Makassar (ANTARA Sulsel) - Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Kabupaten Takalar mengembangkan kultur jaringan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan akan kontinuitas pasokan bibit rumput laut.
"Kalau produksi bibit secara konvensional itu kan sangat bergantung pada musim, sehingga kontinuitas pasokannya sulit kita jaga, tetapi dengan kultur jaringan produksi bibit tidak akan terpengaruh musim sehingga bisa tersedia sepanjang tahun," kata Teknisi Litkayasa Penyelia BPBAP Takalar Kasturi yang ditemui di sela Pertemuan Sektor Perikanan dan Kelautan dengan Tema menjadikan Sektor Kelautan dan Perikanan sebagai Pilar Utama Pembangunan Indonesia Timur di Makassar, Selasa.
Selain kontinuitas produksi, Kasturi mengatakan rumput laut yang dikembangkan secara kultur jaringan memiliki berbagai kelebihan di antaranya kualitas hasil panen yang lebih terjamin.
"Kemungkinan keberhasilan panennya hingga 70 persen, dibandingkan konvensional yang peluangnya hanya sekitar 30 persen," ucapnya.
Di sisi lain, bibit hasil kultur jaringan juga lebih bebas penyakit karena ditumbuhkan pada lingkungan steril.
Teknik kultur jaringan untuk rumput laut telah dikembangkan oleh BPAB dalam satu tahun terakhir meski baru terbatas untuk jenis Euchema cottoni.
"Nantinya kita akan mengembangkan untuk semua jenis rumput laut," imbuhnya.
Kasturi menuturkan proses kultur jaringan rumput laut dimulai dari menempatkan potongan rumput laut (eksplan) ke dalam media steril selama dua minggu hingga satu bulan.
Eksplan tersebut kemudian dipindahkan ke media tumbuh padat yang telah diberi zat pengatur tumbuh untuk membentuk kallus.
Setelah terbentuk, kallus akan dipindahkan ke dalam media tumbuh cair dan ditempatkan di atas shaker agar kallus tetap bergerak.
Dua hingga tiga bulan kemudian, kallus telah membentuk propagule yang akan tumbuh menjadi individu tanaman baru.
Pada fase ini propagule dipindahkan ke media khusus yang memiliki aerase.
Dua hingga tiga bulan kemudian propagule telah berubah menjadi tanaman mini (planlet) yang siap diaklimatisasi.
Aklimatisasi dilakukan di rumah kaca selama kurang lebih dua bulan sebelum siap dibudidayakan di laut atau tambak.
Waktu yang dibutuhkan mulai dari persiapan hingga siap dibudidayakan mencapai satu tahun, namun bibit juga dihasilkan sekaligus secara masif.
"Kita berharap tahun depan, produksi bibitnya sudah dapat tersedia untuk petani," pungkasnya.
"Kalau produksi bibit secara konvensional itu kan sangat bergantung pada musim, sehingga kontinuitas pasokannya sulit kita jaga, tetapi dengan kultur jaringan produksi bibit tidak akan terpengaruh musim sehingga bisa tersedia sepanjang tahun," kata Teknisi Litkayasa Penyelia BPBAP Takalar Kasturi yang ditemui di sela Pertemuan Sektor Perikanan dan Kelautan dengan Tema menjadikan Sektor Kelautan dan Perikanan sebagai Pilar Utama Pembangunan Indonesia Timur di Makassar, Selasa.
Selain kontinuitas produksi, Kasturi mengatakan rumput laut yang dikembangkan secara kultur jaringan memiliki berbagai kelebihan di antaranya kualitas hasil panen yang lebih terjamin.
"Kemungkinan keberhasilan panennya hingga 70 persen, dibandingkan konvensional yang peluangnya hanya sekitar 30 persen," ucapnya.
Di sisi lain, bibit hasil kultur jaringan juga lebih bebas penyakit karena ditumbuhkan pada lingkungan steril.
Teknik kultur jaringan untuk rumput laut telah dikembangkan oleh BPAB dalam satu tahun terakhir meski baru terbatas untuk jenis Euchema cottoni.
"Nantinya kita akan mengembangkan untuk semua jenis rumput laut," imbuhnya.
Kasturi menuturkan proses kultur jaringan rumput laut dimulai dari menempatkan potongan rumput laut (eksplan) ke dalam media steril selama dua minggu hingga satu bulan.
Eksplan tersebut kemudian dipindahkan ke media tumbuh padat yang telah diberi zat pengatur tumbuh untuk membentuk kallus.
Setelah terbentuk, kallus akan dipindahkan ke dalam media tumbuh cair dan ditempatkan di atas shaker agar kallus tetap bergerak.
Dua hingga tiga bulan kemudian, kallus telah membentuk propagule yang akan tumbuh menjadi individu tanaman baru.
Pada fase ini propagule dipindahkan ke media khusus yang memiliki aerase.
Dua hingga tiga bulan kemudian propagule telah berubah menjadi tanaman mini (planlet) yang siap diaklimatisasi.
Aklimatisasi dilakukan di rumah kaca selama kurang lebih dua bulan sebelum siap dibudidayakan di laut atau tambak.
Waktu yang dibutuhkan mulai dari persiapan hingga siap dibudidayakan mencapai satu tahun, namun bibit juga dihasilkan sekaligus secara masif.
"Kita berharap tahun depan, produksi bibitnya sudah dapat tersedia untuk petani," pungkasnya.