Jakarta (ANTARA) - Baik Rusia di satu sisi maupun Ukraina dan Amerika Serikat di sisi lain, sepertinya tengah diburu waktu untuk segera mengakhiri perang Ukraina-Rusia yang sudah lebih dari 500 hari.
Pihak-pihak yang terlibat dalam perang ini sudah sama-sama tidak sabar karena menyadari perang yang berlarut-larut bakal semakin menyita energi politik dan ekonomi mereka.
Amerika Serikat bahkan memasok bom tandan yang kontroversial karena tidak sabar menunggu pendulum perang yang belum juga bergerak ke arah yang lebih menguntungkan Ukraina.
Bom yang dilarang oleh sekitar 100 negara itu ditujukan untuk menghancurkan rintangan-rintangan di garis depan pertempuran, terutama ranjau yang ditanam masif oleh pasukan Rusia. Dengan cara ini, efektivitas serangan balasan Ukraina bisa sebesar dan secepat seperti diinginkan.
Rusia tak kalah tidak sabar. Tidak mencapai kemajuan besar di medan perang dan malah berbalik dalam posisi defensif, Rusia menghentikan kesepakatan ekspor pangan lewat Laut Hitam.
Dengan cara itu, dunia pun kembali diancam krisis pangan akibat pasokan gandum dan produk sereal atau biji-bijian lain terhenti dari Rusia dan Ukraina yang memang menjadi produsen utama pangan jenis ini.
Baca juga: Erdogan dan Zelenskyy bahas kelanjutan kesepakatan pangan Laut Hitam via telepon
Harga pangan global yang melonjak bakal menciptakan tekanan internasional untuk menghentikan perang. Desakan internasional untuk mengakhiri perang bakal menyelamatkan muka Rusia dari predikat kalah atau terpojok.
Yang juga diburu waktu adalah para pemimpin yang terlibat dalam perang, khususnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Bagi Biden, perang yang berlarut-larut akan membuat tekanan dari lawan politiknya di dalam negeri menjadi semakin kencang. Sejumlah kalangan menjadi tidak sabar, terutama karena menilai AS tak perlu mengalokasikan uang pajak rakyat yang begitu besar untuk membiayai perang di negara asing.
Pandangan ini terutama dianut sejumlah politisi Partai Republik yang terafiliasi dengan mantan presiden Donald Trump yang mencalonkan diri lagi pada Pemilu 2024.
Sepekan lalu, 70 wakil rakyat dari Partai Republik mendukung proposal menghentikan bantuan kepada Ukraina. Sementara pada 20 Juli, 13 anggota Senat mengajukan usul memangkas bantuan untuk Ukraina, yang lalu mentah karena 71 anggota Senat lainnya menentang usul itu.
Tidak ada jaminan kecenderungan seperti itu tak terjadi lagi, apalagi jika perang Ukraina kian menyita energi AS ketika pada saat bersamaan mereka harus menghadapi ekspansi ekonomi China.
Baca juga: Penggunaan bom tandan berpotensi tambah kesengsaraan dalam konflik Rusia-Ukraina
Kritik membesar
Perkembangan di Amerika Serikat itu sungguh mencemaskan Ukraina. Tak ada pilihan bagi Ukraina selain mati-matian mengerahkan segala daya untuk mencapai kemenangan maksimum di medang perang, karena AS yang menjadi donor utama mereka bakal segera menghadapi siklus pemilu yang bisa mengurangi perhatian kepada perang di Ukraina.
Ukraina juga terancam menghadapi kemungkinan lahirnya pemerintahan AS yang lebih berorientasi ke dalam negeri sehingga mengakhiri partisipasi dan donasi AS untuk Ukraina.
Karena itu, sebelum gejala perubahan rezim di Wasington termaterialisasi, Ukraina mati-matian memastikan pendulum perang memihak mereka.
Namun, Presiden Vladimir Putin sendiri sama dikejar waktunya seperti Biden dan Zelenskky.
Perang yang berlarut-larut bisa membahayakan posisi kekuasaannya karena ketidakmampuan untuk segera memenangi perang dapat menimbulkan pertanyaan seputar kompetensi militer Rusia dan lebih jauh kompetensi kekuasaan Putin.
Gejala itu sudah terbukti di lapangan ketika pemimpin tentara bayaran Wagner Group, Yevgeny Prigozhin melancarkan pemberontakan pada 23 Juni yang walau membidik Menteri Pertahanan Sergei Shoigu dan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Valery Gerasimov, tetap saja menampar pemerintahan Putin.
Apalagi Prigozhin mendapatkan simpati dari sejumlah elite militer Rusia dan kaum nasionalis yang selama ini menjadi penganjur utama invasi Rusia di Ukraina.
Prigozhin juga bukan orang terakhir di dalam lingkaran kekuasaan Putin yang mengkritik rezim Putin, khususnya dalam hubungan dengan manajemen perang di Ukraina.
Masih ada beberapa orang yang mengeluhkan hal yang juga dikeluhkan Prigozhin. Salah satunya Mayor Jendral Ivan Popov, panglima divisi ke-58 angkatan darat Rusia.
Walaupun Popov hanya menyampaikan keluhannya dalam forum internal di depan pasukannya, namun karena bocor ke publik, sang jenderal dicopot oleh hirarki militer Rusia.
Di antara para pendukung perang yang berbalik mengkritik rezim Putin adalah Igor Gorkin yang paling berani, sampai pemerintah pun menahan dan mengadilinya dengan dakwaan memicu ekstremisme.
Blogger yang juga tokoh nasionalis pro perang Ukraina dan mantan perwira dinas intelijen Rusia (FSB) itu memang kerap mengkritik strategi perang Shoigu dan Gerasimov.
Namun belakangan, panglima pasukan proksi Rusia di Ukraina timur pada 2014 yang didakwa pengadilan Belanda karena bertanggung jawab atas penembakan jatuh pesawat Malaysia Airlines MH17 itu berubah dari semula hanya mengkritik "orang-orang Putin", menjadi mengkritik langsung Putin.
Baca juga: Belarus tak ragu menggunakan senjata nuklir jika diserang negara lain
Jalan buntu
Orang-orang seperti Prigozhin, Popov, dan Gorkin tidak menentang perang Ukraina. Sebaliknya, mereka penganjur dan pendukung perang di Ukraina.
Namun kini mereka berbalik mengkritik pemerintahan Putin, dan bahkan berani mengungkit alasan Rusia berperang di Ukraina.
Sebelum menggerakkan pasukan tentara bayaran Wagner Group dalam "Parade Keadilan" yang lalu disebut pemberontakan 23 Juni, dalam pesan video berdurasi 30 menit via aplikasi Telegram, Prigozhin menyebut perang di Ukraina didasari oleh kebohongan karena baik Ukraina maupun NATO sebenarnya tidak mengancam Rusia.
Prigozhin menuding perang ini didasari oleh keserakahan dan korupsi oleh segelintir elite dan oligarki yang mengitari Putin.
Di atas itu semua, peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan pihak-pihak yang saling berlawanan di Ukraina sudah tidak sabar lagi ingin segera menyaksikan kemenangan atas musuhnya.
Biden tidak menginginkan perang ini terlalu lama karena bisa mengakhiri nasibnya dalam Pemilu 2024.
Putin juga tak menginginkan perang yang berlarut-larut karena dapat mengekspos kerentanan kekuasaannya dan bisa mengungkapkan apa yang selama ini ditutupi dari realitas perang di Ukraina, termasuk jumlah tentara yang tewas dan skala kerugian akibat alat-alat perang yang rusak atau dikuasai musuh.
Putin mungkin tak gentar menghadapi Barat dan sanksi-sanksinya. Tetapi, dia mungkin lebih mengkhawatirkan keadaan di mana rakyat Rusia tak lagi mendukung dia.
Jika itu terjadi, bukan saja rakyat menuntut pasukan Rusia ditarik dari Ukraina, tapi juga mereka bisa menggugat kompetensi Putin dalam memimpin Rusia.
Perkembangan-perkembangan terakhir ini bisa membuat perang Ukraina-Rusia memasuki fase akhir, yang mungkin saja terjadi sebelum akhir 2024 ketika kekhawatiran-kekhawatiran politik di AS, Ukraina, dan Rusia semakin besar.
Mungkin perang ini berakhir dengan kemenangan militer paripurna dari salah satu pihak, tetapi bisa jadi berakhir karena perjanjian damai yang dipaksa hadir karena jalan buntu akibat tidak ada lagi yang mencapai kemajuan di medan perang.
Pihak-pihak yang terlibat dalam perang ini sudah sama-sama tidak sabar karena menyadari perang yang berlarut-larut bakal semakin menyita energi politik dan ekonomi mereka.
Amerika Serikat bahkan memasok bom tandan yang kontroversial karena tidak sabar menunggu pendulum perang yang belum juga bergerak ke arah yang lebih menguntungkan Ukraina.
Bom yang dilarang oleh sekitar 100 negara itu ditujukan untuk menghancurkan rintangan-rintangan di garis depan pertempuran, terutama ranjau yang ditanam masif oleh pasukan Rusia. Dengan cara ini, efektivitas serangan balasan Ukraina bisa sebesar dan secepat seperti diinginkan.
Rusia tak kalah tidak sabar. Tidak mencapai kemajuan besar di medan perang dan malah berbalik dalam posisi defensif, Rusia menghentikan kesepakatan ekspor pangan lewat Laut Hitam.
Dengan cara itu, dunia pun kembali diancam krisis pangan akibat pasokan gandum dan produk sereal atau biji-bijian lain terhenti dari Rusia dan Ukraina yang memang menjadi produsen utama pangan jenis ini.
Baca juga: Erdogan dan Zelenskyy bahas kelanjutan kesepakatan pangan Laut Hitam via telepon
Harga pangan global yang melonjak bakal menciptakan tekanan internasional untuk menghentikan perang. Desakan internasional untuk mengakhiri perang bakal menyelamatkan muka Rusia dari predikat kalah atau terpojok.
Yang juga diburu waktu adalah para pemimpin yang terlibat dalam perang, khususnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Bagi Biden, perang yang berlarut-larut akan membuat tekanan dari lawan politiknya di dalam negeri menjadi semakin kencang. Sejumlah kalangan menjadi tidak sabar, terutama karena menilai AS tak perlu mengalokasikan uang pajak rakyat yang begitu besar untuk membiayai perang di negara asing.
Pandangan ini terutama dianut sejumlah politisi Partai Republik yang terafiliasi dengan mantan presiden Donald Trump yang mencalonkan diri lagi pada Pemilu 2024.
Sepekan lalu, 70 wakil rakyat dari Partai Republik mendukung proposal menghentikan bantuan kepada Ukraina. Sementara pada 20 Juli, 13 anggota Senat mengajukan usul memangkas bantuan untuk Ukraina, yang lalu mentah karena 71 anggota Senat lainnya menentang usul itu.
Tidak ada jaminan kecenderungan seperti itu tak terjadi lagi, apalagi jika perang Ukraina kian menyita energi AS ketika pada saat bersamaan mereka harus menghadapi ekspansi ekonomi China.
Baca juga: Penggunaan bom tandan berpotensi tambah kesengsaraan dalam konflik Rusia-Ukraina
Kritik membesar
Perkembangan di Amerika Serikat itu sungguh mencemaskan Ukraina. Tak ada pilihan bagi Ukraina selain mati-matian mengerahkan segala daya untuk mencapai kemenangan maksimum di medang perang, karena AS yang menjadi donor utama mereka bakal segera menghadapi siklus pemilu yang bisa mengurangi perhatian kepada perang di Ukraina.
Ukraina juga terancam menghadapi kemungkinan lahirnya pemerintahan AS yang lebih berorientasi ke dalam negeri sehingga mengakhiri partisipasi dan donasi AS untuk Ukraina.
Karena itu, sebelum gejala perubahan rezim di Wasington termaterialisasi, Ukraina mati-matian memastikan pendulum perang memihak mereka.
Namun, Presiden Vladimir Putin sendiri sama dikejar waktunya seperti Biden dan Zelenskky.
Perang yang berlarut-larut bisa membahayakan posisi kekuasaannya karena ketidakmampuan untuk segera memenangi perang dapat menimbulkan pertanyaan seputar kompetensi militer Rusia dan lebih jauh kompetensi kekuasaan Putin.
Gejala itu sudah terbukti di lapangan ketika pemimpin tentara bayaran Wagner Group, Yevgeny Prigozhin melancarkan pemberontakan pada 23 Juni yang walau membidik Menteri Pertahanan Sergei Shoigu dan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Valery Gerasimov, tetap saja menampar pemerintahan Putin.
Apalagi Prigozhin mendapatkan simpati dari sejumlah elite militer Rusia dan kaum nasionalis yang selama ini menjadi penganjur utama invasi Rusia di Ukraina.
Prigozhin juga bukan orang terakhir di dalam lingkaran kekuasaan Putin yang mengkritik rezim Putin, khususnya dalam hubungan dengan manajemen perang di Ukraina.
Masih ada beberapa orang yang mengeluhkan hal yang juga dikeluhkan Prigozhin. Salah satunya Mayor Jendral Ivan Popov, panglima divisi ke-58 angkatan darat Rusia.
Walaupun Popov hanya menyampaikan keluhannya dalam forum internal di depan pasukannya, namun karena bocor ke publik, sang jenderal dicopot oleh hirarki militer Rusia.
Di antara para pendukung perang yang berbalik mengkritik rezim Putin adalah Igor Gorkin yang paling berani, sampai pemerintah pun menahan dan mengadilinya dengan dakwaan memicu ekstremisme.
Blogger yang juga tokoh nasionalis pro perang Ukraina dan mantan perwira dinas intelijen Rusia (FSB) itu memang kerap mengkritik strategi perang Shoigu dan Gerasimov.
Namun belakangan, panglima pasukan proksi Rusia di Ukraina timur pada 2014 yang didakwa pengadilan Belanda karena bertanggung jawab atas penembakan jatuh pesawat Malaysia Airlines MH17 itu berubah dari semula hanya mengkritik "orang-orang Putin", menjadi mengkritik langsung Putin.
Baca juga: Belarus tak ragu menggunakan senjata nuklir jika diserang negara lain
Jalan buntu
Orang-orang seperti Prigozhin, Popov, dan Gorkin tidak menentang perang Ukraina. Sebaliknya, mereka penganjur dan pendukung perang di Ukraina.
Namun kini mereka berbalik mengkritik pemerintahan Putin, dan bahkan berani mengungkit alasan Rusia berperang di Ukraina.
Sebelum menggerakkan pasukan tentara bayaran Wagner Group dalam "Parade Keadilan" yang lalu disebut pemberontakan 23 Juni, dalam pesan video berdurasi 30 menit via aplikasi Telegram, Prigozhin menyebut perang di Ukraina didasari oleh kebohongan karena baik Ukraina maupun NATO sebenarnya tidak mengancam Rusia.
Prigozhin menuding perang ini didasari oleh keserakahan dan korupsi oleh segelintir elite dan oligarki yang mengitari Putin.
Di atas itu semua, peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan pihak-pihak yang saling berlawanan di Ukraina sudah tidak sabar lagi ingin segera menyaksikan kemenangan atas musuhnya.
Biden tidak menginginkan perang ini terlalu lama karena bisa mengakhiri nasibnya dalam Pemilu 2024.
Putin juga tak menginginkan perang yang berlarut-larut karena dapat mengekspos kerentanan kekuasaannya dan bisa mengungkapkan apa yang selama ini ditutupi dari realitas perang di Ukraina, termasuk jumlah tentara yang tewas dan skala kerugian akibat alat-alat perang yang rusak atau dikuasai musuh.
Putin mungkin tak gentar menghadapi Barat dan sanksi-sanksinya. Tetapi, dia mungkin lebih mengkhawatirkan keadaan di mana rakyat Rusia tak lagi mendukung dia.
Jika itu terjadi, bukan saja rakyat menuntut pasukan Rusia ditarik dari Ukraina, tapi juga mereka bisa menggugat kompetensi Putin dalam memimpin Rusia.
Perkembangan-perkembangan terakhir ini bisa membuat perang Ukraina-Rusia memasuki fase akhir, yang mungkin saja terjadi sebelum akhir 2024 ketika kekhawatiran-kekhawatiran politik di AS, Ukraina, dan Rusia semakin besar.
Mungkin perang ini berakhir dengan kemenangan militer paripurna dari salah satu pihak, tetapi bisa jadi berakhir karena perjanjian damai yang dipaksa hadir karena jalan buntu akibat tidak ada lagi yang mencapai kemajuan di medan perang.