Jakarta (ANTARA) - Program percepatan penurunan stunting melalui peningkatan gizi ibu dan balita perlu menjadi prioritas jika Indonesia ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis, utamanya di 1.000 hari pertama kehidupan atau usia 0-2 tahun.
Selama 10 tahun ke belakang, Indonesia telah menurunkan angka stunting sebesar 15,7 persen, dari 37,2 persen di tahun 2013 (berdasarkan Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas), menjadi 21,5 persen di tahun 2023 (berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia).
Angka prevalensi stunting ditargetkan terus turun hingga 14 persen pada 2024. Untuk menghitung prevalensi stunting ini, Pemerintah berupaya memadankan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dengan penimbangan serentak balita berdasarkan nama dan alamat yang dilakukan di seluruh posyandu secara serentak.
Berbagai program secara berkelanjutan terus digencarkan, utamanya terkait peningkatan gizi ibu dan anak dengan pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang dipimpin oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin.
Di tahun 2017, Wapres telah menetapkan lima pilar dalam pencegahan stunting, pertama, komitmen dan visi kepemimpinan; kedua, kampanye dan komunikasi perubahan perilaku; ketiga, aksi konvergensi program; keempat, ketahanan pangan dan gizi; kelima, monitoring dan evaluasi (monev) terpadu.
Intervensi gizi
Intervensi gizi menjadi poin penting dalam upaya penurunan angka stunting. Dalam hal ini yang dilakukan Pemerintah adalah intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik langsung mengatasi penyebab stunting yang umumnya diakibatkan oleh faktor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, atau kesehatan lingkungan.
Terdapat sembilan poin intervensi gizi spesifik, yakni pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita kurus; pemberian tablet tambah darah bagi remaja, wanita usia subur, dan ibu hamil; promosi dan konseling menyusui; promosi dan konseling pemberian makanan bayi dan anak; dan tata laksana gizi buruk.
Kemudian, pemantauan dan promosi pertumbuhan, suplementasi mikronutrien, pemeriksaan kehamilan dan imunisasi, serta manajemen terpadu balita sakit.
Sedangkan intervensi gizi sensitif berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya muncul di luar persoalan kesehatan yang terbagi menjadi empat jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi, serta peningkatan akses pangan bergizi.
Tentu saja, untuk mengimplementasikan upaya-upaya tersebut, diperlukan dukungan anggaran Pemerintah.
Pada tahun 2022, Kementerian Keuangan mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung program percepatan penurunan stunting. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 kementerian dan lembaga sebesar Rp34,1 triliun, dan pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik sebesar Rp8,9 triliun, serta DAK non-fisik sebesar Rp1,8 triliun.
Sementara itu di tahun 2023, anggaran untuk percepatan penurunan stunting di kementerian/lembaga dialokasikan sebesar Rp30 triliun. Hingga 30 September 2023, realisasi dari anggaran tersebut sebesar Rp22,5 triliun atau 74,9 persen.
Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan anggaran penurunan stunting melalui alokasi dana transfer keuangan kepada pemerintah daerah sebesar Rp16,56 triliun. Dana desa pun juga diarahkan untuk program percepatan penurunan stunting.
Selain dukungan anggaran, pemerintah juga memberikan apresiasi berupa insentif fiskal kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka stunting di daerah masing-masing.
Pada tahun 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan total insentif fiskal yang diberikan untuk daerah yang menurunkan stunting tercepat dan terbaik adalah sebesar Rp1,68 triliun.
Insentif fiskal mengenai penurunan stunting tersebut diberikan kepada 90 daerah yang terdiri dari 20 provinsi, 30 kota, dan 40 kabupaten untuk prestasi tahun 2022. Sementara untuk tahun 2023, insentif fiskal penurunan stunting diberikan kepada 125 daerah, dan pada September 2024, Wapres Ma’ruf Amin memberikan dana insentif fiskal percepatan penurunan stunting kepada 130 pemerintah daerah.
Total insentif yang diberikan bervariasi pada tiap daerah. Salah satunya yakni Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang menerima dana insentif fiskal sebesar Rp6,2 miliar. Prevalensi stunting di Kabupaten Lamongan sempat mencapai 27,05 persen di tahun 2022 dan mengalami penurunan secara drastis menjadi 9,4 persen pada tahun 2023 berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia.
Capaian intervensi gizi
Berdasarkan laporan evaluasi kinerja anggaran dan pembangunan program percepatan stunting, hingga 15 Februari 2023, pada indikator intervensi spesifik, rata-rata capaiannya melampaui target yang ditetapkan.
Persentase ibu hamil kurang energi kronis mendapatkan tambahan asupan gizi mencapai 89,1 persen, ibu hamil yang mengkonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet 87,1 persen, serta remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah sebanyak 46,4 persen.
Sebanyak 90 persen balita gizi buruk telah mendapatkan pelayanan tata laksana gizi buruk, 78,3 persen anak berusia balita juga dipantau pertumbuhan dan perkembangannya.
Selanjutnya, persentase balita gizi kurang yang mendapatkan tambahan asupan gizi telah tercapai 84,5 persen, dan balita yang memperoleh imunisasi dasar lengkap tercapai 97,5 persen.
Sementara itu, terkait capaian hasil indikator sensitif berdasarkan Perpres 72 tahun 2021, persentase pelayanan keluarga berencana pascapersalinan dari target 50 persen, telah tercapai 52,6 persen. Persentase kehamilan yang tidak diinginkan dari target 16,5 persen, tercapai 11 persen. Cakupan calon pasangan usia subur yang memperoleh pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan menikah dari target 60 persen, tercapai 75,5 persen.
Selanjutnya, persentase rumah tangga yang mendapatkan akses air minum layak di kabupaten/kota lokasi prioritas, dari target 95,9 persen, baru tercapai 93 persen, sedangkan persentase rumah tangga yang mendapatkan akses sanitasi layak di kabupaten/kota lokasi prioritas, dari target 82,1 persen, tercapai 79,1 persen.
Kemudian, cakupan penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan nasional dari 40 persen penduduk berpendapatan terendah dari target 96,8 juta penduduk, tercapai sebesar 96,67 juta penduduk. Lalu, cakupan keluarga berisiko stunting yang memperoleh pendampingan dari target 30 persen, tercapai 42,7 persen, serta jumlah keluarga miskin dan rentan yang memperoleh bantuan tunai bersyarat dari target 10 juta telah tercapai 10 juta.
Untuk persentase target sasaran yang memiliki pemahaman baik tentang stunting di lokasi prioritas, dari target 70 persen telah tercapai 74 persen. Kemudian, jumlah keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan sosial pangan dari target 18,8 juta, tercapai 18,8 juta, dan yang terakhir, persentase desa/kelurahan stop buang air besar sembarangan dari target 50,6 persen, tercapai 57 persen.
Data inklusif
Meski dalam beberapa indikator penurunan stunting telah tercapai, namun pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyediakan data stunting yang lebih inklusif sehingga intervensi kepada masyarakat yang paling membutuhkan dapat lebih tepat sasaran.
Dalam konteks kebijakan atau penelitian, data inklusif mesti mencakup informasi dari berbagai latar belakang demografis, sosial, ekonomi, dan budaya, tanpa membiarkan kelompok tertentu yang tidak terwakili atau terabaikan.
Data yang tidak terpilah berisiko menyebabkan penggunaan anggaran stunting yang tidak tepat. Presiden Jokowi sendiri bahkan menyoroti penggunaan anggaran di daerah yang masih kurang tepat, misalnya untuk pembangunan pagar puskesmas yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan program percepatan penurunan stunting.
Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta pada tahun 2024, untuk itu, pemerintah tidak bisa mengumpulkan data penurunan stunting dalam satu kotak saja.
Di tingkat provinsi, kabupaten/kota, data terpilah mesti terus diperbarui setiap tahun dan proses-proses survei serta sensus tidak boleh hanya di tingkat nasional, tetapi turun hingga di tingkat kabupaten/kota sehingga data penurunan stunting dapat lebih inklusif dan terpilah serinci mungkin.
Terdapat satu kemajuan yang dilakukan oleh pemerintah terkait data inklusif tersebut, di mana pada bulan Juni 2024 telah dilaksanakan Pengukuran dan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting.
Sebanyak 300.188 posyandu dilibatkan sehingga berhasil meningkatkan jumlah balita yang diukur secara signifikan. Terdata balita yang diukur mencapai 16.381.852 jiwa dan ditemukan 5.807.312 balita bermasalah gizi, yang mencakup gizi kurang, gizi buruk, wasting (berat badan rendah dengan lingkar lengan kurang dari standar), weight faltering (kenaikan berat badan bayi tidak sesuai standar), dan stunting.
Pelibatan para kader untuk melakukan pengukuran balita, atau generasi berencana yang terdiri dari para remaja untuk bergotong royong dalam percepatan penurunan stunting juga perlu ditingkatkan. Mereka yang bergerak di lapangan tersebut perlu mendapatkan lebih banyak perhatian agar dapat membantu mengumpulkan data yang lebih inklusif untuk intervensi yang lebih tepat demi mewujudkan Indonesia yang bebas stunting.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menuju bebas stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis, utamanya di 1.000 hari pertama kehidupan atau usia 0-2 tahun.
Selama 10 tahun ke belakang, Indonesia telah menurunkan angka stunting sebesar 15,7 persen, dari 37,2 persen di tahun 2013 (berdasarkan Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas), menjadi 21,5 persen di tahun 2023 (berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia).
Angka prevalensi stunting ditargetkan terus turun hingga 14 persen pada 2024. Untuk menghitung prevalensi stunting ini, Pemerintah berupaya memadankan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dengan penimbangan serentak balita berdasarkan nama dan alamat yang dilakukan di seluruh posyandu secara serentak.
Berbagai program secara berkelanjutan terus digencarkan, utamanya terkait peningkatan gizi ibu dan anak dengan pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang dipimpin oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin.
Di tahun 2017, Wapres telah menetapkan lima pilar dalam pencegahan stunting, pertama, komitmen dan visi kepemimpinan; kedua, kampanye dan komunikasi perubahan perilaku; ketiga, aksi konvergensi program; keempat, ketahanan pangan dan gizi; kelima, monitoring dan evaluasi (monev) terpadu.
Intervensi gizi
Intervensi gizi menjadi poin penting dalam upaya penurunan angka stunting. Dalam hal ini yang dilakukan Pemerintah adalah intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik langsung mengatasi penyebab stunting yang umumnya diakibatkan oleh faktor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, atau kesehatan lingkungan.
Terdapat sembilan poin intervensi gizi spesifik, yakni pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita kurus; pemberian tablet tambah darah bagi remaja, wanita usia subur, dan ibu hamil; promosi dan konseling menyusui; promosi dan konseling pemberian makanan bayi dan anak; dan tata laksana gizi buruk.
Kemudian, pemantauan dan promosi pertumbuhan, suplementasi mikronutrien, pemeriksaan kehamilan dan imunisasi, serta manajemen terpadu balita sakit.
Sedangkan intervensi gizi sensitif berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya muncul di luar persoalan kesehatan yang terbagi menjadi empat jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi, serta peningkatan akses pangan bergizi.
Tentu saja, untuk mengimplementasikan upaya-upaya tersebut, diperlukan dukungan anggaran Pemerintah.
Pada tahun 2022, Kementerian Keuangan mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung program percepatan penurunan stunting. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 kementerian dan lembaga sebesar Rp34,1 triliun, dan pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik sebesar Rp8,9 triliun, serta DAK non-fisik sebesar Rp1,8 triliun.
Sementara itu di tahun 2023, anggaran untuk percepatan penurunan stunting di kementerian/lembaga dialokasikan sebesar Rp30 triliun. Hingga 30 September 2023, realisasi dari anggaran tersebut sebesar Rp22,5 triliun atau 74,9 persen.
Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan anggaran penurunan stunting melalui alokasi dana transfer keuangan kepada pemerintah daerah sebesar Rp16,56 triliun. Dana desa pun juga diarahkan untuk program percepatan penurunan stunting.
Selain dukungan anggaran, pemerintah juga memberikan apresiasi berupa insentif fiskal kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka stunting di daerah masing-masing.
Pada tahun 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan total insentif fiskal yang diberikan untuk daerah yang menurunkan stunting tercepat dan terbaik adalah sebesar Rp1,68 triliun.
Insentif fiskal mengenai penurunan stunting tersebut diberikan kepada 90 daerah yang terdiri dari 20 provinsi, 30 kota, dan 40 kabupaten untuk prestasi tahun 2022. Sementara untuk tahun 2023, insentif fiskal penurunan stunting diberikan kepada 125 daerah, dan pada September 2024, Wapres Ma’ruf Amin memberikan dana insentif fiskal percepatan penurunan stunting kepada 130 pemerintah daerah.
Total insentif yang diberikan bervariasi pada tiap daerah. Salah satunya yakni Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang menerima dana insentif fiskal sebesar Rp6,2 miliar. Prevalensi stunting di Kabupaten Lamongan sempat mencapai 27,05 persen di tahun 2022 dan mengalami penurunan secara drastis menjadi 9,4 persen pada tahun 2023 berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia.
Capaian intervensi gizi
Berdasarkan laporan evaluasi kinerja anggaran dan pembangunan program percepatan stunting, hingga 15 Februari 2023, pada indikator intervensi spesifik, rata-rata capaiannya melampaui target yang ditetapkan.
Persentase ibu hamil kurang energi kronis mendapatkan tambahan asupan gizi mencapai 89,1 persen, ibu hamil yang mengkonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet 87,1 persen, serta remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah sebanyak 46,4 persen.
Sebanyak 90 persen balita gizi buruk telah mendapatkan pelayanan tata laksana gizi buruk, 78,3 persen anak berusia balita juga dipantau pertumbuhan dan perkembangannya.
Selanjutnya, persentase balita gizi kurang yang mendapatkan tambahan asupan gizi telah tercapai 84,5 persen, dan balita yang memperoleh imunisasi dasar lengkap tercapai 97,5 persen.
Sementara itu, terkait capaian hasil indikator sensitif berdasarkan Perpres 72 tahun 2021, persentase pelayanan keluarga berencana pascapersalinan dari target 50 persen, telah tercapai 52,6 persen. Persentase kehamilan yang tidak diinginkan dari target 16,5 persen, tercapai 11 persen. Cakupan calon pasangan usia subur yang memperoleh pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan menikah dari target 60 persen, tercapai 75,5 persen.
Selanjutnya, persentase rumah tangga yang mendapatkan akses air minum layak di kabupaten/kota lokasi prioritas, dari target 95,9 persen, baru tercapai 93 persen, sedangkan persentase rumah tangga yang mendapatkan akses sanitasi layak di kabupaten/kota lokasi prioritas, dari target 82,1 persen, tercapai 79,1 persen.
Kemudian, cakupan penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan nasional dari 40 persen penduduk berpendapatan terendah dari target 96,8 juta penduduk, tercapai sebesar 96,67 juta penduduk. Lalu, cakupan keluarga berisiko stunting yang memperoleh pendampingan dari target 30 persen, tercapai 42,7 persen, serta jumlah keluarga miskin dan rentan yang memperoleh bantuan tunai bersyarat dari target 10 juta telah tercapai 10 juta.
Untuk persentase target sasaran yang memiliki pemahaman baik tentang stunting di lokasi prioritas, dari target 70 persen telah tercapai 74 persen. Kemudian, jumlah keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan sosial pangan dari target 18,8 juta, tercapai 18,8 juta, dan yang terakhir, persentase desa/kelurahan stop buang air besar sembarangan dari target 50,6 persen, tercapai 57 persen.
Data inklusif
Meski dalam beberapa indikator penurunan stunting telah tercapai, namun pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyediakan data stunting yang lebih inklusif sehingga intervensi kepada masyarakat yang paling membutuhkan dapat lebih tepat sasaran.
Dalam konteks kebijakan atau penelitian, data inklusif mesti mencakup informasi dari berbagai latar belakang demografis, sosial, ekonomi, dan budaya, tanpa membiarkan kelompok tertentu yang tidak terwakili atau terabaikan.
Data yang tidak terpilah berisiko menyebabkan penggunaan anggaran stunting yang tidak tepat. Presiden Jokowi sendiri bahkan menyoroti penggunaan anggaran di daerah yang masih kurang tepat, misalnya untuk pembangunan pagar puskesmas yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan program percepatan penurunan stunting.
Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta pada tahun 2024, untuk itu, pemerintah tidak bisa mengumpulkan data penurunan stunting dalam satu kotak saja.
Di tingkat provinsi, kabupaten/kota, data terpilah mesti terus diperbarui setiap tahun dan proses-proses survei serta sensus tidak boleh hanya di tingkat nasional, tetapi turun hingga di tingkat kabupaten/kota sehingga data penurunan stunting dapat lebih inklusif dan terpilah serinci mungkin.
Terdapat satu kemajuan yang dilakukan oleh pemerintah terkait data inklusif tersebut, di mana pada bulan Juni 2024 telah dilaksanakan Pengukuran dan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting.
Sebanyak 300.188 posyandu dilibatkan sehingga berhasil meningkatkan jumlah balita yang diukur secara signifikan. Terdata balita yang diukur mencapai 16.381.852 jiwa dan ditemukan 5.807.312 balita bermasalah gizi, yang mencakup gizi kurang, gizi buruk, wasting (berat badan rendah dengan lingkar lengan kurang dari standar), weight faltering (kenaikan berat badan bayi tidak sesuai standar), dan stunting.
Pelibatan para kader untuk melakukan pengukuran balita, atau generasi berencana yang terdiri dari para remaja untuk bergotong royong dalam percepatan penurunan stunting juga perlu ditingkatkan. Mereka yang bergerak di lapangan tersebut perlu mendapatkan lebih banyak perhatian agar dapat membantu mengumpulkan data yang lebih inklusif untuk intervensi yang lebih tepat demi mewujudkan Indonesia yang bebas stunting.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menuju bebas stunting