Marilah mengamati fenomena yang terjadi di negeri kita pada beberapa tahun belakangan ini. Di sekeliling kita terjadi tren hijab atau jilbab, pertumbuhan bank syariah.

Selain itu juga ada kepedulian pada makanan dan kosmetik halal, kemudian muncul salon Muslimah, menjamurnya jasa umrah, pertumbuhan bank syariah hingga kehadiran hotel syariah.

Fenomena tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan nilai-nilai dan perilaku pada masyarakat Muslim, khususnya pada kelas menengahnya. Gejala-gejala inilah yang menarik untuk dicermati, terutama bagi pelaku bisnis yang ingin merebut konsumen kelas menengah Muslim.

Kita ingat kemunculan pertama kali Bank Muamalat pada tahun 1991. Pada saat itulah bank berdasarkan syariat muncul pertama kali di Indonesia. Sikap pro dan kontra di antara tokoh masyarakat, termasuk tokoh-tokoh Muslim sendiri menyertai kemunculan bank tersebut.

Dalam perkembangannya bank tersebut ternyata diterima masyarakat dan menjadi penanda awal kelahiran bank syariah di Indonesia. Bank milik negara, bank swasta hingga bank pembangunan daerah kini ramai-ramai mendirikan bank syariah. Sesuatu yang tidak terbayangkan pada tahun-tahun sebelumnya.

Secara ekonomi bank syariah tampaknya memiliki potensi bisnis yang luar biasa sehingga pelaku bisnis banyak yang tertarik mendirikannya. Hingga saat ini tercatat kita sudah memiliki 11 bank umum syariah (BUS), 23 bank syariah dalam bentuk unit usaha syariah (UUS) dan 160 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS).

Pertumbuhannya juga fantastis. Dalam buku "Marketing to The Middle Class Muslim" terbitan PT Gramedia Pustaka Utama yang ditulis oleh pakar pemasaran Yuswohadyini ini disebutkan bank syariah di Indonesia pertumbuhannya mencapai 40 persen per tahun, jauh melebihi bank konvensional yang tidak sampai 20 persen.

Pada fenomena hijab, sebutan terkini untuk wanita Muslim yang menggunakan jilbab, dahulu hanya dilakukan oleh kelompok santri, belum menjadi sebuah budaya massal masyarakat Muslim. Namun hijab saat ini sudah menjadi identitas wanita Muslim tradisional hingga modern.

Mendadak berbusana hijab menjadi tren gaya hidup. Hijab bukan lagi memberi kesan kolot tetapi justru modern, gaul dan makin banyak diminati kaum hawa. Wanita Muslimah justru merasa nyaman, aman dan syar`i (mengikuti syariah) setelah mengenakan jilbab.

Hijab telah menjadi budaya dan industri busana muslim. Beraneka model jilbab diciptakan semenarik mungkin. Demikian pula para selebritis dan mubaligh ramai-ramai membuka butik busana muslimah hingga membuka cabang di daerah seperti Teuku Wisnu, Ustadz Ahmad Al Habsyi dan lainnya.

Kosmetik yang memposisikan diri sebagai produk muslim seperti Wardah ikut menyeruak ke puncak sukses seiring dengan revolusi hijab dan menguatnya kelas menengah muslim. Iklannya muncul di televisi hampir tiap hari. Produsen kosmetik yang selama ini menguasai pasar kedodoran takut kue pasarnya terpangkas.

Fenomena lain yang terjadi di kelas menengah muslim adalah kesadaran mereka untuk mengonsumsi makanan yang halal. Tak heran bila kemudian perusahaan berlomba-lomba melabeli produknya dengan stiker halal. Hak sertifikasi produk halal yang diberikan ke MUI juga sempat menjadi wacana publik di tengah masyarakat.

Kita juga melihat kemunculan novel dan film bernuansa Islam yang makin menguatkan budaya Islami. Novel dan film "Ayat-Ayat Cinta" menjadi pemantik menggeliatnya pasar novel Islam di Indonesia. Demikian halnya kehadiran novel "Negeri 5 Menara", "99 Cahaya-Cahaya di Eropa" dan film "Sang Pencerah".

Bepergian umrah ke tanah suci juga bukan barang mewah lagi. Seiring meningkatnya pendapatan kelas menengah muslim bepergian umrah menjadi biasa karena relatif terjangkau.

Ajakan berumrah dengan mubaligh atau artis ternama kini juga sering menjadi sarana promosi selain paket-paket menarik yang ditawarkan ke konsumen. Industri travel menjadi bisnis yang menggiurkan dan manjamur.

Salon muslimah dan hotel syariah juga mulai bermunculan. Salon muslimah tersebut bahkan dibuatkan waralaba atau franchise. Hotel syariah dipelopori oleh Hotel Syofian semenjak 1994. Hotel syariah kini mulai menjamur di tanah air hingga 50 sampai 100 hotel.

Kelas menengah muslim yang mapan secara ekonomi mulai getol bersedekah, infaq dan membayar zakat. Maka lahirlah lembaga-lembaga penggalang dana (fundraising) seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Lazismu, ACT, PKPU, Rumah Yatim, YDSF, Daruul Qur`an dan sebagainya yang kepopulerannya mengalahkan BAZIS yang dibentuk pemerintah.

Tidak ketinggalan para wirausahawan muslim juga melakukan inisiatif penggalangan dana seperti dilakukan pengusaha Yogyakarta, Saptuari, dengan mendirikan "sedekahrombongan", juga para wirausahawan di daerah seperti di Makassar dengan mendirikan "sedekahawalbulan".

Buku ini juga mengulas bagaimana perilaku kelas menengah muslim dalam pola pendidikan anak. Para orang tua gelisah dengan kondisi lingkungan yang semakin bebas dan terbuka yang bisa mempengaruhi perkembangan putra-putrinya. Sedangkan pada sisi lain mereka juga ingin anaknya tidak gagap teknologi.

Strategi Pemasaran

Buku setebal 280 halaman ini tidak hanya mengupas fenomena kelas menengah Muslim namun juga menyampaikan sejumlah strategi pemasaran dalam menghadapi sejumlah fenomena tersebut sehingga layak disimak oleh pelaku bisnis.

Enam strategi pemasaran yang ditawarkan dalam menghadapi kelas menengah Muslim, yakni "the principle of customer", "the principle of competition", "the principle of positioning", "the principle of differentiation", "the principle of value" dan "the principle of engagement".

Pada prinsip pertama, semakin makmur, berpengetahuan dan menguasai teknologi, konsumen Muslim justru semakin religius sehingga mereka akan mencari produk-produk yang menjalankan kepatuhan pada nilai-nilai dan ajaran Islam.

Pada prinsip kedua, pemasar harus bisa menciptakan hubungan emosional dengan empat sosok konsumen Muslim yang memiliki impian, aspirasi, nilai-nilai dan karakteristik masing-masing.

Empat sosok konsumen Muslim yakni sosok rasionalis atau yang berfikiran "gue dapat apa", universalis atau yang berpandangan "Islami itu lebih penting", apatis atau yang berfikiran "emang gue pikiran" dan sosok komformis atau yang berprinsip "pokoknya harus Islam".

Prinsip ketiga adalah dalam mengambil hati kelas menengah Muslim, merek pemasar harus bersahabat, merangkul semua tidak sebatas kalangan Muslim, terbuka dan berlapang dada terhadap informasi, ide, pikiran dan toleran terhadap perbedaan.

Strategi keempat adalah untuk membangun diferensiasi yang kokoh dan tak sulit ditiru oleh pesaing, maka merek yang diciptakan harus menjadi "brand" yang otentik.

Strategi yang kelima, kalau pelaku bisnis ingin sukses merebut konsumen muslim maka produknya harus memberikan manfaat fungsional, emosional dan spiritual agar bisa memenangkan persaingan.

Sedangkan pada strategi terakhir, penulis menyampaikan bahwa kaum Muslim memiliki kesamaan tujuan yakni keselamatan dunia dan akhirat dengan selalu menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu strategi yang pas adalah menghubungkan antarkonsumen dalam satu komunitas.

Kekurangan buku ini, pada pendahuluan mengulas secara singkat trend kemunculan Kewirausahaan Muslim yang salah satunya ditandai dengan kehadiran Komunitas Tangas di Atas (TDA) yang sudah berdiri di hampir 50 kota dengan anggota puluhan ribu orang.

Namun kemunculan tren kewirausahaan Muslim ini oleh penulis tidak dibahas lebih lanjut ke dalam sejumlah bab, sedangkan sejumlah perubahan kelas menengah muslim yang ditulis dalam pendahuluan dijelaskan lebih rinci dan lengkap dalam sebelas bab materi pembahasan. MM Astro

Pewarta : Agus Setiawan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024