Kupang (ANTARA Sulsel) - Pimpinan WWF Indonesia Ridha Hakim mengatakan pemerintah perlu mengalokasikan anggaran sebesar RpRp7.582 triliun untuk merehabilitasi hutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kini dalam kondisi rusak .  

"Kerusakan hutan di Provinsi NTT disebabkan oleh izin pengelolaan di dalam kawasan hutan, baik hutan sekunder maupun primer," kata Ridha pada kegiatan Journalist Camp 2 yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, WWF Indonesia dan AJI Kota Kupang di Kupang, Sabtu.

Ridha menjelaskan pada tahun 2013, jumlah lahan tidak kritis mencapai 830.999,88 hektare atau 17,15 persen.

Sementara potensi kritis 1,237 juta lebih hektar atau 26,13 persen, agak kritis 1,701 juta lebih hektare atau 35,92 persen dan lahan kritis 947.763,68 hektare atau 20,02 persen.

"Sedangkan lahan yang sangat kritis seluas 17.985,37 hektare atau 0,38 persen," katanya.

Dia mengatakan kemampuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi kawasan hutan baru mencapai 4.516 hektare atau rata-rata setiap tahun hanya seluas satu persen. Sementara lahan kritis dan sangat kritis jumlahnya sangat luas.

Untuk mengatasi lahan kritis dimaksud, dibutuhkan dana yang cukup besar dan komitmen pemerintah daerah untuk mengatasinya.

Dijelaskannya bahwa setiap satu hektare membutuhkan 40 pohon dengan jarak tanam empat kali lima meter dengan rata-rata dana yang dibutuhkan setiap hektare Rp8 juta.

Bila dihitung luas lahan kritis dengan kebutuhan rata-rata setiap hektare, maka dibutuhkan dana sebesar Rp7,582 triliun lebih untuk kegiatan reboisasi. "Dengan kemampuan pemerintah yang sangat terbatas dan rendah, maka dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk melakukan rehabilitasi terhadap lahan kritis di NTT," kata Ridha.

Dia menyebutka, ada empat penyebab tidak langsung deforestasi dan degradasi hutan, yakni perencanaan tata ruang tidak efektif, masalah- masalah terkait dengan tenurial serta pengelolaan hutan belum efisien dan efektif. "Selain itu penegakan hukum yang lemah di sektor kehutanan dan lahan," katanya.

Ridha menerangkan tata kelola hutan merupakan sistem yang bertumpuh pada tiga komponen utama yakni kerangka hukum, kebijakan dan kelembagaan, termasuk di dalamnya adalah proses pengambilan keputusan dan implementasi.

Dikatakannya, penegakan dan kepatuhan yang ditopang dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, akan sangat membantu menjaga kondisi hutan dengan fungsi dan karakteristiknya, menjaga ekologi dan sistem alam yang harmonis.

Dia menyebutkan, sistem tata kelola kehutan harus mengacu pada enam prinsip, antara lain transparansi, partisipasi, akuntabilitas, kapasitas, dan efisiensi.

Sementara itu, Dosen Program Studi Kehutanan Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Michael Riwu Kaho menyampaikan, luas kawasan hutan yang berpohon di NTT sebesar 11,38 persen, dengan laju defortasi 15.000 hektar/tahun. "Sementara kemampuan untuk melakukan rehabilitasi hanya 3.000 ha/tahun," katanya.

Michael yang juga Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) NTT ini menambahkan, kawasan hutan berbeda dengan kawasan yang berpenutupan pohon, dimana hutan berfungsi untuk pendukung kehidupan.

Dari luas kawasan hutan yang ada, sekitar 60 persen dari 1,8 juta hektare hutan di NTT bukan hutan budi daya tapi hutan ekosistem.

"Karena itu, butuh komitmen dan peran serta seluruh masyarakat di provinsi kepuluan ini untuk kembali melihat hutan sebagai satu sistem kehidupan yang penting untuk dijaga dan dilestarikan," katanya. Farochah

Pewarta : Yohanes Adrianus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024