Makassar (ANTARA Sulsel) - Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2014 akan menjadi tonggak sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia yang sudah memasuki usia kesembilan yang dimulai pertama kali pada 1971 silam.

Pemilu kali ini tentu akan menjadi harapan baru rakyat Indonesia untuk mendapatkan perubahan kearah lebih baik. Namun seriing dengan perjalanan pesta demokrasi itu, sejumlah persoalan pun mengemukan mulai masalah logistik dan Daftar Pemilih Tetap (DPT), pemilih yang memilih Golongan Putih hingga praktik pembagian uang atau disebut `money politik`

Mengenai persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terus berubah-ubah hingga memasuki masa akhir tahapan diketahui jumlah pemilih di Sulsel sebanyak 6.267.036 jiwa belakang kemudian ada penambahan pemilih baru yang tidak masuk dalam DPT. Hal inilah menjadi kendala bagi penyelenggara. Selain itu distribusi logistik juga melenceng dari jadwal semula.

Belum lagi persoalan formulir C-6 atau undangan pemilih yang salah cetak dan belum terdistribusi sepenuhnya serta kertas suara rusak pengganti yang lambat didistribusikan akibat laporan masuk yang tidak bersamaan dari KPU Kabupaten Kota setempat.

"Saya kemungkinan akan Golput karena sampai saat ini panggilan memilih model C-6 belum saya terima, visi misi caleg pun rata-rata tidak masuk akal dengan beralasan pro rakyat dan sepertinya tidak mendidik masyarakat," ucap Dosen UMI Makassar, Zakir Sabara.

Hal inilah kemudian menjadi masalah hingga membuat masyarakat mulai apatis dengan keadaaan, penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi bulan-bulanan berbagai pihak bahkan dinilai belum profesional menjalankan amanah.

Meskipun demikian pihak KPU bersikukuh menjalankan aturan serta jadwal sesuai tahapan hingga bekerja secara maksimal untuk suksesnya pemilu 2014 hingga pendistribusian undangan memilih yakni formulir C-6 yang bermasalah.

Ketua KPU Sulawesi Selatan Iqbal Latief dalam berbagai kesempatan mengakui adanya kesalahan. Kendati demikian, pihaknya telah melakukan upaya-upaya perbaikan dalam mensukseskan pemilu serta meningkatkan partisipasi pemilih.

Ia menyebutkan meskipun ada kesalahan pencetakan undangan pemilih pada formulir C-6 dengan total pemilih sebanyak 6.267.036 jiwa di Sulsel, pihaknya berupaya melakukan klarifikasi dan berkoordinasi dengan penyelenggara di tingkat Kelurahan dan Kecamatan agar segera merubah tanggal pelaksanaan dari 07.00 WITA sampai selesai, yang seharusnya 07.00-13.00 WITA dicoret selanjutnya di tulis tangan pada bagian salah.

"Kami sudah berupaya maksimal untuk mensukseskan pemilu ini, kendati ada kesalahan itu sepenuhnya dari tingkat pusat, tetapi kami jalankan sesuai dengan tahapan yang sudah ada. Kami berharap partisipasi pemilih naik tahun ini dan kami menghimbau agar tidak golput dan mari menyalukan hak pilih di TPS masing-masing," harapnya.

Dari persoalan itu pun masyarakat mulai bersikap, bahkan tidak jarang mereka secara terang-terang mengatakan memilih `Golongan Putih` atau tidak menyalurkan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara atau TPS.

Pengamat Politik dari Unhas Makassar Hidayat Nahwi Rasul dalam forum diskusi politik di gedung Graha Pena belum lama ini mengatakan, kencenderungan masyarakat memilih Golput adalah ketidakberesan sejumlah persoalan baik itu penyelenggara hingga cara-cara sosialisasi yang dilakukan Calon Legislatif memberikan pembelajaran politik yang tidak benar.

Rata-rata masyarakat, kata dia, akan pragmatis melihat cara caleg bersosialisasi ditengah masyarakat baik itu membagikan sembako dan sarung, memberikan uang atau money politik hingga adanya `serangan fajar` bahkan menjanjikan sesuatu ketika terpilih.

"Tentu masyarakat akan pragmatis bahkan ada pula yang memanfatkan keadaan, kalau seperti itu maka masyarakat cenderung memilih golput karena mereka tidak merasakan perubahan. Seharusnya tugas KPU sebagai penyelenggara dan Caleg itu sendiri memberikan pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat," ungkapnya.

Fenomena di masyarakat pun terkuak, salah satu ibu rumah tangga bernama Daeng Bani di daerah Kecamatan Tallo, Makassar yang ditemui disela-sela blusukan caleg dari partai tertentu, mengakui dirinya mendapatkan sembako dan sarung, bahkan ketika ada caleg lain masuk di daerahnya, rata-rata warga sekitar tidak segan-segan meminta.

"Kapan lagi mereka di mintai sembako atau uang, kalau mereka sudah duduk, akan melupakan kita. Buktinya, waktu pemilu dulu ada caleg, kita dukung, setelah duduk mereka melupakan kita, kalau begini mending dimanfaatkan," tutur ibu dua anak itu.

Pragmatis

Ketua DPD I Partai Demokrat Sulsel Ilham Arief Sirajuddin juga membenarkan adanya gerakan caleg di luar batas aturan yang ada. Bahkan ketika dirinya bersosialisasi di sejumlah daerah rata-rata masyarakat yang ditemui pragmatis.

"Waktu kami turun bersosialisasi ke beberapa tempat, masyarakat bertanya `ada ji sembakonya`. Inilah fakta yang terjadi. Saya kira adanya masyarakat pragmatis itu berasal dari kelakuan para oknum caleg yang tidak memberikan pembelajaran politik, bahkan bisa jadi imbas Pilkada lalu. Usai Pemilu ini kita akan evaluasi kembali," ucapnya saat diskusi di gedung Graha Pena Makassar.

Caleg asal Partai Keadilan Sejahtera Mudzakkir Ali Djamil. Ia menjelaskan, ada tiga karakter pemilih yang saat ini ada di tiap daerah pemilihan. Pemilih Pragmatis adalah pemilih pertama yang mudah di pengaruhi dan bisa berubah-ubah bahkan bisa memilih golput.

"Kedua adalah pemilih Biologis-Ideoligis adalah pemilih tetap dan tidak terpengaruh apapun dan siap berkomitmen untuk memenangkan caleg dan partainya, sedangkan yang ketiga adalah pemilih Apatis yang memang tidak mau menyalurkan hak pilihnya atau golput meskipun dipengaruhi dengan berbagai cara," jelasnya.

Terpisah, aktivis mahasiswa dari Cipayung Plus Suaib Napir mengemukakan, fenomena golput dan money politik atau praktik uang untuk mendapatkan suara sudah berlangsung lama bahkan saat Pilkada berlangsung. Rata-rata para caleg tidak memiliki jualan politik ataupun program yang bersentuhan langsung ke masyarakat.

"Kalau mau ditelisik, rata-rata caleg diduga menghamburkan uang dan sembako saat bersosialiasi di masyarakat untuk mendapatkan dukungan suara, dan apabila duduk di parlemen, sudah menjadi rahasia umum APBD akan digerogoti untuk mengembalikan dana mereka yang sudah dihabiskan saat berkampanye," bebernya.

Ideologi dan interitas serta komitmen caleg yang disampaikan di awal saat mereka maju, lanjut Wakil Ketua GMNI Makassar ini, rata-rata akan pudar setelah duduk, terbukti banyak anggota dewan mulai di tingkat DPR RI, Provinsi hingga Kabupaten Kota harus masuk penjara karena terlibat kasus korupsi.

Ketua Badan Pengawas Pemilu Sulsel Laode Arumahi mengutarakan, beberapa kasus pelanggaran pemilu terjadi disejumlah daerah dan dapil, namun mengenai dengan praktik sembako, kata dia, sulit dibuktikan karena dilakukan secara massif, terstruktur dan sistematis. "Beberapa pelanggaran pemilu kita sudah proses, termasuk adanya dugaan money politik," katanya.

Serangan Fajar

Masa kampanye sesuai tahapan KPU dimulai 15 Maret sampai 5 April 2014 tentu menyisakan banyak pengalaman dan pertanyaan, apakah sosialisasi itu bermanfaat kepada masyarakat ataukah hanya sebagai ajang mempromosikan diri serta adu gengsi para parpol. Bahkan tidak jarang pada masa itu masyarakat dibuai dengan janji politik hingga pembagian sembako dan politik uang.

Berakhirnya masa kampanye secara serentak di Indonesia sesuai tahapan pemilu pada Sabtu 5 April 2014 dan memasuki masa tenang dimulai 6-8 April 2014 ini menjawab seluruh apa yang dikerjakan para caleg dan partainya disaat bersosialisasi ke masyarakat apakah bermanfaat atau tidak, itu dikembalikan ke rakyat.

Namun dimasa tenang inilah menjadi klimaks para caleg yang bertarung di masing masing dapilnya. Beberapa contoh kasus yang terjadi di awal minggu tenang pada Minggu (6/4) dini hari, beberapa oknum caleg mulai melakukan intimidasi dan membagikan sembako dengan berbagai cara.

"Rata-rata Rp50-100 ribu atau dikasih sembako dan sarung dikasih satu orang untuk memilih caleg, saya sudah dua kali ikut," ungkap Aziz warga Maccini Sawah, Kecamatan Makassar itu saat ditemui pewarta.

Menurut dia, rata-rata para caleg akan membagikan sembako atau uang disaat subuh hari baik itu dua hari menjelang pencoblosan atau saat malam pencoblosan. "Kalau kita di kasih ya diambil, tapi belum tentu kita pilih tergangung siapa yang banyak memberi, "ucapnya secara sadar.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indeks Politica Indonesia (IPI) Suwadi Idris Amir mengatakan, hasil survei yang dilakukan Februari 2014 menunjukkan 16 persen pemilih yang ada di Daerah Pemilihan ( Dapil) IX Sulawesi Selatan menunggu "serangan fajar".

"Dapil IX itu meliputi Kabupaten Pinrang, Sidrap dan Enrekang menunggu serangan fajar istilah lain dari money politik para calon legislator sebelum pencoblosan," kata Suwadi .

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan IPI diketahui, 16 persen calon pemilih di dapil itu menunggu pemberian calon legislator sebelum menentukan pilihannya di bilik suara 9 April mendatang, 28 persen menolak segala bentuk pemberian, dan 21 persen menerima namun tidak memilih caleg yang memberikan sesuatu kepada pemilihnya.

Menurut dia, pemilih yang menunggu pemberian itu di dominasi masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomi, sehingga mengharapkan serangan fajar dari para caleg untuk mendapatkan suara.

Untuk pemilih yang menolak pemberian itu, bukan hanya dari kalangan pemilih cerdas, namun juga sebagian dari kalangan awam politik, khususnya pemilih tradisional ( petani, nelayan) yang sudah mapan dari faktor ekonomi. Zita Meirina

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024