Makassar (ANTARA Sulsel) - Lembaga Anti Corruption Commiitte Sulawesi menyatakan jika Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan tidak pernah serius menangani kasus dugaan korupsi pajak Bahan Bakar Minyak (BBM) karena banyaknya pejabat yang terlibat.

"Tidak ada keseriusan orang kejaksaan untuk menuntaskan ini kasus Pajak BBM. Sudah dua tahun kasusnya mengendap tapi tidak ada laporan perkembangan kasus," tegas Direktur ACC Sulawesi, Abdul Muttalib di Makassar, Minggu.

Dia menyayangkan sikap kejaksaan yang mengabaikan kasus dugaan korupsi pajak BBM ini padahal kerugiannya puluhan miliar per tahunnya dan melibatkan pejabat-pejabat.

"Kami menduga dalam penanganan kasus ini, pihak kejaksaan diduga telah di intervensi, atau kah ada yang bermain dalam kasus ini, sehingga kasus ini sangat sulit untuk ditingkatkan ke penyidikan," jelasnya.

Muthalib juga mengatakan, kasus ini sudah lama ditangani Kejati Sulselbar sejak tahun 2013, bahkan kasus sudah lama dilakukan penyelidikan oleh pejabat lama, namun saat pergantian pejabat baru, kasus ini belum juga dituntaskan.

Sementara, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati, Rahman Morra tidak berani memberikan komentar terkait kasus tersebut dan mengaku jika dirinya belum menjabat saat kasusnya ditangani.

"Saya tidak tahu soal ini kasus karena kasus ini mungkin pernah ditangani sama pejabat yang lama. Saya belum setahun menjabat Kasi Penkum di sini," katanya.

Dia menjelaskan, belum banyaknya yang mengetahui serta tidak transparannya aliran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) ditengarai sarat terjadinya praktek korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.

Dalam setiap liter penjualan bahan bakar minyak, baik premium, solar dan pertamax itu ada pajak yang harus disetorkan PT Pertamina ke Pemprov dan Pemkot.

Setiap liter dari penjualan BBM itu, Pemda menerima lima persen atau jika dikalkulasikan setiap pengguna BBM menyumbang Rp225 untuk setiap liter premium yang dibelinya di sentra pengisian bahan bakar umum (SPBU) dengan harga Rp4500 untuk jenis premiumnya.

Besaran pembagian pajak PBBKB yang diterima oleh Pemprov dari pajak yang persentasenya lima persen itu yakni sebesar 30 persen. Sedangkan untuk Pemkot dan Pemda itu menerima 70 persen.

"Bayangkan saja, jika dalam sebulan itu penjualan BBM itu di Sulawesi Selatan sekitar 10 juta liter dikalikan dengan harga perliternya terus lima persennya masuk ke kas, tetap aja nilainya miliaran rupiah. Kemana semua aliran dana itu," ungkapnya.

Dalam penyelidikan awal itu juga terungkap jika fakta yakni adanya dana yang bersumber dari pajak sebesar Rp40 miliar lebih mengalir deras ke kantong pejabat-pejabat.

Dalam keterangan Bendahara Dispenda Sulsel Abdul Haris beberapa waktu lalu juga menyebutkan jika dana Rp40 miliar lebih itu dikumpulkan dalam satu tahun anggaran dan itu memang diperuntukkan kepada sejumlah pejabat-pejabat.

Dihadapan penyidik kejaksaan, ia mengaku jika rujukannya itu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 35 Tahun 2002 tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan dan Pajak Daerah.

Dana pajak yang berjumlah Rp40 miliar itu hanya terkumpul di tahun anggaran (TA) 2011 sedangkan untuk tahun 2009, 2010, dan 2012 belum dirampungkannya dan berjanji akan kembali membawa dokumen itu ke kejaksaan.

"Jadi Rp40 miliar itu hanya pajak yang terkumpul di tahun 2011 sedangkan sisanya di tahun 2009, 2010 dan 2012 itu belum diserahkan ke kejaksaan. Tapi bendaharanya berjanji akan datang kembali membawa berkasnya. Jumlah dana Rp40 miliar itu kemungkinan masih akan meningkat di tahun selanjutnya seiring dengan banyaknya konsumen yang membayar pajak," katanya. Agus Setiawan

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024