Oleh Suriani Mappong

Makassar (ANTARA Sulsel) - Salah satu tradisi yang masih melekat di kalangan Suku Bugis dan Makassar, Sulsel, hingga saat ini adalah "suro'baca" atau membaca doa bersama di depan aneka menu khas dua suku itu sebelum bersantap bersama.

Tradisi turun-temurun ini umumnya dilakukan sehari sebelum hari pertama Ramadhan. Pada saat itu, anggota keluarga berkumpul di rumah keluarga inti atau yang dituakan.

"Sejak kecil saya sudah ikut acara ini, dan biasanya kami berkumpul di rumah nenek dan kakek yang memimpin doa itu," kata Rahmadani, salah seorang suku Bugis yang merupakan warga Kota Makassar.

Sementara itu, warga Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel) Abdul Wahid yang biasa memimpin prosesi "suro'baca" itu mengatakan, makna dari tradisi tersebut sebenarnya untuk memupuk kebesamaan dan silaturrahim.

Dia menuturkan, sebelum acara "suro'baca" biasanya pihak keluarga yang sudah berumah tangga mengumpulkan dana ke pihak yang dituakan atau dipercaya melaksanakan tradisi itu.

Dana suka rela diberikan masing-masing keluarga sesuai dengan kemampuan ekonominya. Bahkan bagi yang ingin menyumbangkan hasil ternak dan kebunnya juga bisa dijadikan "bilang ulu" atau sumbangan suka rela per kepala keluarga (KK).

Sehari sebelum "suro'baca", kata Abdul, beberapa ekor ayam kampung dan ikan bandeng dijadikan menu khas untuk dihidangkan pada hari-H.

Umumnya ayam kampung dimasak "gagape" yang mirip masakan opor. Sebagian lagi digoreng untuk menjadi lauk "kaddo'minnyak" beras ketan yang sudah dikukus.

Sedang ikan bandeng yang sudah dibelah dua dan diberi bumbu berupa garam dan cabe besar yang sudah dihaluskan dibakar hingga matang di atas arang atau sabut kelapa.

Menu pelengkap lainnya yang merupakan menu khas Bugis Makassar adalah "lawa", semacam urap yang bahan dasarnya adalah pisang batu.

Tak ketinggalan "paria kambu" atau masakan pare yang sudah dibuang bagian tengahnya, kemudian diisi dengan daging ikan yang sudah dihaluskan yang sudah diberi bumbu.

Setelah semuanya siap, maka seluruh hidangan disajikan untuk disantap bersama. Namun sebelumnya, "guru baca" akan memimpin doa dan anggota keluarga yang hadir, turut membaca doa di dalam hati.

"Umumnya kami mendoakan almarhum dan almarhumah keluarga kami yang sudah meninggal, juga memohon kepada Allah SWT agar kami yang masih hidup diberi kesehatan, rezeki dan umur panjang," kata warga Maros lainnya, Hj Marhumah.

Hal yang sangat spesial, kata perempuan berusia separuh abad ini, karena menjelang Ramadhan mereka bisa berkumpul bersama dengan keluarga besar yang rumahnya sudah berjauhan, bahkan sudah ada yang di luar Sulsel.

Pada momen itu, seusai bersantap bersama, seluruh yang hadir bersalam-salaman meminta maaf sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sedang menu yang masih ada, disisihkan untuk dibagikan ke tetangga.

"Melalui "suro'baca" ini, selain memupuk silaturrahim, juga mengajarkan untuk berbagi dengan orang-orang di sekitar kita, menikmati makanan yang lezat-lezat," kata Abdul yang sudah lebih dari sepuluh tahun sebagai "guru baca".


Ziarah Kubur

Tradisi "suro'baca" bagi kalangan Bugis Makassar, belum lengkap tanpa ziarah kubur menjelang Ramadhan. Berziarah ke makam keluarga sebagai salah satu cara mengingat kematian.

"Tujuannya, agar kita tidak takabur dan sombong atas apa yang dimiliki saat ini. Berziarah ke makam keluarga dan mendoakannya, juga akan mengingatkan kita bahwa suatu saat kita juga akan meninggal," kata salah seorang pengunjung Pekuburan Islam Subaedah di Panaikang, Kota Makassar.

Umumnya yang berziarah kubur itu dua atau satu hari sebelum Ramadhan. Sehingga dampak ekonomi dari tradisi itu, para pembaca doa kubur yang lebih dikenal dengan istilah "pa' doja" maupun penjual bunga akan "panen".

"Kalau pada hari biasa kami hanya mampu menjual bunga sebanyak lima hingga 10 keranjang kecil, maka menjelang Ramadhan bisa dua hingga tiga kali lipat," kata penjual bunga kuburan di Pekuburan Islam Panaikang, Bahrun.

Keuntungan yang diperoleh dari penjualan bunga itu, katanya, rata-rata Rp2.500 per keranjang kecil atau kantong plastik. Bunga yang dijual dalam keranjang dan kantong plastik tersebut terdiri dari daun pandan yang diiris-iris kecil dan digabungkan dengan aneka bunga yang berwarna-warni.

Bahrun mengatakan, biasanya bunga kembang sepatu, mawar, ros dan bogenville menjadi penghias. Satu ember kecil kami beli dari pemilik bunga seharga Rp5.000. Setelah dicampur daun pandan, nilai penjualan bunga yang seember itu dapat mencapai Rp50 ribu.

Dengan demikian dua tradisi yang saling melengkapi itu, selain berimplikasi pada upaya pemupukan rasa kebersamaan, ternyata juga memberikan nilai positif dalam menggerakkan ekonomi kecil di sekitar kawasan pekuburan Islam dan Taman Makam Pahlawan yang berlokasi di bagian timur Kota Makassar.

(T.SDP-15/H-KWR)


Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024