Jakarta (ANTARA Sulsel) - Sejumlah kalangan menilai penerapan aturan The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP)  justru menghancurkan kehidupan petani kelapa sawit Indonesia serta berdampak buruk pada iklim investasi.

Pemilik/ owner PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah di Jakarta, Rabu menyatakan,  saat ini banyak perusahaan kelapa sawit skala sedang dan kecil yang kesulitan memasarkan CPO kepada lima perusahaan besar yang telah menandatangani IPOP.

Sabri Basyah mengungkapkan sejak tiga bulan lalu pihaknya tidak bisa lagi menjual CPO ke grup usaha Wilmar, salah satu perusahaan yang menandatangani IPOP tersebut.

"Ketika itu kami membuka lahan di daerah Langsa, Aceh Timur. Pembukaan lahan ini dianggap melanggar kriteria IPOP, sehingga Wilmar yang selama ini menjadi mitra bisnis kami, tak mau lagi membeli CPO kami. Padahal CPO yang kami jual ke Wilmar tersebut bukan dari lahan di Langsa, karena lahan tersebut memang belum berproduksi," kata Sabri Basyah.

Sabri menyatakan  kecewa dengan kebijakan yang dilakukan Wilmar tersebut sebab saat  membuka lahan itu pihaknya telah mengikuti semua aturan yang berlaku di Indonesia.

"Tidak ada satu pun peraturan pemerintah yang saya langgar, tapi kenapa kami dinilai melanggar aturan IPOP yang dibuat bangsa asing itu?," katanya.

Ketegasan pemerintah

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah harus bersikap tegas terhadap manajemen IPOP sebab akibat penerapan aturan ini, berdampak buruk terhadap iklim investasi dan merugikan petani sawit .

"Ini kedaulatan kita telah diambil orang asing. Ini penjajahan gaya baru. Karena mereka yang buat aturan itu. Dan kitalah yang menjadi korbannya," ujarnya.

Menurut Sabri, sebenarnya agenda yang diusung Amerika melalui IPOP ini adalah tidak ada lagi ekspansi atau perluasan lahan kelapa sawit (zero growth palm oil) di Indonesia.

Tapi, lanjutnya,  Amerika Serikat "membungkusnya" dengan zero deforestation dengan membuat kriteria yang tidak mungkin diikuti oleh pelaku usaha di Indonesia.

Saat ini ada lima perusahaan sawit besar  atau The Big Five Company yang menandatangani IPOP yakni Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.

Beberapa aspek atau kriteria yang diterapkan dalam IPOP antara lain melarang ekspansi kebun sawit (No deforestasi),  melarang kebun sawit di lahan gambut (No Peatland).

Kemudian,  melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS), dan (4) Melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).

Selain itu, perusahaan sawit tersebut menampung hampir 90 persen seluruh TBS dan CPO Indonesia, termasuk  di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat.

Menurut Sabri, dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh mata rantai (supply chain) perusahaan dan bersifat dapat ditelusuri,  maka  telah menyeret seluruh industri minyak sawit Indonesia ke dalam pasungan IPOP tersebut meskipun penandatanganan dilakukan oleh The Big Five Company.

Tak masuk akal

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), San Afri Awang menilai komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP sebagai sesuatu yang tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan  hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi.

"Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka," ujar San Afri Awang.

Menurut dia, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 jutaan hektare, pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini.

Terlebih, lanjutnya, usulan-usulan yang masuk banyak ingin membangun kebun sawit, terutama di Papua.

"Andaikata terjadi tukar menukar lahan APL (Alokasi Penggunaan Lain) dan HPK (Hutan Produksi Konversi), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. Jadi sulit karena masih banyak orang mau bangun di Papua," katanya.

Awang menyatakan bahwa IPOP sudah membahayakan rakyat, terutama petani-petani sawit yang juga menjadi pemasok dari pebisnis besar.

"Saat mereka tak bisa memenuhi standar tinggi itu, produk sawit mereka bisa ditolak," katanya.

Oleh karena itu, ia menilai IPOP sudah melanggar UUD 45 dan sebagai organisasi sudah melampaui kewenangan pemerintah.

Sebab, katanya, aturan pemerintah membolehkan pembangunan di hutan sekunder dan semak belukar tua, tetapi dalam IPOP justru dilarang.

Pendapat senada disampaikan Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud bahwa  kekhawatiran terhadap IPOP karena di lapangan sudah berdampak.

Menurut dia, tiga juta petani Indonesia bergantung pada kelapa sawit.

"Kita sebenarnya sudah ada ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), kita tidak bisa adopsi pledge (IPOP). Di lapangan sudah banyak dampak yang terjadi, misal, di Aceh sudah ada kebun sawit kerja sama dengan Wilmar, tetapi karena mereka masih mau bangun, CPO tak bisa dijual ke Wilmar," jelasnya.

Saat ini, lanjutnya, setelah menjadi IPOP, dampak meluas dan membahayakan bisnis sawit.

"Bagaimana pun juga perkebunan sawit sumber perekonomian rakyat. Daerah 'remote' (terpencil) dengan perkebunan rakyat. Usaha-usaha rakyat bisa terhenti. Apakah ada alternatif lain? Silakan pledge, tapi jangan ganggu pembangunan di negara kita," tegasnya.

Pewarta : Subagyo
Editor :
Copyright © ANTARA 2024