Makassar (ANTARA Sulsel) - Hakim Ketua PTUN Makassar Teddy Romiady menolak seluruh gugatan hukum yang dilayangkan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar terkait sengketa perkara Reklamasi Pantai Losari Barat di kawasan Central Poin of Indonesia seluas 157 hektrare.

"Menyatakan gugatan penggugat tidak diterima. Gugatan dinyatakana cacat formil. Tidak ada kepentingan publik yang dirugikan dalam objek sengketa," ujar Teddy saat memutus perkara di kantor PTUN setempat, Kamis.

Menurut Teddy didampingi hakim anggota masing masing Joko Setiono dan Jafar wakyu Jatmiko dalam sidang dikatakan tidak ada ditemukan pencemaran dalam reklamasi tersebut.

"Tidak ditemukan fakta fakta terkait pencemaran eksosistem dari reklamasi yang dimaksud," katanya sesaat sebelum mengetuk palu sidang di ruang utama persidangan PTUN setempat.

Usai mengetuk palu, ketiga hakim langsung meninggalkan tempat persidangan melalui pintu belakang tanpa menghiraukan protes pihak penggugat.

Hasil dari putusan tersebut langsung memicu reaksi penggugat dalam hal ini nelayan bersama tim pendamping ASP Makassar dengan menyatakan sidang tersebut tidak berpihak.

Bahkan salah seorang nelayan perempuan Daeng Bolo korban reklamasi yang merasa dirugikan tidak terima dan berteriak-teriak sesusai sidang tersebut, beberapa massa juga berteriak-teriak tanda protes pada keputusan hakim tersebut.

Penasehat hukum ASP dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Haswandi Mas usai sidang langsung mengajukan keberatan dan tetap akan melakukan banding ke tingkat pengadilan tinggi atas penolakan gugatannya.

"Kami protes ketika putusan sudah dibacakan sama sekali majelis hakim tidak memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan tanggapan," ucapnya kepada wartawan.

Menurut dia, perkara ini terkait dengan kepentingan publik dan ada amanah dan tangungjawab diberikan majelis hakim pada tempatnya. Sebab ini persoalan lingkungan hidup yang berkaitan baik pemerintah, swasta, masyarakat hingga nelayan.

"Masalah pesisir dan lingkungan hidup yang berpekara ini ditentukan salah seorang ketua majelis hakim, karena ini adlaah settingan opinion. Makanya penting bagi kami memberikan pendapat berbeda. Kami menyatakan upaya hukum banding," tegas Wandi.

Satu hal yang dianggap tidak sesuai denga hukum acara adalah, tidak memberikan kami pernyataan sikap. Seharusnya terhitung putusna itu pihaknya sudha bisa menyatakan sikap terhadap upaya apa dilakukan dalam putusan itu.

"Tadi tidak diberikan kesempatan itu, langsung saja meninggalkan tempat. Ada dugaan merasa sangkutan moril begitu. Tetap kita banding bukan hanya masalah ini tapoi perilaku hakim dalam kontes persidangann" katanya.

Selain itu pihaknya mengangap dalam fakta persidangan saksi ahli tergugat dalam hal ini dihadirkan Pemerintah Provinsi Sulsel lebih banyak diambil keterangan sementara saksi ahli dari penggugat tidak terlalu dianggap sehingga berbanding terbalik dengan fakta-fakta dilapangan.

Direktur Walhi Pusat Nur Hidayati usai sidang mengatakan ada beberapa hal yang perlu dicatat bahwa putusan hakim tidak sepenuhnya memberikan putusan objektif.

"Ada Setting opinion atau perbedaan pendapat hukum dari ketiga majelis. Berdasarkan konsultasi hukum maka kita ajukan banding atas putusan yang dibacakan ketua majelis hakim," paparnya kepada wartawan.

Pihaknya menyatakan mengapa mengajukan banding, karena ada hal penting yang harus diketahui masyrakat terkait pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan memberikan keadilan bagi masyarakat pesisir khusunya nelayan tradisional.

"Kalau diamati dari pertimbangan majelis hakim ketua, terlihat bahwa hakim tersbut tidak memiliki prespektif lingkungan hidup. Tujuan Walhi menggugat sebagai prinsip wujud kehati-hatian dalam pengelolan hidup," tutur Nur.

Kendati putusan itu tentu berdampak pada langsung, tetapi Walhi ingin menecegah dampak kerusakan lingkungan lebih besar bukan hanya generasi sekarang tapi pada generasi akan datang.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024