Kupang (ANTARA Sulsel) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur, Dr Johanes Tuba Helan, SH, MHum sependapat bahwa pimpinan DPR harus ditetapkan melalui mekanisme pemilihan.

"Dalam hal suara terbanyak belum tentu menjadi ketua dewan, saya sangat setuju karena siapapun yang akan ditetapkan menjadi ketua adalah hak seluruh anggota dewan untuk memilih," kata Johanes Tuba Helan, di Kupang, Selasa.

Dia mengemukakan pandangan itu, sehubungan dengan uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan penetapan pimpinan DPR MD3 yang lama menyebutkan bahwa pemenang pemilu otomatis menjadi pimpinan DPR.

Mantan Ketua Ombudsman Perwakilan NTT-NTB itu menambahkan, sejak awal pihaknya sudah mengeritik keras lahirnya UU MD3 lama, yang mengatur tentang mekanisme penetapan ketua dewan dari partai yang meraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif.

Alasannya, karena UU MD3 yang memberi ruang bagi partai pemenang pemilu untuk menduduki posisi ketua dewan adalah tidak demokratis.

"Soal siapa jadi ketua dewan adalah hak seluruh anggota dewan untuk memilih. Jadi ketua dewan itu ditetapkan melalui suatu proses yang demokratis yaitu pemilihan, bukan langsung menunjuk," katanya.

Hanya saja, menurut dia, proses revisi UU MD3 ini tidak tepat waktu karena berkaitan erat dengan rivalitas dalam proses pemilu presiden dan wakil presiden 2014.

Apalagi, keputusan itu hanya diambil oleh para anggota dewan yang tergabung dalam koalisi Merah Putih, pendukung Prabowo-Hatta yang kalah dalam pilpres 9 Juli 2014.

"Saya setuju dilakukan revisi, tetapi proses revisi yang dilakukan saat ini, syarat dengan kepentingan dari partai-partai pengusung capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa," kata Johanes Tuba Helan.

Dengan demikian, semua orang bisa berpandangan bahwa, proses revisi UU MD3 yang terkesan terburu-buru itu, dilakukan untuk membangun tirani politik parlemen, katanya. I.K. Sutika

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024