Makassar, (ANTARA Sulsel) - Mantan Camat Tamalate Makassar Andi Ferdy Amin melalui kuasa hukumnya menyatakan banding atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menghukumnya empat tahun penjara.

"Kita langsung ajukan banding karena klien kami itu tidak melakukan perbuatannya apalagi putusan hakim tidak sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum," ujar pengacara terdakwa, Ahmad Farid di Makassar, Senin.

Andi Ferdy Amin yang sekarang masih menjabat sebagai Staf Ahli Wali Kota Makassar itu dipidana penjara empat tahun dan denda Rp200 juta atau diganti dengan satu bulan kurungan jika tidak membayarnya.

Terdakwa Ferdy Amin sendiri dalam kasus itu bertindak selaku anggota tim teknik pembebasan lahan yang terbukti melanggar pasal 12 huruf e undang-undang Tipikor, tahun 2001 tentang gratifikasi.

Ahmad Farid mengaku jika pada proses persidangan, jaksa penuntut umum tidak dapat membuktikan semua dakwaan dan tuntutannya dan bahkan majelis hakim tidak menjatuhkan hukuman pada pasal 2 dan 3 melainkan pasal tentang graftifikasi yang didalam tuntutan jaksa itu tidak ada.

"Dalam dakwaan itu penerapan pasalnya mulai dari pasal 2, kemudian pasal 3 dan pasal 12 huruf e. Kemudian pada tuntutan itu hanya dua pasal yakni pasal 2 dan 3. Itu pun tuntutan jaksa 1,6 bulan, tetapi di putusan justru pasal 12 huruf e yang dijatuhkan," katanya.

Dia menilai jika penerapan pasal itu sangat keliru sebab, kliennya tersebut tidak pernah menerima gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap korban Reggo Mothsan seperti yang disangkakan oleh majelis hakim.

Alasan Ahmad, uang yang diterima kliennya dari Reggo Mothsan saat itu adalah uang pembayaran utang Reggo Mothsan sendiri kepada kliennya yang nilainya sekitar Rp200 juta lebih.

Reggo Mothsan membayar utangnya tersebut kepada kliennya pada tahun 2011 lalu, usai pembayaran ganti lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan pembangunan gedung olahraga (GOR) dan Stadion Barombong.

"Makanya sangat tidak masuk akal bila klien saya di jerat dengan pasal 12 huruf (e). Karena tidak ada fakta dan satu pun alat bukti yang menyatakan kalau klien saya melakukan pemerasan, seperti yang disangkakan hakim dalam putusannya," cetusnya.

Menurut dia, Reggo Mothsan juga dalam kasus ini, tidak pernah dimintai keterangannya karena sebelum kasus ini mulai dilidik oleh Kejaksaan Negeri Makassar, pemilik lahan Reggo Mothsan sudah meninggal pada Agustus 2014.

Sedangkan pembayaran lahan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan itu pada 2011. Kemudian Reggo menyerahkan uang Rp200 juta lebih kepada Ferdi Amin karena terlibat utang piutang.

"Bagaimana bisa, Reggo menerima pembayaran dari Pemprov Sulsel itu tahun 2011, kemudian menyelesaikan piutangnya kepada klien kami beberapa waktu kemudian. Pada tahun 2014, tepatnya tanggal 16 Agustus, Reggo meninggal dunia dan di akhr bulan Oktober 2014, ada LSM dan ahli waris yang mempermasalahkan ini dan menganggap jika kliennya mengambil uang dari Reggo," ungkapnya.

Menurut dia, Reggo dalam kasus ini tidak pernah diperiksa oleh penyidik karena memang sudah meninggal dunia setelah kasusnya bergulir. Bahkan, dalam rentang waktu tiga tahun lebih, tidak ada lagi permasalahan antara Reggo dan Camat Tamalate Ferdy Amin.

"Kalau memang ada unsur pemerasan dalam kasus ini, tentulah, sejak dulu Reggo Mothsan sudah melaporkannya karena ada rentang waktu tiga tahun lebih. Kenapa justru setelah meninggal ada ahli warisnya melaporkan kasus ini," jelasnya.

Terpisah humas Pengadilan Tipikor Makassar, Ibrahim Palino membenarkan adanya pernyataan resmi dari pihak kuasa hukum terdakwa untuk melakukan upaya banding.

"Surat pernyataan resminya sudah kita terima dari kuasa hukumnya," singkatnya.

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor :
Copyright © ANTARA 2024