Makassar (ANTARA Sulsel) - Pagi buta yang disertai hujan rintik-rintik, tidak menyurutkan para pasoema (pencari madu) menelusuri hutan lindung di Desa Tawanga, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.

Untuk melihat dari dekat aktivitas para pasoema itu, setidaknya dibutuhkan waktu enam jam perjalanan dari Kota Kendari melalui jalur darat.

Di Desa Tawanga, sekitar 70 persen dari 1.087 jiwa warganya menggantungkan hidup dari penghasilan mencari madu hutan.

Tak heran, jika desa ini dikenal sebagai sentra produksi madu hutan yang masih terjaga keaslian produknya.

"Kalau madu dari desa kami, tidak ada campurannya, karena kami menjaga kepercayaan pada pembeli, sehingga harus tetap menjaga kualitas," kata salah seorang pasoema bernama Bakri.

Menurut dia, sejak 1980-an sudah berburu madu hutan dengan sistem pengelolaan madu peras. Namun sejak mendapat pembinaan dari pendamping proyek Agroforestry dan Forestry (Agfor) Sultra, maka kini beralih dengan sistem madu tiris.

Dengan sistem pengelolaan madu tiris itu, petani madu memperoleh harga rata-rata Rp50 ribu per kilogram, sedang dengan madu peras hanya dibeli Rp35 ribu per kilogram.

Namun jika sudah berpindah tangan, harga madu tersebut dapat mencapai dua hingga tiga kali lipat dari harga madu curah yang langsung diperoleh dari pasoema.

Hal itu dibenarkan Ketua Koperasi Serba Usaha Mepokoaso Pasoema Uluiwoi (MPU) Kusman.

Menurut dia, untuk memasarkan langsung produk madu hutan anggota kelompoknya, masih terkendala dari sektor transportasi dan distribusi.

"Sehingga pedagang pengumpullah yang kerap datang ke desa kami untuk membeli. Selain itu, untuk membantu pemasaran, pihak pendamping dari Agfor biasanya membantu memasarkan di Kota Kendari," katanya.

Dengan sistem penjualan dan pemasaran kolektif itu, lanjut dia, petani madu di Desa Tawanga yang terdiri atas 23 kelompok kecil ini, berharap pedagang pengumpul tidak mempermainkan harga.

Sementara dari penghasilan berburu madu di hutan seperti yang dilakukan Bakri maupun lainnya, yang kerap menjadi sopir alias pemanjat pohon yang memiliki sarang lebah ini, keduanya mengaku mendapatkan penghasilan yang lumayan mampu menopang ekonomi keluarga dan menyekolahkan anak.

Lelaki paruh baya itu yang memiliki lima orang anak mengaku menyekolahkan anaknya dari hasil penjualan madu hutan.

"Anak pertama saya sudah bekerja sebagai PNS di Dinas Perikanan. Sedang yang bungsu kuliah di Akademi Perawat di Kota Kendari dan sebentar lagi diwisuda," katanya.

Hirman pasoema lainnya pun mengaku dari hasil perburuan madu hutan sebagai pemanjat pohon, dia memperoleh pendapatan sekitar Rp2 juta hingga Rp3 juta rupiah setiap masa panen. Sedang di luar masa panen, warga kembali berkebun tanaman komoditi yang harganya cukup mahal seperti lada, kakao dan durian.

Untuk mendapatkan madu hutan, lanjut dia, dilakukan secara berkelompok yakni tiga hingga lima orang dengan fungsi yang berbeda seperti ada yang khusus bertugas memanjat pohon, meniriskan dan menyaring madu setelah sarang lebah diturunkan dari pohon, juga ada yang bertugas memikul madu ke lokasi koperasi MPU.

Karena itu, madu yang diperoleh rata-rata 35 kilogram hingga 40 kilogram per pohon, dibagi sesuai jumlah anggota kelompok.

Namun sebelum memanen madu, terlebih dahulu dilakukan survei dengan berkeliling hutan menelisik satu per satu pepohonan yang memiliki sarang lebah.

"Apabila ditemukan ada sarang, maka pohon itu ditandai dengan menuliskan nama atau kode kelompok, sehingga ketika pasoema yang lain datang dan menemukannya, sudah tidak bisa diambil," ungkap Hirman.

Apabila ada yang nekad mengambil sarang lebah yang sudah memiliki tanda, maka dicap melanggar Peraturan Desa (Perdes) yang sudah disepakati bersama dan pelakunya akan dikenakan denda sebesar Rp500 ribu per pohon/sarang.

Dengan adanya Perdes tersebut, dapat meminimalkan terjadinya sengketa atau perebutan pohon yang memiliki sarang lebah dan berpotensi menghasilkan madu.

Pendampingan Agfor

Proyek Agfor Sulawesi sudah dimulai pada 2011 dengan dukungan dari Department Forign Affair, Trade and Development (DFATD) Kanada yang bertujuan untuk meningkatkan mata pencaharian yang lebih adil dan berkelanjutan bagi petani dan masyarakat kecil.

Pendampingan itu dilakukan melalui sistem agroforestri dan pengelolaan sumber daya alam di tiga provinsi yakni Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Proyek Agfor berfokus pada tiga komponen yang saling berkaitan yakni mata pencaharian, tata kelola dan lingkungan.

Khusus di Sulawesi Tenggara, selain bekerjasama dengan pemerintah setempat, Agfor juga bekerjasama dengan LSM Teras dan Operasi Wallacea Terpadu (OWT), World Agroforestry Center (ICRAF) dan Center for International Forestry Research (CIFOR).

Menurut Koordinator Proyek Agfor Sultra Mahrizal, pendampingan terhadap petani madu di hulu Sungai Konaweha ini dilakukan secara berkolaborasi. Hal ini sebagai bentuk komitmen untuk meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan.

Selain itu, juga memfasilitasi pencari madu melalui pelatihan produksi madu secara lestari dan higienis (madu tiris) dengan tiga kali penyaringan. Termasuk pelatihan kewirausahaan dan pemasaran dan pengolahan produk turunan.

Hal itu diakui Kepala Desa Tawanga Iskandar. Menurut dia, produksi madu di desanya pada 2010 umumnya madu peras dan harga tidak seberapa. Namun setelah warganya mendapatkan pendampingan dan pelatihan pengelolaan madu tiris dari tim Agfor, maka produksi madu di wilayahnya pada 2015 mencapai 1,5 ton.

"Melalui pendampingan itu pun petani madu akhirnya membentuk koperasi untuk memperkuat kelembagaan, sehingga memiliki posisi tawar dengan pedagang pengumpul dan mempermudah pemasaran," ujarnya.

Sedang nilai yang terpenting dari pendampingan tim Agfor ini, lanjut Mahrizal maupun Imran dari LSM Teras memotivasi masyarakat untuk tetap melestarikan hutan sebagai habitat dari lebah yang memproduksi madu.

"Di sini ditekankan, bahwa tanpa menebang pohon juga mereka mampu memperoleh penghasilan yang memadai dari madu," kata Imran.

Sebaliknya, dengan menebang hutan maka dapat terjerat persoalan hukum, habitat untuk lebah berkurang yang nota bene penghasilan madu pun turut berkurang, dan yang paling berbahaya adalah ancaman bencana alam dari penebangan pohon itu.

Melalui pendampingan tim Agfor tersebut, warga di Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur itu semakin menyadari pentingnya melestarikan hutan sambil tetap berburu madu untuk menikmati manisnya kehidupan yang menyatu dengan alam.

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024