Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) Agus Jabo Priyono menilai peta koalisi yang mengusung bakal calon presiden Pemilu 2024 masih buntu lantaran partai politik terikat aturan ambang batas pencalonan presiden.
"Aturannya dibuat sendiri, justru sekarang malah menghambat mereka sendiri," kata Agus dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Agus, aturan ambang batas kursi atau suara parpol di parlemen justru saat ini menjadi penghambat yang mengganggu pencalonan capres dan cawapres.
Ia menjelaskan akibat adanya aturan ambang batas tersebut, koalisi parpol yang terbentuk tidak dilakukan berdasarkan platform bersama atau kesamaan ideologi perjuangan.
Koalisi hanya berisi agenda pembagian kekuasaan (power sharing) dan dilakukan oleh para elit tanpa melibatkan rakyat.
Baca juga: MA menolak PK sengketa proses pemilu diajukan DPP Prima
Selain itu, lanjut Agus, parpol juga masih terjebak oleh kepentingan oligarki. Hal itu terbukti dengan adanya nama-nama tokoh bakal capres yang diajukan justru bukan dari kader mereka sendiri, tetapi dari unsur yang memiliki kelimpahan logistik.
"Padahal, jika tidak ada aturan ambang batas, parpol memiliki keleluasaan untuk mencalonkan kadernya sendiri yang memiliki kemampuan mumpuni untuk memimpin Indonesia," jelasnya.
Agar kehidupan demokrasi sehat, Agus juga mendorong kepada siapa pun yang ingin berkuasa menjadi capres atau cawapres untuk membuat parpol sendiri.
"Jika ingin jadi capres atau cawapres, mereka seharusnya buat partai sendiri, bukan nebeng atau membajak partai dengan dukungan oligarki. Ini tidak bagus dan tidak sehat," tegas Agus.
Dia berharap ke depan dapat muncul aturan baru yang tidak membatasi parpol dalam mengajukan calon pemimpin dari kader internal sendiri.
Sebab, menurutnya, setiap parpol yang memiliki fraksi di DPR berhak mencalonkan kandidat presiden atau wakil presidennya.
Hal ini bertujuan agar koalisi berkualitas, menyerap aspirasi rakyat, dan kerja sama yang terbentuk antar-parpol didasarkan pada kesamaan platform dan tidak terjebak oleh kepentingan oligarki.
"Seperti di negara-negara maju, ada kelompok parpol berbasis ideologi konservatif, liberal, dan progresif. Platform koalisinya dibentuk berdasarkan kesamaan ideologi, bukan pragmatisme, elitis, dan sekadar pembagian jabatan," ujarnya.
"Aturannya dibuat sendiri, justru sekarang malah menghambat mereka sendiri," kata Agus dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Agus, aturan ambang batas kursi atau suara parpol di parlemen justru saat ini menjadi penghambat yang mengganggu pencalonan capres dan cawapres.
Ia menjelaskan akibat adanya aturan ambang batas tersebut, koalisi parpol yang terbentuk tidak dilakukan berdasarkan platform bersama atau kesamaan ideologi perjuangan.
Koalisi hanya berisi agenda pembagian kekuasaan (power sharing) dan dilakukan oleh para elit tanpa melibatkan rakyat.
Baca juga: MA menolak PK sengketa proses pemilu diajukan DPP Prima
Selain itu, lanjut Agus, parpol juga masih terjebak oleh kepentingan oligarki. Hal itu terbukti dengan adanya nama-nama tokoh bakal capres yang diajukan justru bukan dari kader mereka sendiri, tetapi dari unsur yang memiliki kelimpahan logistik.
"Padahal, jika tidak ada aturan ambang batas, parpol memiliki keleluasaan untuk mencalonkan kadernya sendiri yang memiliki kemampuan mumpuni untuk memimpin Indonesia," jelasnya.
Agar kehidupan demokrasi sehat, Agus juga mendorong kepada siapa pun yang ingin berkuasa menjadi capres atau cawapres untuk membuat parpol sendiri.
"Jika ingin jadi capres atau cawapres, mereka seharusnya buat partai sendiri, bukan nebeng atau membajak partai dengan dukungan oligarki. Ini tidak bagus dan tidak sehat," tegas Agus.
Dia berharap ke depan dapat muncul aturan baru yang tidak membatasi parpol dalam mengajukan calon pemimpin dari kader internal sendiri.
Sebab, menurutnya, setiap parpol yang memiliki fraksi di DPR berhak mencalonkan kandidat presiden atau wakil presidennya.
Hal ini bertujuan agar koalisi berkualitas, menyerap aspirasi rakyat, dan kerja sama yang terbentuk antar-parpol didasarkan pada kesamaan platform dan tidak terjebak oleh kepentingan oligarki.
"Seperti di negara-negara maju, ada kelompok parpol berbasis ideologi konservatif, liberal, dan progresif. Platform koalisinya dibentuk berdasarkan kesamaan ideologi, bukan pragmatisme, elitis, dan sekadar pembagian jabatan," ujarnya.