Jakarta (ANTARA) - Organisasi Lingkungan Greenpeace Indonesia mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan peraturan kuat untuk menangani sejumlah persoalan lingkungan hidup, agraria hingga maritim yang saat ini mengalami degradasi yang situasinya berada pada kondisi krisis iklim.

"Kondisi laut kita sedang terancam. Jumlah manusia terus bertambah, apalagi ditemukannya teknologi memungkinkan manusia menangkap ikan dengan jumlah yang luar biasa. Dampaknya, menyebabkan laut kita overfishing (penangkapan berlebihan red.)," ujar Ocean Campaign Leader Greenpeace Indonesia, Afdillah Chudiel di Jakarta, Jumat.

Ia menilai aktivitas penangkapan ikan secara eksploitatif dapat merusak ekosistem laut. Terlebih jika para nelayan melakukan aktivitas ilegal dengan menggunakan bom ikan.

“Salah satu yang paling terdampak parah dari overfishing adalah Laut Jawa. Kehilangan biodiversitas dan kerusakan ekosistem. Nelayan mencari ikan lebih jauh dan lebih lama dengan biaya yang lebih besar dan hasil tangkap yang lebih sedikit," ungkap Afdillah.

Selain itu, persoalan sampah plastik yang dibuang ke laut, tercatat ada sekitar 80 persen sampah plastik yang berasal dari daratan dan 20 persen lainnya berasal dari kegiatan masyarakat pesisir. Tentu ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah untuk mengatasinya.

"Polusi sampah plastik merupakan kegagalan pengelolaan sampah di darat. Sampai saat ini, pemerintah belum mengatasi produsen untuk pengolahan masalah sampah produk mereka dari plastik sekali pakai jadi produk daur ulang. Itu yang jadi masalah. Kita tidak melihat upaya perusahaan untuk pengumpulan sampahnya," ucap dia menekankan.

Selanjutnya, pada masalah krisis iklim sampai pembangunan dan investasi juga dapat mengancam kondisi laut di Indonesia. Dia mencontohkan, ada sekitar 20 kawasan ekonomi khusus yang dibangun dan 16 di antaranya ada di kawasan pesisir sehingga terjadi alih fungsi lahan.

  Suasana diskusi terbuka membahas tentang laut pesisir dalam kegiatan Green Press Community (GPC) 8-9 November 2023 diinisiasi SIEJ berpusat di Gedung Perfilman Usmar Ismail, Jakarta. ANTARA/Darwin Fatir

Sementara itu, Editor Lingkungan The Conversation Indonesia, Robby Irfany Maqoma mengatakan media-media di Indonesia masih kurang gencar memberitakan seputar dampak termasuk edukasi soal sampah plastik. Baik itu penggunaan hingga solusi mengurangi risiko sampah plastik di Indonesia.

"Peran jurnalis adalah advokasi di tingkat hulu dan komunikasi risiko di tingkat hilir. Mengapa advokasi? Untuk mencegah pembebanan tanggung jawab berlebih pada konsumen yang notabene adalah korban," paparnya.

Robby menambahkan, cara berkomunikasi risiko di tingkat hulu dan tengah adalah dengan mendekati pihak produsen. Misalnya, dimulai dari industri migasnya, produsen plastiknya. Kemudian di tingkat tengah misalnya minimarket yang menjual kantong plastik hingga di pasar dan ke pedagang kecil. Serta mengajak masyarakat melek terhadap risiko sampah plastik

Pengelolaan sampah plastik, kata dia, wajib dilakukan untuk mencegah adanya pencemaran lingkungan. Sebab, jika tidak diolah dengan baik, sampah plastik berisiko mengendap lebih lama sehingga mencemari lingkungan dalam jangka panjang.

Sebelumnya, Organisasi Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) menginisasi kegiatan Green Press Community (GPC) 8-9 November 2023 berpusat di Gedung Perfilman Usmar Ismail yang menghadirkan nara sumber kompeten.

Kegiatan itu diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan, pers, organisasi non pemerintah, dan mahasiswa guna menghimpun ide serta memantik gerakan bersama untuk melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.


Berita inijuga  telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Greenpeace dorong pemerintah terbitkan kebijakan lingkungan 

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Redaktur Makassar
Copyright © ANTARA 2024