Makassar (ANTARA Sulsel) - Partisipasi pemilih pada Pilkada serentak di Sulawesi Selatan dinilai menurun, karena regulasi yang di berjalan masih jauh dari harapan dalam proses demokrasi.

"Hampir semua daerah yang menyelenggakan Pilkada di Sulsel partisipasinya menurun. Namun hanya di Gowa yang naik tetapi ada kecurigaan," ujar akademisi dari Unhas Jayadi Nas, Kamis.

Dalam diskusi publik digelar Lingkar Hukum Comunitty, Evaluasi Pilkada Serentak, Mantan Ketua KPU Sulsel ini menyatakan rata-rata partisipasi pemilih tidak lebih dari 2,5 persen dalam setahun dan hanya gowa naik hingga 10 persen.

"Ada 11 kabupaten di Sulsel melaksanakan Pilkada dan partisipasi pemilih tidak lebih dari 2,5 persen sedangkan gowa hampir 10 persen pada Pilkada ini, tapi ironisanya Pileg dan Pilpres tidak sampai 2,5 persen, ada apa.?," sebutnya.

Selain itu, berdasarkan informasi di Kabupaten Bulukmba ada 81 ribu C6 atau undangan tidak tersebar, dan dua daerah Luwu Utara dan Soppeng partisipasi menurun pada Pilkada ini.

Bahkan salah satu faktor menurunnya partisipasi pemilih adalah kurangnya sosialisasi dari penyelenggara di daerah termasuk pemasangan alat peraga yang tidak efektif .

Bahkan paling ironis dalam Peraturan KPU ada disebutkan bisa memberikan suvenir senilai Rp25 ribu perorang, padahal itu salah satu bentuk money politik yang di legalkan.

"Saya dari awal tidak setuju dengan PKPU itu, seharusnya aturan ini tidak diberlakukan. Kalau saya sebaiknya meningkatkan partisipasi dana tersebut dikumpulkan dan dibelikan motor lalu di beri kupon bersamaan undangan untuk diundi supaya pemilih berbondong-bondong ke TPS," katanya.

Sementara Praktisi Hukum Anwar Ilyas pada kesempatan itu menyebutkan ada sejumlah cacatan dalam pelaksanaan Pilkada serentak di Sulsel termasuk regulasi yang digunakan penyelenggara.

"Satu-satunya negara dengan payung hukumnya berubah-ubah selama penyelenggaraan pemilu adalah Indonesia. Jadi jangan mengharapkan Pilkada berkualitas," sebutnya.

Ia mengemukakan aturan pilkada terus berubah-ubah itu diduga kuat adanya kepentingan tarik menarik disitu. Sehingga terkesan regulasi dibuat hanya untuk kepentingan tertentu.

"Catatannya mulai proses pencalonan, kemudian ditundanya pilkada di lima daerah, masalah anggaran setiap kali Pilkada penyelenggara menjerit karena anggaran dana hibah terlalu lama dicairkan bahkan penyelenggara terpaksa mengutang demi terselenggaranya Pilkada. Ini memalukan," ungkap dia.

Selain itu terkiat logistik kampanye sangat dibatasi karena penyelenggara terkesan irit dengan alasan efesiensi bahkan dipasang seadanya kalaupun rusak tidak diganti.

"Paling parah adalah Daftar Pemilih Tetap atau DPT yang tidak pernah selesai dan terus menuai masalah setiap kali pemilihan, temasuk netralitas PNS dan penyelenggaran yang tidak pernah netral,"

Pihaknya menyarankan bila ingin terwujudnya netralitas, sebaiknya hak pilih PNS di cabut, sebab siapa pun calon yang bisa memengang suara PNS tentu akan menguasai pemilih dan bisa terpilih.

Bahkan sanksi yang dijatuhkan kepada PNS yang ditemukan melanggar tidak pernah dipastikan mendapat hukuman termasuk prosesnya sangat panjang.

"Pilgub lalu banyak PNS yang direkomendasikan ke kementerian aparatur negara dan birokrasi reformasi untuk di kenakan sanksi, tapi sampai saat ini sanksi itu mandul, jadi percuma saja," ungkap Mantan Badan Pengawas Pemilu ini.

Dirinya juga mendorong penyelenggaran pelaksanaan Pemilu sebaiknya mulai berbenah dengan melihat sejumlah pengalaman kasus untuk dijadikan masukan dalam mewujudkan proses demokratis yang berkualitas pada 2019 mendatang.

Selain Jayadi Nas dan Anwar Ilyas, hadir pula pemateri lainnya seperti Alwi Rahman selaku Budayawan mengupas dari sisi budaya pelaksanan Pemilu dan Irwan Patawari selaku politisi dari Partai Demokrat.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024