Makassar (ANTARA Sulsel) - Kalau sebelumnya mahasiswa identik dengan "parlemen jalanan", turun ke jalan menyampaikan aspirasi masyarakat, maka mahasiswa Makassar yang tergabung dalam Aksi Indonesia Muda (AIM) mencoba melakukan cara lain untuk mendampingi masyarakat.

Setidaknya itu dilakukan mahasiswa terhadap penyandang penyakit kusta di Kompleks Kusta Jongayya di Makassar. Penyakit ini memang dapat membawa dampak sosial, yang sudah barang tentu tidak ada yang menginginkannya.

Namun apa mau dikata, para mantan penderita kusta ini belum sepenuhnya mampu melepaskan bayang-bayang dari keterkucilan, juga kemiskinan karena tidak memiliki akses bekerja seperti orang normal lainnya.

Kondisi ini terjadi pada era 1980-an hingga di penghujung 2010. Sikap diskriminatif masih kerap dirasakan para mantan penderita kusta. Mencermati kondisi sosial itu, sekelompok mahasiswa dari berbagai perguruan negeri dan swasta di Makassar, tergugah nuraninya untuk melakukan suatu perubahan bagi warga Kompleks Kusta Jongayya.

"Awalnya, kami yang berasal dari berbagai program studi dan perguruan tinggi ini ingin membantu anak-anak mantan penderita kusta di bidang pendidikan," kata salah seorang mahasiswa asal Universitas Negeri Makassar (UNM) Didin Indrasaputra.

Akhirnya pada November 2012 disepakati membuat Rumah Baca di samping asrama penderita kusta setelah mendapat persetujuan dari RT/RW dan lurah setempat.

Diakui, pada awal memasuki komunitas mantan penderita kusta itu tidaklah mudah, karena harus melakukan pendekatan terhadap mantan penderita yang cukup "tertutup" (introvert) dengan orang baru. Namun setelah memberikan penjelasan dan melakukan pendekatan sosial, akhirnya para mahasiswa itu pun diterima.

Sejak saat itu, mulailah mahasiswa dari UNM, Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Muslim Indonesia (UMI), Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Universitas 45 dan perguruan tinggi lainnya yang jumlahnya sekitar 45 orang itu berbagi ilmu pengetahuan secara rutin dengan anak-anak Kompleks Kusta Jongayya.

"Mereka kami ajar sesuai dengan kebutuhannya, misalnya diajarkan membaca, berhitung, menulis dan memahami isi bacaan dari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah," ungkap mahasiswa lainnya Fitri.

Metode yang digunakan adalah belajar sambil bermain, sehingga tidak menimbulkan kejenuhan bagi anak-anak yang sebagian besar duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama.

Dalam perjalanan aktivitas mengajar di rumah baca itu oleh para mahasiswa secara bergantian, akhirnya muncul ide untuk membuat program pemberdayaan masyarakat khususnya bagi warga yang sudah dewasa atau orang tua.

Aksi Indonesia Muda

Dalam mewujudkan program pemberdayaan masyarakat itu, puluhan mahasiswa gabungan dari perguruan tinggi negeri dan swasta itupun membentuk lembaga yang diberi nama "Aksi Indonesia Muda" (AIM).

Lembaga itu terwujud untuk membuat suatu perubahan di Kompleks Kusta Jongayya yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga (KK), sekaligus untuk melakukan aksi nyata dalam membantu mantan penderita kusta yang selama ini memiliki stigma sebagai pengemis agar dapat hidup mandiri.

"Kami juga ingin menghapus anggapan bahwa mahasiswa Makassar lebih suka turun ke jalan melakukan demonstrasi. Juga menghapus paradigma bahwa mahasiswa hanya banyak ngomong, tapi tidak melakukan aksi nyata," kata Didin yang juga merupakan Koordinator Program AIM.

Setelah AIM terbentuk, para mantan penderita kustapun dikumpulkan di rumah baca dan diberi bekal keterampilan membuat bros dan keset kaki dari kain perca, serta membuat lampu tidur dari benang.

Modal awal untuk membeli mesin jahit ketika itu diperoleh dari hasil lomba pembuatan proposal inovatif terkait pengentasan kemiskinan yang digelar suatu lembaga di Ibukota Negara, Jakarta.

Didin bersama rekannya berhasil meraih juara umum, mengalahkan mahasiswa lainnya dari sejumlah perwakilan perguruan tinggi di Indonesia.

Hadiah uang tunai yang diperoleh saat itu tidak digunakan untuk bersenang-senang, tetapi justeru dibelikan mesin jahit untuk dipergunakan oleh Ramlah dan warga lainnya di Kompleks Jogayya untuk membuat keset kaki.

Dari aksi nyata mahasiswa yang tergabung dalam AIM itu, kemudian menggugah pihak Dinas Sosial Kota Makassar memberikan sumbangan lima unit mesin jahit. Itulah yang kemudian digunakan oleh warga untuk membuat keset kaki dengan berbagai model, mulai dari buah stroberi hingga model kartun seperti angry bird, doraemon dan piroki.

"Alamdulillah dari hasil membuat keset kaki ini, sudah bisa membantu biaya pendidikan cucu saya yang duduk di bangku SMP," kata mantan penderita kusta Puang Karra yang kini hanya hidup bersama cucunya, karena anaknya merantau ke Malaysia.

Hal senada dikemukakan Ramlah yang mengaku selama ini hanya mengandalkan hasil mengemis sang suami yang mengalami cacat, karena pernah menderita kusta.

Namun setelah menggeluti usaha keset kaki, ibu dari dua orang anak ini sudah dapat menghasilkan Rp350 ribu dari penjualan 10 keset kaki yang rata-rata dikerjakan selama 10 hari.

Berbeda dengan kedua rekannya yang telah mendapatkan pembinaan membuat keset kaki dari personel AIM, Dwi dan suaminya memilih keterampilan membuat lampu tidur.

Menurut Dwi, apabila kondisi cuaca mendukung dalam sehari bisa membuat 10 bola lampu dengan harga jual Rp60 ribu per buah. Namun bila cuaca mendung atau hujan, hanya dapat menghasilkan lima bola lampu saja.

"Untuk modelnya, suami saya mengunggah gambar kepala spiderman, doraemon, hello kitty hingga klub bola ternama seperti Manchester United, Real Madrid dan lain-lain dari internet," katanya.

Dari hasil buatan tangan (hand made) warga Kompleks Kusta Bungayya di Jalan Dangko, Makassar ini, sudah dapat membantu mengatasi biaya pendidikan anak-anaknya dan menambah penghasilan keluarga.

Kini, produksi mantan penderita kusta tersebut sudah mulai masuk ke toko-toko swalayan dan juga mal di Makassar atas bantuan mahasiswa di AIM, yang mencoba berpartisipasi membantu mengentaskan kemiskinan di lingkungan sekitarnya. Bukan sekedar berteriak di jalan memprotes kebijakan pemerintah, tanpa memberikan solusi dan aksi nyata.

Pewarta : Suriani Mappong
Editor :
Copyright © ANTARA 2024