Jakarta (ANTARA) - De Amsterdam, De Mauritius, De Hollandia, tiga kapal dagang Belanda itu, berlabuh di Banten setelah berlayar selama satu tahun dari Benua Eropa menuju Kepulauan Nusantara. Mereka diiringi oleh satu kapal dengan sebutan Merpati Kecil, Duyfken, untuk keperluan pelayaran di perairan dangkal.
Kapal-kapal Belanda itu tiba di Banten pada 1596, satu tahun setelah Cornelis De Houtman yang memimpin armada, meninggalkan Amsterdam. Tujuannya, tak lain untuk melakukan misi besarnya menaklukkan kepulauan surga rempah-rempah yang begitu didamba Eropa, dengan memperkerjakan para bumiputera tanpa upah.
Mulai dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) didirikan, hingga akhirnya perusahaan yang khusus mengelola perdagangan hasil bumi di Asia tersebut bangkrut pada 1799. VOC kemudian digantikan dengan perusahaan kolonial baru bernama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), yang digagas oleh Raja Belanda Willem van Oranje.
Kisah itu terpatri dalam kaca warna-warni di salah satu dinding besar gedung yang dulunya bernama De Factorij, tepat di pertemuan susunan dua anak tangga berlainan dari arah kanan dan kiri, yang kemudian bersatu menghubungkan lantai dasar ke lantai dua gedung tersebut.
Di bawah kaca patri yang bercerita tentang perjalanan awal Belanda ke Nusantara, dilukiskan pula kehidupan masyarakat Belanda nan jauh di Eropa yang menggambarkan keindahan iklim empat musim. Ditambah satu bilah kaca warna-warni yang menggambarkan keindahan bentang alam Nusantara dengan gunung vulkanik yang dikagumi para bangsa kolonial.
Lantai De Factorij yang bertegel dingin beserta langit-langit tak tergapai membuat udara di dalam ruangan terasa teduh. Cahaya dari Matahari timur menembus masuk melampaui kaca patri warna-warni, memberikan kesan hangat sekaligus mempertegas warna lukisan kaca. Sebuah karya seni Eropa di Nusantara yang dirancang menyerupai dengan kantor NHM di Amsterdam, yaitu gedung De Bezel.
De Factorij Nederlandsche Handel Maatschappij mulai dibangun pada 1929 oleh tiga arsitek dari Belanda. Dirancang oleh A.P. Smits dan C. van de Linde, dan seorang penasehat teknis J.J.J. de Bruijn. Salah satu gedung mewah di Batavia itu selesai dikerjakan pada 1933 dan diresmikan pada 14 Januari di tahun yang sama untuk dijadikan sebagai kantor bagi NHM.
Kini, pada tahun 2024, setelah 91 tahun gedung NHM itu berdiri, bangunan yang pernah dijadikan kantor sejumlah bank nasional itu tidak tampak menua. Rangkaian huruf berpelat besi bertuliskan FACTORIJ masih terpampang di bagian muka gedung, tepat di atas gerbang terali besi.
Lebih ke atas lagi, terlihat bilah-bilah kaca patri dari tampak luar yang tak memberikan gambaran apapun seperti dilihat dari bagian dalam. Di atas bilah kaca itu, terdapat tulisan NEDERLANDSCHE HANDEL-MAATSCHAPPIJ NV, menandakan kepemilikan gedung di masa kolonial. Yang paling atas dan paling besar, tertulis MUSEUM MANDIRI berkelir merah, menerangkan nama gedung beserta fungsinya, saat ini.
Menjelang satu abad gedung bersejarah ini berdiri, hampir tidak ada beda sejak silam hingga sekarang. Tembok-tembok tebal nan besar masih kokoh berdiri tanpa ada retak segaris pun. Jati yang dijadikan pintu dan daun jendela masih halus dan tegar seperti besi, bahkan engselnya pun masih berfungsi dengan presisi.
Di bagian lobi, terdapat loket kasir dengan meja marmer dan terali besi untuk memisahkan petugas dengan pengunjung. Lantainya mozaik keramik, hampir utuh secara keseluruhan, hanya di beberapa titik saja ada mozaik yang tanggal, tapi tidak banyak, tak sampai seluruh jari pada salah satu tangan.
De Factorij terasa kembali hidup ketika area loket dan ruang Kasir Cina di bagian lobi dihadirkan kembali seperti sebagaimana gedung pertama kali beroperasi. NHM yang awalnya merupakan perusahaan dagang hasil bumi Nusantara, perlahan-lahan berkembang menjadi perusahaan perbankan yang melayani masyarakat dari berbagai kalangan. Tidak hanya untuk penduduk kolonial maupun bangsawan, tetapi juga bagi imigran masyarakat China yang menetap di Pecinaan, Batavia.
Berbagai tata letak di sejumlah ruangan Museum Mandiri direkontruksi sebisa mungkin paling mendekati dengan aslinya. Berkat dokumentasi lengkap bangsa Belanda, komposisi furnitur dan perkakas ditiru sesuai seperti yang ada di foto.
Koleksi Museum Mandiri yang menghadirkan kembali mesin ketik zaman itu, buku besar perdagangan yang berisi catatan komoditas rempah-rempah yang ditulis sangat elok, brankas dan mesin uang yang sudah usang, namun terpelihara, replika komoditas, sampai diorama tentang kisah penjajahan Belanda di Bumi Pertiwi sudah cukup untuk mendenyutkan kembali hiruk pikuk Batavia dari suasana perkantoran hasil perbudakan. Museum ini berhasil memundurkan waktu bagi siapa saja yang mengunjunginya.
Tapi tidak melulu tentang sejarah era kolonial dan tanam paksa, Museum Mandiri juga membawa masa awal kemerdekaan, setelah pemerintah Indonesia menasiolisasi aset peninggalan Belanda. Sebelum jatuh menjadi aset negara, De Factorij milik NHM sempat jatuh ke tangan Jepang pada masa 1942 sampai 1945 dan dijadikan Yokohama Specie Bank.
Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih bangunan pada 5 Desember 1960 dan dijadikan kantor Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) urusan ekspor impor (Exim).
Pada era Bank Tunggal atau dikenal dengan masa "Bank Berjuang", gedung ini menjadi bagian dari kantor pusat Bank Negara Indonesia (BNI) Unit II bidang ekspor impor sejak tanggal 17 Agustus 1965, sampai lahirnya kantor pusat Bank Ekspor Impor (Bank Exim) pada tanggal 31 Desember 1968. Pada tahun 1995, Bank Exim pindah ke Gedung Plaza Exim yang kini menjadi Plaza Mandiri di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Pada tahun 1996 sampai 2003, gedung eks-NHM kemudian menjadi kantor cabang Bank Exim dan pusat arsip. Dengan lahirnya Bank Mandiri pada 2 Oktober 1998, dan terjadi aksi korporasi mergernya Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri pada 1999, maka gedung ini pun menjadi aset Bank Mandiri. Pada tahun 2004, gedung ini difungsikan sebagai museum.
Dari mengisahkan sejarah pemerintahan kolonial Belanda menjajah hasil bumi Nusantara, Museum Mandiri juga mengembalikan waktu tentang histori berkembangnya perbankan di Indonesia, khususnya Bank Mandiri.
Lini masa perjalanan terlahirnya Bank Mandiri pada 1998 hingga di era digitalisasi saat ini terekam di dalam museum tersebut. Bagian rubanah yang sudah dibangun oleh Belanda untuk menyimpan harta para nasabah dan kekayaan dari bumi Nusantara, kini penuh dengan koleksi brankas dari berbagai era, deposit box yang teroksidasi, koper kulit kuno, mesin ATM teknologi lampau, sampai lembar-lembar rupiah dari tahun-tahun lama.
Meski semua tampak tua, tapi seluruhnya terpelihara, mulai dari bangunan sampai benda-benda yang dipamerkan untuk menjadi pembelajaran para pengunjung museum yang berlokasi di kawasan Kota Tua Jakarta.
"Secara berkala dilakukan perawatan dan pembersihan lantai, dinding, dan ruangan serta pengecatan tembok bangunan Museum Mandiri," kata SVP Strategic Procurement Bank Mandiri Danang Kuantana Cahya Kusuma.
Benar adanya. Lantai-lantai tegel dan mozaik keramik tetap tampak licin, daun-daun pintu dan jendela mengkilap memamerkan keindahan serat jati. Dan primadonanya, kaca-kaca patri, tidak ada cela.
Mandiri hanya melakukan revitalisasi gedung seperlunya, dengan konsep tak mengubah kondisi awalnya di masa Hindia Belanda demi menjaga keutuhan cagar budaya. Bagian yang diubah hanya berupa taman yang bisa difungsikan untuk kegiatan dalam area gedung, yang dulunya berupa lapangan semata. Selain itu, perawatan juga dilakukan di seluruh atap gedung dengan penambahan lapisan membran khusus untuk mencegah kebocoran.
Bagian lain yang difungsikan kembali adalah elevator yang telah lama tak beroperasi. Di tahun 1933, elevator adalah fasilitas super mewah yang dimiliki oleh gedung. Dan elevator di De Factorij merupakan salah satu pionir di Batavia masa itu. Terdapat empat jenis elevator di Museum Mandiri, dua di antaranya telah diperbaiki dan berfungsi kembali sebagaimana mestinya, yaitu elevator untuk mengangkut barang dan orang. Sementara dua elevator lainnya, yaitu elevator berkas yang hanya seukuran tumpukan dokumen, dan elevator khusus direksi yang berada di ruangannya dengan seukuran sedikit lebih besar dari lemari es dua pintu.
Sarat manfaat
Selain fungsi utamanya sebagai museum yang mengisahkan banyak histori, Museum Mandiri yang berdiri di atas lahan 10.039 m2 dengan luas bangunan 21.509 m2 bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Museum didesain dengan estetis. Koleksi mesin ketik dan mesin uang dilekatkan di dinding, melingkar di dua sisi dinding. Replika mebel yang dibuat semirip mungkin dengan aslinya diletakkan di beberapa bagian, menjadi area foto bagi pengunjung. Bahkan, terdapat kostum ala masa kolonial yang dapat disewa oleh setiap pengunjung dengan hanya Rp5.000 saja agar semakin menjiwai. Bangunan dan ruangan nuansa era kolonial Museum Mandiri pun terbuka untuk sesi pemotretan komersial.
Terdapat beberapa ruangan di Museum Mandiri yang bisa disewakan untuk kebutuhan kegiatan komunitas, pelatihan, ataupun seminar yang terbuka untuk publik.
Aset perusahaan yang termasuk dalam kategori bangunan cagar budaya ini juga digunakan untuk kegiatan internal korporasi, seperti rapat kerja, pelatihan pegawai, gathering, dan berbagai kegiatan internal lainnya.
Museum Mandiri sebagai public space secara rutin mengadakan kegiatan "Akhir Pekan di Museum Mandiri" (APDM), yaitu acara kesenian dan kegiatan workshop, seperti latte art, membatik, kanvas painting, dan lainnya.
Museum Mandiri juga menghadirkan fasilitas lain, seperti kafe bernama Teras Kopi, dan juga Souvenir Corner yang juga menjual produk museum dan produk Bank Mandiri, seperti e-Money.
Total kunjungan Museum Mandiri pada 2023 mengalami peningkatan hingga 127 persen dibandingkan dari tahun sebelumnya. Dari 22 ribu pengunjung pada 2022, menjadi 63 ribu orang pada 2023.
Pada mundurnya waktu dalam gedung tua di Jalan Lapangan Stasiun Nomor 1 Jakarta Barat itu, terdapat pelajaran berharga tentang sejarah negeri yang harus lestari dari kini hingga generasi nanti.