Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis patologi klinik di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dr. Reiva Wisdharilla Meidyandra, Sp.PK, menyarankan skrining talasemia atau thalasemia bisa dilakukan salah satunya sebelum menikah demi mencegah anak terkena penyakit tersebut.
"Kalau di orang sehat, kelihatan tanpa gejala, tapi, mungkin ada bakat talasemia, sebaiknya dilakukan skrining sebelum menikah. Jangan-jangan calon pasangan punya bakat yang sama," kata Reiva dalam sebuah webinar kesehatan, Jumat.
Thalasemia merupakan kelainan darah yang diturunan yang disebabkan oleh kelainan hemoglobin (akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin) yang menyebabkan kerusakan pada sel darah merah sehingga penderitanya mengalami anemia atau kurang darah
Skrining prinsipnya menjaring atau mencari orang sakit di antara orang sehat karena tidak semua orang menunjukkan gejala. Khusus untuk talasemia, gejala yang bisa muncul antara lain wajah pucat, lemas dan mudah sesak.
Selain itu, ada orang-orang yang sebenarnya punya sifat pembawa talasemia, namun, tidak memperlihatkannya. Apabila orang-orang itu menikah dengan sesama pembawa sifat talasemia, maka anak yang lahir nantinya bisa mengalami talasemia.
"Kalau ada pembawa talasemia menikah dengan sesama, anaknya ada risiko. Supaya anaknya enggak mengalami disarankan konseling genetik. Risikonya bagaimana," kata Reiva.
Anak bisa tidak mengalami talasemia apabila salah satu antara ayah atau ibunya tidak mempunyai bakat thalasemia.
Reiva melanjutkan selain dilakukan sebelum menikah, skrining talasemia juga bisa dilakukan apabila ada salah satu dari anggota keluarga terdiagnosis talasemia, lalu apabila seorang individu mengalami anemia tak kunjung sembuh dan membutuhkan transfusi darah terus menerus.
"Skrining bisa dengan analisis Hb (hemoglobin), molekuler kalau curiga analisis Hb kelihatan talasemia tersembunyi. Lihat dulu Hb rendah atau tidak, sel darah merah kecil-kecil atau aneh-aneh," kata dia.
Reiva mengingatkan talasemia bisa bersifat seumur hidup, pengobatannya pun berlangsung seumur hidup pasien.
"Tidak ada obatnya, hanya transfusi. Tidak nyaman bagi anak walau untuk menyelamatkan hidup anak (transfusi), kelebihan besi nanti lama-lama kulitnya jadi hitam," tutur Reiva.
"Kalau di orang sehat, kelihatan tanpa gejala, tapi, mungkin ada bakat talasemia, sebaiknya dilakukan skrining sebelum menikah. Jangan-jangan calon pasangan punya bakat yang sama," kata Reiva dalam sebuah webinar kesehatan, Jumat.
Thalasemia merupakan kelainan darah yang diturunan yang disebabkan oleh kelainan hemoglobin (akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin) yang menyebabkan kerusakan pada sel darah merah sehingga penderitanya mengalami anemia atau kurang darah
Skrining prinsipnya menjaring atau mencari orang sakit di antara orang sehat karena tidak semua orang menunjukkan gejala. Khusus untuk talasemia, gejala yang bisa muncul antara lain wajah pucat, lemas dan mudah sesak.
Selain itu, ada orang-orang yang sebenarnya punya sifat pembawa talasemia, namun, tidak memperlihatkannya. Apabila orang-orang itu menikah dengan sesama pembawa sifat talasemia, maka anak yang lahir nantinya bisa mengalami talasemia.
"Kalau ada pembawa talasemia menikah dengan sesama, anaknya ada risiko. Supaya anaknya enggak mengalami disarankan konseling genetik. Risikonya bagaimana," kata Reiva.
Anak bisa tidak mengalami talasemia apabila salah satu antara ayah atau ibunya tidak mempunyai bakat thalasemia.
Reiva melanjutkan selain dilakukan sebelum menikah, skrining talasemia juga bisa dilakukan apabila ada salah satu dari anggota keluarga terdiagnosis talasemia, lalu apabila seorang individu mengalami anemia tak kunjung sembuh dan membutuhkan transfusi darah terus menerus.
"Skrining bisa dengan analisis Hb (hemoglobin), molekuler kalau curiga analisis Hb kelihatan talasemia tersembunyi. Lihat dulu Hb rendah atau tidak, sel darah merah kecil-kecil atau aneh-aneh," kata dia.
Reiva mengingatkan talasemia bisa bersifat seumur hidup, pengobatannya pun berlangsung seumur hidup pasien.
"Tidak ada obatnya, hanya transfusi. Tidak nyaman bagi anak walau untuk menyelamatkan hidup anak (transfusi), kelebihan besi nanti lama-lama kulitnya jadi hitam," tutur Reiva.