Makassar (ANTARA Sulsel) - Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang bermukim di kawasan hutan lindung, bahkan di luar kawasan, selama ini menganggap hutan adalah bagian dari kehidupan keluarganya sehingga perlu dibina agar hutan di Sulawesi Selatan tetap terjaga.

Masyarakat KAT membuka lahan perkebunan di areal hutan tersebut karena terdesak untuk membiayai rumah tangganya, kata Kepala Subdin Inventarisasi Hutan Dinas Kehutanan Sulsel, Ir Sri Endang Sukarsi, MSi di Makassar, Sabtu.

Tetapi, lanjutnya, jika masyarakat diberi pengertian serta diarahkan bergabung dengan kelompok masyarakat peduli lingkungan hutan seperti lembaga koperasi yang ada di lingkungannya, hutan akan tetap lestari dan terjaga dengan baik.

Sebab, mereka bisa memanfaatkan hutan dengan cara tebang kayu tua dan menggantinya dengan tanaman yang baru (reboisasi) mandiri di kawasan itu yang diorganisir koperasi setempat sebagai wadah mereka setelah menjadi anggota lembaga ekonomi rakyat tersebut.

"Sekali dalam lima tahun mereka menebang kayu yang sudah tua usianya dan menggantinya dengan tanaman baru yang lebih produktif sehingga hutan tidak gundul," ujarnya seraya menyatakan, dari hasil menebang kayu secara terorganisir dengan pengawasan aparat pemerintah setempat, mereka mendapatkan penghasilan untuk membiayai kelangsungan hidup anggota keluarganya.

Ia mencontohkan, di Desa Kasintuwu, Kabupaten Luwu Timur terdapat 200 KK warga KAT mau bergabung dengan koperasi Manceka Jaya di desanya untuk ikut mengelola hutan kemasyarakatan seluas 500 ha, sekaligus melibatkan diri menjaga, merawat dan mengawasi hutan lindung tersebut dari oknum perambah hutan ilegal.

"Ini suatu sikap terpuji dari warga itu untuk merubah kehidupannya secara layak dan legal yang direstui pemerintah sehingga kehidupannya tidak lagi berpindah-pindah lokasi," katanya seraya mengajak pemerintah setempat untuk proaktif terhadap pengelolaan hutan di daerahnya.

Menurut Sri, lahan kritis di provinsi ini mencapai 682.784 ha yakni berada dalam kawasan hutan seluas 369.956,5 ha dengan jumlah penduduk yang melakukan perladangan berpindah-pindah sebanyak 23.415 kk serta hutan rusak di luar kawasan tercatat 312.827,7 ha dengan penduduk yang berada di wilayah itu sebanyak 35.882 KK.

Jika masyarakat yang hidupnya hanya mengandalkan hutan tetap dibiarkan merusak hutan maka lingkungan di kawasan ini tidak akan hijau dalam waktu 20 tahun.

Karena itu, potensi sumber daya manusia yang cukup banyak ini perlu diorganisir melalui gerakan rehabilitasi hutan dan lahan berbasis kemasyarakatan, katanya seraya menambahkan, tahun 2009, pemerintah Sulsel mencanangkan gerakan ini pada areal lahan seluas 20 ribu ha dengan dana APBN Rp2,05 miliar.

Manfaatnya, masyarakat tidak lagi seenaknya membuka lahan perkebunan secara berpindah-pindah tetapi diarahkan dan dibina bagaimana mengolah hutan produktif tanpa harus merusak lingkungan hutan lindung maupun di luar kawasan.

(T.PSO-099/F003)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024