Jakarta (ANTARA) - Pondok Pesantren Al Zaytun yang berdiri di Indramayu, Jawa Barat, itu tengah menjadi sorotan publik saat ini, lantaran berbagai polemik yang disulut oleh orang nomor satu di ponpes ini, Panji Gumilang.
Polemik yang diakibatkan olehnya pun beragam, seperti halnya dugaan penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tindak pidana pencucian uang (TPPU), hingga tudingan penistaan agama dan aliran sesat, yang boleh dibilang sudah terpatri di benak masyarakat sejak lama.
 
Pada hari Jumat, (28/7) lalu, pewarta ANTARA berkesempatan untuk membuktikan secara langsung, bagaimanakah prosesi ibadah Shalat Jumat di Masjid Rahmatan Lil 'Alamin, tempat ibadah yang memiliki tujuh lantai di lingkungan ponpes tersebut.
 
Rangkaian ibadah Shalat Jumat dimulai sekitar pukul 11.30 WIB, saat wartawan kantor berita ini datang ke lokasi. Ketika itu, di dalam masjid telah diisi deretan kursi. Kursi-kursi tersebut akan digunakan untuk duduk saat mendengarkan khotbah serta berzikir seusai shalat. Saf Shalat Jumat yang berjarak dan diberi kursi untuk masing-masing anggota jamaah di Masjid Rahmatan Lil 'Alamin Ponpes Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (28/7/2023). ANTARA/Sean Filo Muhamad
Kursi-kursi tersebut diletakkan dengan jarak satu rentangan tangan (sekitar satu meter). Adapun celah tersebut, kemudian diisi dengan sajadah untuk melaksanakan Shalat Jumat.
 
Adapun tempat wudu terletak di sebelah utara masjid untuk jamaah laki-laki, selatan masjid untuk jamaah perempuan, di belakang tempat imam untuk guru dan jamaah VIP, serta di rubanah (basement) yang sedang dalam proses pembangunan.
 
Tidak seperti masjid pada umumnya, yang mana saat Shalat Jumat seluruh kamar mandi dan tempat wudu difungsikan untuk jamaah pria, di masjid ini, kamar mandi dan tempat wudu berfungsi sebagaimana semestinya. Lantaran di Ponpes Al Zaytun, seluruh santri, baik pria maupun wanita, diwajibkan mengikuti Shalat Jumat.
 
Setelah beberapa waktu, jamaah pria dan wanita yang terdiri atas santri/santriwati serta para guru di Ponpes Al Zaytun mulai memadati masjid dengan mengisi saf-saf yang tersedia.
 
Jamaah pria menempati saf sebelah kanan, sedangkan jamaah wanita menempati saf sebelah kiri, tanpa adanya sekat maupun pembatas yang menutupi.
 
Selain itu, terdapat pula selembar sajadah yang terletak di belakang imam sebelah kanan, serta satu sajadah di posisi saf jamaah wanita yang lebih maju dibandingkan jamaah di sampingnya.
 
Jamaah yang telah hadir mengisi waktu--sebelum azan berkumandang--dengan membaca Al-Qur'an, sembari mempelajari ayat yang akan dibahas seusai Shalat Jum'at, yang telah diumumkan kepada seluruh civitas academica di Ponpes Al Zaytun sebelumnya.
 
Jamaah membaca Al-Qur'an dengan duduk di atas kursi yang disediakan, tidak dengan duduk bersila di atas sajadah. Selain itu, juga terdapat santri dan santriwati yang secara bergiliran melantunkan ayat suci Al-Qur'an yang dikumandangkan dengan pelantang.
 
Seketika, bacaan Al-Qur'an yang sebelumnya menggema di dalam masjid tersebut berhenti, tatkala seorang santri mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum, merdeka!," ujar seorang santri yang hendak mengumandangkan azan melalui pengeras suara.
 
Santri yang bertugas menjadi muazin tersebut mengumandangkan azan dengan cara yang tidak lazim, yakni dengan menghadap kepada seluruh jamaah, melakukan gerakan tangan seperti sedang berorasi mengajak untuk shalat, serta tidak melantunkan azan dengan suara indah sebagaimana para muazin di masjid-masjid, termasuk di Masjidilharam di Makkah, Arab Saudi yang menjadi tempat suci bagi umat Islam di seluruh dunia.
 
Seusai azan berkumandang, santri yang bertugas sebagai khatib ke atas mimbar dan berkhotbah selayaknya para khatib. Saat itu, khatib mengajak untuk menjaga persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para jamaah juga mendengarkan khotbah sembari duduk di atas kursi yang disediakan.
 
Seusai khotbah, ikamah dikumandangkan oleh santri yang bertugas menjadi muazin sebelumnya, dengan tata cara yang sama, yakni dengan gerakan dan menghadap kepada seluruh jamaah.
 
Seusai ikamah, Panji Gumilang selaku pimpinan Ponpes Al Zaytun keluar dari ruangannya yang terletak di bagian sebelah kiri imam, untuk mengatur saf, dan menempati tempat shalatnya di bagian belakang, sebelah kanan imam untuk ikut melaksanakan shalat, yang diketahui sebagai posisi badal imam (imam pengganti) menurut Panji Gumilang.
 
Dalam pelaksanaan shalat, imam melantunkan bacaan-bacaan shalat sebagaimana semestinya, tidak ada yang berbeda. Shalat pun berlangsung dengan khidmat.
 
Seusai shalat, seluruh jamaah secara otomatis langsung kembali ke tempat duduknya sehingga zikir sesudah shalat tidak dilaksanakan dengan duduk bersila atau bersimpuh di atas sajadah, namun dilakukan dengan duduk di kursi sebagaimana jamaah membaca Al-Qur'an sebelum azan berkumandang.
 
Zikir juga dilaksanakan secara berbeda, yakni dengan diawali ucapan doa secara sepotong oleh imam, kemudian diikuti oleh jamaah secara sepotong lainnya, dan kemudian berputar terus hingga selesai.
 
Setelah berzikir, prosesi ibadah Shalat Jumat diikuti dengan tausiyah yang dibawakan oleh Panji Gumilang, kemudian ditutup dengan shalat ghaib yang ditujukan kepada para kerabat seluruh civitas academica Ponpes Al Zaytun.
 
Berdasarkan pengalaman tersebut, terkait azan dan saf yang berjarak, saat dikonfirmasi langsung ke Panji Gumilang, dirinya justru menanyakan kembali pertanyaan yang dilontarkan dengan jawaban, "Memangnya kenapa?" Ia tidak menyatakan dasar hukum yang jelas, serta mengulangi kalimat Ad diinu aqlun, yang maknanya beragama harus menggunakan akal.
 
Terkait penggunaan kursi saat sebelum dan sesudah shalat serta saat mendengarkan khotbah, Ketua Majelis Guru Ponpes Al Zaytun Muhammad Iqbal mengonfirmasi bahwa dalam beberapa hal mereka memiliki dasar.
 
Menurut Ketua Ikatan Alumni Ponpes Al Zaytun itu, hal tersebut mengacu pada penggalan Surat Ali 'Imran ayat 191 (Alladziina yadzkurunallaha qiyaaman wa qu'uudan) yang berarti orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk.
 
Iqbal menyebutkan penggunaan kata (qu'uud) secara harfiah adalah duduk di tempat duduk, bukan duduk sila atau bersimpuh, namun tidak ada satu pun tafsir yang merujuk kepada hal teknis seperti penggunaan kursi saat berzikir.
 
Bukan kali ini saja Ponpes Al Zaytun berbeda  dalam menafsir ayat Al-Qur'an terkait saf shalat yang berjarak, Panji Gumilang menggunakan penggalan Surat Al-Mujadalah ayat 11 yang sejatinya bukan dimaksudkan untuk hal tersebut.
 
Sejumlah hal tersebut semakin membuktikan kebenaran hasil penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2002 lalu yang menunjukkan adanya penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an yang menyimpang di Ponpes Al Zaytun.
 
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah Muhammad Cholil Nafis juga telah mengatakan bahwa pihaknya lebih mempermasalahkan hal-hal yang menjadi prinsip dasar, seperti penafsiran ayat Al-Qur'an. Jadi, bukan masalah yang khilafiah, layaknya sejumlah hal yang tidak lazim seperti penerapan saf yang berjarak dan tidak berbatas dengan saf perempuan, adanya posisi badal imam, tata cara azan yang tidak lazim, serta cara zikir yang dieja.
 
Perbedaan merupakan hal yang wajar di negara yang menjunjung prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang selalu dijaga masyarakat Indonesia.

Namun, bila memang ada penyimpangan-- bukan sebuah perbedaan--, maka hal itu harus diluruskan demi menghindarkan polemik tak berkesudahan.

Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta : Sean Filo Muhamad
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024