Makassar (ANTARA Sulsel) - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang menangani kasus dugaan korupsi pengadaan bibit kakao sambung pucuk di lima kabupaten dinilai tebang pilih karena kasus ini hanya menyeret satu orang tersangka saja.

"Ada apa sebenarnya dengan penyidikan kasus ini. Kenapa Kejati sulit sekali menyeret lima rekanan yang sudah sangat jelas perannya dalam kasus ini. Kejaksaan jangan tebang pilih," tegas Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Indonesia (LBHMI), Habibi Masdin di Makassar, Jumat.

Dalam kasus ini Kejati Sulsel baru menetapkan satu orang tersangka yakni mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) S. Manopo, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dari sejumlah pengiat anti korupsi.

Habibi mempertanyakan status rekanan yang bertindak sebagai pelaksana proyek dalam kasus tersebut, tapi hingga saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka.

"Penyidik kejati harus profesional dan bertindak adil dalam menangani kasus ini, jangan sampai ada kongkalikong sehingga kelima rekanan tidak disentuh," katanya.

Lebih jauh, ia mengatakan bahwa dalam kasus dugaan korupsi sambung pucuk di lima kabupaten ini, kejati mengusut terkait adanya kerugiaan negara yang mencapai Rp4 miliar

"Ini terkait pengadaan sehingga dalam proses timbulnya kerugian negara tidak bisa dipisahkan antara panitia lelang dengan rekanan," ungkapnya.

Sebelumnya, penetapan S. Manopo sebagai tersangka melalui ekspose antara BPKP Provinsi Sulsel dengan Kejati Sulsel pada 28 Juni lalu.

Dari hasil ekspose diketahui bahwa pada tahin 2015 Dinas Perkebunan Pemprov Sulsel menerima dana APBN dari Kementerian Pertanian untuk kegiatan sambung pucuk pada lima kabupaten.

Selanjutnya dilaksanakan pembuatan HPS, namun dalam pembuatan HPS hanya dilakukan satu kali survei harga oleh PPK pada penakar yang ada di kabupaten Soppeng dengan harga eceran Rp7.250 per batang.

Dari hasil penyidikab diketahui bahwa panitia lelang berjumlah lima orang, namun yang bekerja hanya dua orang yaitu ketua dan sekretaris. Dan tim penyusunan HPS hanya melakukan satu kali survey harga serta harga bibit hanya Rp6.250 perbatang.

Sementara biaya penyaluran habya Rp500 perbatang dan proses penyaluran dilakukan oleh penakar benih bukan dilaksanakan oleh rekanan pemenang lelang.

Dalam kasus ini penyidik menemukan, adanya potensi kerugian negara sebesar Rp4,7 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan bibit kakao sambung pucuk.

Pengadaan bibit tersebut diduga terindikasi penggelembungan harga. Dugaan korupsi proyek pengadaan bibit sambung pucuk itu tersebar di Kabupaten Bone, Kabupaten Luwu, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Bantaeng.

Dugaan sementara, diduga ada pihak yang melakukan permainan harga dengan melakukan penggelembungan anggaran (mark up) pengadaan bibit kakao sambung pucuk tersebut.

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor :
Copyright © ANTARA 2024