Makassar (ANTARA Sulsel) - Mantan Pimpinan Teroris Asia Tenggara Nasir Abbas dalam orasi singkat di hadapan ratusan pengurus dan anggota Kosgoro Sulawesi Selatan mengungkapkan rasa syukur telah disadarkan mengenai aksi brutalnya itu.

"Rasa syukur saya itu, karena rencana besar untuk melakukan teror di Asia Tenggara pada tahun 2013 itu gagal setelah Pak Saud Usman menangkap saya," ujarnya, saat menjadi pembicara dalam dialog kebangsaan, di Balai Jenderal Muh Yusuf Makassar, Jumat.

Nasir Abbas mengatakan, dirinya merupakan guru dari Imam Samudera serta guru dari para teroris terkenal lainnya di Asia dan telah banyak menciptakan banyak kamp latihan bagi para pemuda.

Di hadapan seribuan pengurus dan anggota Kosgoro itu, dia menyampaikan perasaannya saat memimpin kelompok Mujahiddin di beberapa wilayah di Asia Tenggara sebagai otak kelompok teroris.

Dia mengungkapkan, dirinya adalah Ketua Mantiqi III untuk mengatasi wilayah di Asia Tenggara, seperti Sabah Malaysia, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan beberapa wilayah lainnya.

"Jadi wilayah-wilayah ini diamanahkan ke saya untuk dijadikan sebagai tempat atau pintu masuk militer Jamaah Islamiyah. Jadi cara kerjanya itu, memanfaatkan konflik yang terjadi seperti di Poso," katanya lagi.

Pengakuan Nasir Abbas itu disaksikan langsung oleh Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh, Agung Laksono serta Kepala BNPT Komjen Pol Saud Usman Nasution.

Dia mengaku, sejak remaja usia 18 tahun sudah dikirim ke Afghanistan mengikuti pelatihan militer selama enam tahun dan bergabung dengan beberapa kelompok radikal lainnya.

Nasir menyebutkan, Santoso adalah murid dari Imam Samudera dan pada tahun 1992 di Afghanistan, dirinya bertemu langsung dengan Imam Samudera, Umar Patek, Dr Azhari, Ali Imron, dan beberapa pelaku terorisme asal Indonesia lainnya yang masuk angkatan ke-10.

Melalui pengalamannya itu, dia kemudian membangun kamp pelatihan militer di beberapa negara seperti Filipina. Selama tiga tahun, dirinya mempersiapkan para relawan yang akan menjadi mujahidin.

Bukan cuma itu, para mujahidin yang telah melalui proses pelatihan militer dengan keras itu juga dibekali dengan senjata, amunisi, bahan peledak dan peralatan perang yang kemudian disimpan untuk dipasok ke beberapa wilayah, seperti Poso, Sulawesi Tengah.

Menurut Nasir yang merupakan warga asli Malaysia itu, dia ditangkap di wilayah Bantar Gebang, Bekasi, 17 April 2003. Pada saat itu, dirinya ingin memanfaatkan perjanjian Malino dengan menciptakan teror dan meledakkan beberapa tempat.

Namun, upayanya itu gagal saat dirinya diringkus oleh Detasemen Khusus Antiteror 88 dipimpin langsung oleh Saud Usman Nasution yang sekarang menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).

Pria berkacamata ini dikenal sebagai instruktur pelaku bom Bali I tahun 2002 di kamp mujahidin, Kamp Saddah di Afghanistan (awal 1990) dan Kamp Hudaibiyah di Mindanao.

Nasir masuk angkatan kelima pelatihan militer di Kamp Saddah. Nasir merupakan tokoh teroris yang paling dicari di Asia Tenggara pada saat itu.

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor :
Copyright © ANTARA 2024