Makassar (ANTARA Sulsel) - Pakar Hukum Pidana Universitas Bosowa 45 Makassar, Prof Dr Marwan Mas menyatakan jika penangakapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh anggota Bareskrim Mabes Polri adalah rangkaian jilid ketiga perseteruan antara KPK dan Polri.
"Sebenarnya ini adalah jilid ketiga dari KPK vs Polri. Istilahnya sejak jilid pertama itu Cicak vs Buaya, disitulah istilah ini pertama kali dikenal luas oleh masyarakat hingga hari ini perseteruan jilid ketiga," ujarnya saat membubuhkan tandatangan di barisan Koalisi Masyarakat Antikorupsi (MARS) Sulawesi Selatan, Jumat.
Prof Marwan mengungkapkan, perseteruan dua lembaga negara ini dimulai saat Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ditetapkan tersangka dan ditahan oleh polisi pada tahun 2010. Bibit dan Chandra ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Kemudian berlanjut pada tahun 2012 setelah ditetapkannya petinggi Polri, Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sedangkan di awal tahun 2015 ini, perseteruan pimpinan oleh dua lembaga negara ini berlanjut di jilid ketiga yang dimulai dari penetapan Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK kemudian dibalas dengan penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
"Rentetan perseteruan ini hanya terjadi dalam kurun waktu lima tahun dimana dimulai pada akhir tahun 2009 oleh dua pimpinan KPK Bibit-Chandra, kemudian berlanjut di tahun 2012 dengan menahan Irjen Djoko Susilo dan di awal tahun ini kembali Bambang yang ditahan," ungkapnya.
Prof Marwan mengatakan, penangkapan Bambang Widjojanto adalah salah satu bentuk pelemahan dan bahkan penjagalan atas lembaga negara seperti KPK.
Dia bersama aktivis antikorupsi lainnya menyatakan jika dukungannya itu adalah terhadap lembaganya seperti KPK. Namun, ketika berbicara lembaga, tentu tidak terlepas dari individunya.
"Yang kita dukung itu lembaganya, institusinya yakni KPK. Komisioner akan berganti, tetapi dukungan terhadap lembaganya tidak boleh hilang," katanya.
Prof Marwan menyebutkan, lembaga seperti KPK itu bisa sesuai dengan cita-citanya jika individu-individu di dalamnya punya komitmen dan jika itu terjadi maka dukungan juga akan mengalir pada individunya, dalam hal ini para komisioner KPK.
Ditegaskannya, dukungan seluruh masyarakat kepada KPK hampir sama yakni pemberantasan korupsi dan itu juga berlaku terhadap komisioner yang dinilai sejalan dengan visi lembaga dalam pemberantasan.
"Kita tidak membelas Abraham Samad atau Bambang Widjojanto, tapi KPK yang kita bela. Sebenarnya kasus Bambang oleh polisi itu adalah kasus individu dan bukan kasusnya KPK. Tetapi, yang perlu diketahui adalah akar dari permasalahan hingga penangkapan itu karena apa dan pastinya ini adalah upaya pelemahan KPK," tegasnya.
Sebelumnya, Bareskrim Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto karena diduga telah menyuruh orang untuk memberikan keterangan palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilkada Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah. Agus Setiawan
"Sebenarnya ini adalah jilid ketiga dari KPK vs Polri. Istilahnya sejak jilid pertama itu Cicak vs Buaya, disitulah istilah ini pertama kali dikenal luas oleh masyarakat hingga hari ini perseteruan jilid ketiga," ujarnya saat membubuhkan tandatangan di barisan Koalisi Masyarakat Antikorupsi (MARS) Sulawesi Selatan, Jumat.
Prof Marwan mengungkapkan, perseteruan dua lembaga negara ini dimulai saat Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ditetapkan tersangka dan ditahan oleh polisi pada tahun 2010. Bibit dan Chandra ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Kemudian berlanjut pada tahun 2012 setelah ditetapkannya petinggi Polri, Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sedangkan di awal tahun 2015 ini, perseteruan pimpinan oleh dua lembaga negara ini berlanjut di jilid ketiga yang dimulai dari penetapan Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK kemudian dibalas dengan penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
"Rentetan perseteruan ini hanya terjadi dalam kurun waktu lima tahun dimana dimulai pada akhir tahun 2009 oleh dua pimpinan KPK Bibit-Chandra, kemudian berlanjut di tahun 2012 dengan menahan Irjen Djoko Susilo dan di awal tahun ini kembali Bambang yang ditahan," ungkapnya.
Prof Marwan mengatakan, penangkapan Bambang Widjojanto adalah salah satu bentuk pelemahan dan bahkan penjagalan atas lembaga negara seperti KPK.
Dia bersama aktivis antikorupsi lainnya menyatakan jika dukungannya itu adalah terhadap lembaganya seperti KPK. Namun, ketika berbicara lembaga, tentu tidak terlepas dari individunya.
"Yang kita dukung itu lembaganya, institusinya yakni KPK. Komisioner akan berganti, tetapi dukungan terhadap lembaganya tidak boleh hilang," katanya.
Prof Marwan menyebutkan, lembaga seperti KPK itu bisa sesuai dengan cita-citanya jika individu-individu di dalamnya punya komitmen dan jika itu terjadi maka dukungan juga akan mengalir pada individunya, dalam hal ini para komisioner KPK.
Ditegaskannya, dukungan seluruh masyarakat kepada KPK hampir sama yakni pemberantasan korupsi dan itu juga berlaku terhadap komisioner yang dinilai sejalan dengan visi lembaga dalam pemberantasan.
"Kita tidak membelas Abraham Samad atau Bambang Widjojanto, tapi KPK yang kita bela. Sebenarnya kasus Bambang oleh polisi itu adalah kasus individu dan bukan kasusnya KPK. Tetapi, yang perlu diketahui adalah akar dari permasalahan hingga penangkapan itu karena apa dan pastinya ini adalah upaya pelemahan KPK," tegasnya.
Sebelumnya, Bareskrim Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto karena diduga telah menyuruh orang untuk memberikan keterangan palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilkada Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah. Agus Setiawan