Makassar (ANTARA Sulsel) - Terpuruknya ekonomi Indonesia selama hampir setahun terakhir ini berdampak pada semua sektor tidak terkecuali pada pemilihan kepala daerah yang mendorong warga untuk terlibat langsung dalam praktik politik uang (money politics).

"Pemicu utama terjadinya praktik money politic adalah ekonomi. Apalagi saat ini perputaran ekonomi terpuruk dan mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat," ujar Direktur Lembaga Survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) Irfan Jaya di Makassar, Senin.

Dia mengatakan, praktik pilitik uang itu hanya dominan terjadi pada tataran pemilih yang berstatus ekonomi kelas menengah ke bawah karena terasanya dampak ekonomi yang memicu kenaikan sejumlah kebutuhan pokok masyarakat.

Irfan menjelaskan, politik uang (money politic) jelas dilakukan simpatisan, tokoh politik, bahkan oleh kandidat sendiri. Sasarannya masyarakat atau pemilih yang status ekonominya berada di kelas bawah.

"Termasuk masyarakat yang tingkat pendidikannya minim, sehingga mudah dipengaruhi dengan sesuatu imbalan," terangnya.

Menurut dia, motif politik uang beraneka ragam. Mulai cara konvensional semisal pemberian amplop yang berisikan uang tunai dan tanda gambar kandidat. Ada juga yang dalam bentuk pemberian barang seperti minyak, beras, gula, minyak, dan berbagai kebutuhan sembako lainnya.

Namun belakangan ini muncul modus baru yang lebih sulit dideteksi. Seperti transfer langsung ke rekening pemilih. Bahkan ada yang membukakan rekening baru bagi pemilih yang belum memiliki rekening.

Ada pula dalam bentuk pemberian pulsa telepon genggam (handphone) dan pemberian dalam bentuk asuransi. Secara sederhana, "money politics" suatu usaha mempengaruhi masyarakat dengan menggunakan imbalan materi atau yang lebih sederhananya lagi adalah jual beli suara

Adapun aktifitas politik uang, lanjut Irfan, pada umumnya dilakukan pada hari menjelang pemungutan suara. Hal ini didasari karena dinamika pada pemilih menjelang hari pemilihan semakin dinamis. Mudah terjadi perubahan dukungan suara.

"Terutama pada pemilih yang bukan kategori pemilih fanatik. Apalagi pemilih yang sejak awal memang belum menentukan pilihan. Oleh karena itu, ditempuhlah cara-cara kotor seperti mempengaruhi pilihan seseorang dengan pola pendekatan trasaksional," paparnya.

Menurut Irfan, setiap daerah persentase terjadinya jual beli suara jelas berbeda-beda. Praktik-praktik seperti ini sulit dipotret oleh lembaga survei mana pun. Alasannya, kecendrungan responden atau masyarakat yang tidak mau berbicara jujur tentang praktik juali suara.

"Malahan rata-rata masyarakat menolak keras `money politics`. Meski faktanya di belakangan mereka menerima," ucapnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Celebes Research Center (CRC) Herman Heizer menuturkan bahwa ada perbedaan persentase masyarakat yang toleran terhadap isu money politik. Namun perbedaan itu tidak terlalu signifikan.

Dia menyebutkan, ada sekitar 20 persen sampai 30 persen masyarakat yang secara terang-terangan memberikan toleransi terhadap praktik money politik.

"Namun dari angka tersebut tidak semua mendasarkan pilihan karena pemberian uang atau hadiah. Artinya, banyak masyarakat yang mau menerima pemberian uang atau hadiah, tapi tidak mempengaruhi pilihan politiknya," jelasnya.

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor :
Copyright © ANTARA 2024