Mamuju (ANTARA Sulbar) - Lembaga Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Independent Sulawesi Barat menilai kebijakan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Mamuju, Hj.Sitti Saleha Duka, terhadap pungutan liar (Pungli) untuk pembayaran pengesahan Surat Keputusan (SK) tenaga honorer kategori II (K2) masuk kategori gratifikasi.

"Jelas itu merupakan bentuk pelanggaran hukum karena meminta pungutan yang tak jelas dasar hukumnya. Sangat jelas, pejabat daerah tak bisa menerima imbalan tanpa ada aturan hukum yang tak jelas," kata Ketua DPD LAKI Independent Sulbar, Husaini di Mamuju, Rabu.

Besaran pungutan dana dari tenaga honorer yang diberlakukan Disdikpora Mamuju senilai Rp150.000 per orang dengan jumlah peserta hingga berkisar 2000 orang lebih.

Karena itu kata Husaini, kasus ini akan ia tindaklanjuti dengan mengumpulkan data-data untuk dilaporkan kepada aparat hukum baik kejaksaan maupun Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.

"Kasus dugaan pungli itu akan saya dalamai. Jika benar, maka kasus ini akan saya bawa ke jalur hukum. Budaya korupsi harus dituntaskan sehingga siapa pun dia maka kasus itu harus dikawal," katanya.

Husaini mengatakan, kasus itu merupakan pelanggaran tindakpidana korupsi sesuai UU nomor 31 tahun 1999 atas perubahan UU tahun 2000.

Sebelumnya, kecamatan serupa juga datang dari Laskar Anti Korupsi (LAK) Sulbar, Muslim Fatillah Azis yang juga menyesalkan adanya pemberlakukan pungutan.

Muslim mengatakan, dengan dalil apa pun maka pungutan bagi tenaga honorer itu tidak bisa diterima secara akal sehat. Apalagi, pemkab Mamuju telah mencanangkan program BBM.

"Program BBM yang selama ini dikenal dan diakui publik di Sulbar, terpaksa buyar sendirinya karena kebijakan Kepala Disdikpora Mamuju. Saya tidak paham, apakah kebijakan itu telah dipertimbangkan secara matang atau memang hendak merusak kebijakan pemerintah kabupaten," ungkap Muslim penuh tanya.

Sebelumnya, Kepala Disdikpora Mamuju, Hj.Saleha Duka, mengakui telah meminta pungutan untuk membayar kertas berharga atau leges untuk mendongkrak sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)," kata Saleha Duka.

Selama proses pemberkasan kata dia, jajarannya dipaksa lembur sehingga membutuhkan tambahan biaya operasional.

"Kami tidak memiliki anggaran untuk membayar biaya lembur. Atas pertimbangan itulah sehingga lahir sebuah kebijakan yang diamini para honorer K2," elaknya. Agus Setiawan

Pewarta : Aco Ahmad
Editor :
Copyright © ANTARA 2024