Makassar (ANTARA) - Lembaga Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi menyikapi fenomena pembebasan para narapidana tindak pidana korupsi termasuk mantan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) saat pemberian remisi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2023.

"Tentunya pertama, publik kaget dengan bebasnya Nurdin Abdullah. Kedua, saya ingin mengatakan bahwa proses bebasnya yang bersangkutan itu tidak lepas dari proses awal mulai dari persidangan hingga tuntutannya yang rendah, tuntutan minimum diberikan oleh jaksa penuntut KPK," ujar Direktur ACC Sulawesi Abdul Kadir Wokanubun di Makassar, Sabtu malam.

Menurut dia, saat itu pihaknya telah menyoroti tentang tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dengan ancaman minimum enam tahun penjara, hingga berakibat pada putusan dengan dijatuhkan lima tahun penjara serta denda, selanjutnya dijalani dengan masa potongan tahanan dan remisi.

"Perlu saya sampaikan terkait dengan bebasnya (Nurdin Abdullah) tidak bisa dipisahkan dengan proses panjang persidangan mulai dari dakwaan, tuntutan hingga kemudian putusan. Soal keberpihakan KPK untuk tuntutan maksimal kepada Nurdin Abdullah tidak begitu baik," ungkap Kadir. 

Selain itu, fenomena putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kata dia, dinilai sangat rendah hingga berakibat ketika ditahan kemudian menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maka soal remisi itu akan diberikan dengan mudah.

"Kami bahasakan ada 'obral' remisi terhadap tersangka narapidana kasus korupsi. Secara regulatif, sebenarnya diatur tentang pengetatan remisi untuk narapidana narkoba, terorisme dan pencabulan anak. Tapi aturan pengetatan remisi ini dicabut oleh pemerintah," katanya.

ACC Sulawesi juga menilai pencabutan pengetatan remisi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan dampaknya sudah terasa dari pemberian remisi kemerdekaan tahun ini. 

"Saya katakan, tidak ada poin efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sehingga orang yang melakukan korupsi itu menganggap tindak pidana yang biasa saja. Padahal, faktanya adalah seperti diketahui secara publik bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime," paparnya menekankan.

Oleh karena itu, terkait dengan pengetatan remisi yang selama ini didorongkan oleh masyarakat sipil, ungkap dia, ternyata teruji hari ini bahwa memang pencabutan aturan tentang pengetatan remisi tidak berlaku dan koruptor  akan lebih cepat bebas. 

"Dengan banyaknya 'obral' remisi yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM terhadap narapidana, baik itu tindak pidana korupsi, maupun tindak pidana narkoba dan tindak pidana kejahatan lainnya, maka menjadi catatan mulai melemahnya penegakan hukum di Indonesia," ucapnya menegaskan. 

Sebelumnya, Kepala Lapas Sukamiskin Kunrat Kasmiri membenarkan telah membebaskan Nurdin Abdullah seusai mendapatkan remisi PB saat hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 tahun dan hanya dikenakan wajib lapor selama setahun.

Selain Nurdin Abdullah, terpidana koruptor lainnya juga dinyatakan langsung bebas yakni mantan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Jakarta 3 Yul Dirga, kemudian General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso, serta mantan politikus PDIP Nyoman Damantra.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024