bisa membuat keberadaan DPD makin diperhitungkan."
Ia memandang perlu implementasi secara sungguh-sungguh atas putusan MK No 92/PUU-X/2012 yang memberi ruang cukup kepada DPD agar bisa terlibat sebagaimana DPR agar keberadaan lembaga tinggi negara itu tidak lagi dipandang sebelah mata.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula beberapa anggota DPD selaku pemakalah pendamping, di antaranya Ahmad Kanedi, Angelius Wake Kako, Djafar Alkatiri, Habib Ali Alwi, Matheus Stefi Pasimanjeku, dan Mamberop Y. Rumakiek.