Makassar (Antara Sulsel) - Jelang kedatangan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla di Makassar, Sulawesi Selatan, tenda yang sengaja didirikan ahli waris pemilik sah lahan Tol Reformasi sebagai bentuk protes menuntut hak kepada Kementerian PU-Pera, kembali dibongkar aparat keamanan.

"Selalu saja kami rakyat kecil didzalimi, setiap kedatangan Presiden maupun Wakil Presiden di Makassar, tenda kami selalu dibongkar aparat dengan alasan sterilisasi. Padahal kami hanya menuntut hak, ini ada apa?," ucap Kuasa Hukum Ahli Waris, Andi Amin Halim Tamatappi, Sabtu.

Menurut dia, sudah tiga kali tenda kependudukan ahli waris dibongkar aparat, mulai kedatangan Presiden Joko Widodo maupun Wakil Presiden HM Jusuf Kalla ke Makassar. Hal ini kemudian muncul pertanyaan mengapa hal itu dilakukan aparat yang punya semboyan mengayomi dan melindungi rakyatnya.

Selain itu, Amin menuturkan, mengapa pihak aparat keamanan baik kepolisian maupun TNI tidak mempertemukan langsung dengan pemimpin negara Indonesia itu untuk berdialog membahas penyelesaian pembayaran ganti rugi lahan yang sudah berjalan 16 tahun itu, bukan malah persoalan ini terkesan disembunyikan.

"Kami hanya menuntut hak, kalau itu dibongkar tentu seakan tidak ada masalah, aparat pun melaporkan aman. Padahal tenda ini dipasang agar Presiden maupun Wapres melihat fakta lapangan yang sebenarnya terjadi, kami ini sudah bertahan empat bulan disitu," ungkapnya.

Kendati pihak ahli waris yang bertahan di lokasi bermasalah ini, tetapi masalah belum selesai. Malah pengelola Tol Reformasi seakan tidak peduli dan terus menarik retribusi pengendara, sementara ada hak orang yang belum dibayarkan pihak Kementerian PU-Pera dengan berbagai alasan.

"Saya kembali dihubungi Intelkam Polsek Tallo meminta tenda dan spanduk diturunkan dan dibongkar, dengan alasan RI-2 mau datang di Makassar, nanti pulang baru dipasang lagi, padahal ini momen penting biar pak JK langsung lihat faktanya, supaya masalah ini cepat selesai, kalau disembunyikan ada apa," ulasnya mempertanyakan.

Rencana kedatangan Presiden maupun Wapres di Makassar, aparat maupun Pemerintah Daerah dinilai hanya memikirkan kepentingan individu lembaganya saja. Namun tidak pernah ada niat memperjuangkan hak warganya yang telah renggut selama 16 tahun oleh Kementerian PU-PR.

"Terus terang kami sangat kecewa dengan sikap aparat pemerintahan maupun kepolisian yang hanya mencari posisi aman dan pencitraan saja. Kami rakyat perlu diayomi dan dibela bukan dibiarkan menderita begini, dimana makna UUD 1945 selama ini menjadi dasar negara kita, "tegas Amin.

Hingga saat ini aksi menduduki lahan tol Reformasi masih berlangsung. Kependudukan itu dimulai pada Rabu 19 Oktober 2016, hingga kini ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya bersama warga setempat tidak berpindah dari lokasi tersebut untuk menuntut haknya.

Aksi kependudukan tersebut terkait belum terbayarkannya sisa ganti rugi lahan seluas 48.222 meter persegi, hingga ada lahan yang belum sama sekali dibayarkan 100 persen seluas 22.134 meter persegi, total seluas tujuh hektar lebih.

Sisa pembayaran itu senilai Rp9,24 miliar lebih. Sementara yang sudah dibayarkan Kementerian PU-Pera pada tahap pertama di tahun 1998 yakni sepertiga lahan seluas dua hektare lebih senilai Rp2,5 miliar saat itu. Total lahan digunakan untuk pembangunan tol sekitar 12 hektare lebih.

Pihak ahli waris pemilik lahan akan tetap bertahan sesuai dengan dasar putusan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA), nomor 117/PK/Pdt/2009 tertanggal 24 November 2010 yang memerintahkan Kementerian PU-PR segera membayarkan sisa ganti rugi lahan mereka yang dibebaskan menjadi jalan tol reformasi Makassar.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024