Makassar (ANTARA Sulsel) - Pakar Sosiologi Universitas Hasanuddin, Makassar Prof Dr Andi Agustang, M.Si mengatakan, faktor struktural dan kultural menjadi penyebab utama ketimpangan sosial Indonesia.

"Ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia disebabkan faktor struktural dan kultural, mewarnai kehidupan ekonomi elit dan kehidupan ekonomi golongan masyarakat bawah," kata Agustang di Makassar, Kamis.

Dia mengatakan, faktor kultural diibaratkan sebagai tenaga listrik, dengan indikator, tidak berorientasi ke depan dan tidak ada "growth philosophy" (filosofi pertumbuhan).

Akibatnya, lanjut dia, masyarakat lapisan bawah cenderung tidak suka menabung untuk peningkatan investasi, kurang ulet dan cepat menyerah, suka berpaling ke akhirat dan tidak menganggap penting dunia yang sedang dijalaninya dan kurang respon terhadap permintaan.

Menurut dia, lemahnya aspek kultural ini, disebabkan pengaruh ajaran fatalistik (paham Jabariah: Imam Al-Gazali). Ajaran ini, dalam penetrasinya ke masyarakat, berbaur dengan ajaran Hindu dan Budha yang telah terdidik keluhuran budi pekerti pada masyarakat.

Pembauran itu kemudian melahirkan sikap keluhuran budi (ketinggian perasaan), selanjutnya disinyalir sebagai penyebab lemahnya nilai kerja pada masyarakat Indonesia.

Bekasnya dalam masyarakat Bugis Makassar misalnya "Manre Te Manre yang penting mangkumpulu" atau dalam bahasa Makassar "Nganre tan Ngan`re yang penting As`serre" demikian pula di Jawa dikenal falsafah "mangan ora mangan watan kumpul".

Sementara itu, faktor struktural diibaratkan sebagai "jaringan listrik" yakni berupa lemahnya akses ekonomi bagi golongan masyarakat bawah terhadap unsure kemajuan seperti: modal, teknologi, manajemen pemasaran, informasi dan sebagainya. Di Indonesia, tenaga listrik yang dihasilkan adalah lemah dan jaringan listrikpun terputus-putus, akibatnya sering terjadi hubungan pendek.

"Kondisi seperti ini saya sebut dengan istilah "mobil kurang tenaga", sehingga sulit untuk bisa menanjak," katanya

Dia mengatakan, sebaliknya pada ekonomi elite menampilkan wujud lain yakni "kuda lepas kandang". Kuda lepas kandanglah manabrak segala yang merintangi jalannya.

Demikian pula peran ekonomi elit banyak melanggar norma, baik norma masyarakat, agama maupun peraturan/perundangan negara.

Sifat kuda lepas kandang pada ekonomi elit disinyalir pakar ekonomi Koentjaraningrat sebagai mentalitas suka menerobas yaitu semangat mumpung untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara apapun. Zita Meirina

Pewarta : Suriani Mappong
Editor :
Copyright © ANTARA 2024