Mamuju,  (Antara) - Perkebunan kelapa sawit telah berkontribusi besar dalam pengentasan kemiskinan sejak 1990-an karena dengan dibukanya program Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans) masyarakat menjadi memiliki pekerjaan.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Sulawesi, Moctar Tanong mengemukakan hal itu usai pelantikan pengurus di Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu.

"`Multiplier effect` perkebunan kelapa sawit menjadikan daerah ekonomi baru dengan munculnya kontraktor-kontraktor lokal, supplier-suplier lokal, karyawan lokal, dan pasar lokal," ujarnya.

Moctar mengatakan akhir 1989 perkebunan kelapa sawit mulai memasuki Pulau Sulawesi dengan PIR-Trans.

"Saat ini, Sulawesi memiliki 343.000 hektar tanaman sawit yang tersebar di empat propinsi yakni Sulawesi Barat (105.000 Ha), Sulawesi Tengah (150.000 Ha), Sulawesi Tenggara (49.000 Ha), dan Sulawesi Selatan (39.000 Ha)," katanya.

Pembukaan perkebunan sawit, ujar dia, telah memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan karena memutus tiga lingkaran setan pengangguran yaitu pengangguran, kesenjangan dan kemiskinan.

"Pembukaan lahan baru sebesar 10.000 hektar dapat mengangkat ekonomi 5.000 KK dengan penghasilan sekitar lima juta per bulan pada tahun ketiga. Peningkatan pendapatan 5.000 KK men-triger pasar baru. Kebutuhan 5.000 KK tentu akan dipenuhi oleh pedagang yang datang," katanya.

Dia mengatakan industri kelapa sawit adalah salah satu industry strategis negara sehingga harus dipastikan keberlanjutannya.

"Kebutuhan akan keberlanjutan dituangkan dengan system ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Salah satu yang mendukung keberlanjutan industri sawit adalah Kemitraan dengan petani pekebun kelapa sawit," katanya.

Pola kemitraan antara petani pekebun dan perusahaan kelapa sawit diatur oleh Permentan dengan diwajibkannya perusahaan untuk bermitra sebesar 20 persen dari kebun intinya.

"Kemitraan yang dimaksud tidak hanya berhubungan dengan jual beli TBS tetapi juga berhubungan dengan pembinaan petani. Anggota GAPKI sejak tahun 1990-an telah melakukan pola kemitraan dengan pola PIR-Trans di Kecamatan Sarudu dan Baras," katanya.

Pola kemitraan, ujar dia, menjamin harga yang diterima oleh pekebun lebih adil karena TBS pekebun dibayarkan dengan harga riil atas transaksi CPO perusahaan pembina.

"Perusahaan dan pekebun sama-sama mendapatkan keuntungan atas transaksi tersebut. Pola ini dapat menjamin keberlangsungan usaha sawit pekebun maupun perusahaan," katanya.

Kemunculan pabrik tanpa kebun yang melakukan pembelian TBS dengan harga yang tidak berdasarkan pada pola kemitraan mendorong spekulasi.

"Jika harga yang dibeli oleh pabrik tanpa kebun lebih tinggi dari harga pasar, petani diuntungkan, namun menyebabkan kondisi finansial perusahaan akan terganggu. Sebaliknya, jika harga TBS yang dibeli lebih rendah dari harga pasar, hal ini akan mendorong harga TBS turun pada level dibawah hargapasar. Hal ini tentu merugikan petani," katanya.

Aksi-aksi spekulasi ini, ujar dia, dalam jangka panjang akan membuat industri sawit tidak "sustain", artinya suatu saat terdapat petani maupun perusahaan yang gulung tikar dan ini kejadian membahayakan.


Pewarta :
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024