Makassar (Antara Sulsel) - Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SPAM) Sulawesi Selatan mengecam dugaan tindak kekerasan aparat terhadap perempuan Seko yang mempertahankan tanahnya terkait rencana pembangunan PLTA oleh PT Seko Power Prima di Kabupaten Luwu Utara, Sulsel.

"Kami mengecam tindakan kekerasan terhadap perempuan di Seko dilakukukan oknum aparat saat mempertahankan lahannya yang terjadi belum lama ini di Lutra," kata Ketua SPAM Sulsel Nur Asiah melalui siaran persnya diterima di Makassar, Minggu.

Berdasarkan keterangan warga, sebanyak tujuh perempuan diangkat dan dihempaskan ke tanah dilakukan okum aparat termasuk ratusan perempuan lainnya terkena tembakan gas air mata, karena bertahan mendirikan tenda dan pagar di lokasi pengeboran PLTA setempat, di Kecamatan Seko, Lutra, Sulsel.

"Kekerasan dan kriminalisasi memang kerap terjadi dalam upaya mengamankan kepentingan investasi. Kekerasan yang dilakukan aparat terhadap Perempuan Seko adalah satu bentuk pelanggaran HAM oleh negara," tegasnya.

Menurut dia, negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap masyarakatnya bukan menindas rakyatnya. Pembangunan PLTA itu harus segera dihentikan karena telah merampas sumber kehidupan Masyarakat dan melanggar hak masyarakat adat.

"Kami juga menuntut pemerintah menjamin rasa aman masyarakat karena terjadi adanya korban kekerasan, terutamanya perempuan, serta memastikan upaya pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak dari trauma akibat kekerasan dan teror oknum aparat disana," harap Asiah.

Berdasarkan hasil investigasi SPAM Sulsel bersama PPMAN, saat itu ada kurang lebih empat ratus perempuan mendirikan tenda-tenda dan mendudukinya lahannya tersebar di 10 titik di kawasan tempat pengeboran PLTA, wilayah Poririang dan Ratte. Aksi itu dilakukan agar pihak perusahaan tidak melakukan pengeboran.

Pada 2 Maret 2017, terjadi pemukulan terhadap perempuan petani yang berusaha menghentikan pengeboran di Kampung Ratte oleh aparat. Selanjutnya, pada 27 Maret 2017, aparat kepolisian kembali mengawal aktivitas pengeboran di Kampung Poririang. Saat itu oknum aparat mengancam dengan menodongkan senjata.

"Kami duduk dan bertahan di sana, dan polisi datang dan bilang mau ditembak?. Kami bilang tembak saja, Kami mau bertanya, apakah HAM memang sudah tidak berlaku, bagaimana dengan kami, kami orang kecil, orang bodoh, jadi hak kami tidak dihargai disini," kata Asiah menirukan perkataan warga setempat.

Rencana pembangunan PLTA itu berkapasitas 480 Mega Watt telah memicu konflik dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat adat Seko khususnya perempuan yang sebagian besar berprofesi sebagai petani menggantungkan hidupnya dari hasil pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan.

Sedangkan lokasi pembangunan PLTA ditolak masyarakat Seko Tengah di Desa Tanamakaleang, Hoyane, dan Embonnatana diketahui merupakan wilayah adat masyarakat adat Pohoneang dan Hoyane berlangsung sejak 2012 dan mengemuka pada 2014.

Kala itu, perusahaan dimaksud sudah melakukan pengerjaan tanpa izin dari masyarakat adat seko yang merupakan pemilik tanah dikelola sejak turun temurun. Penolakan masyakarat adat Seko di dasari dengan Perda nomor 12 tahun 2004 tentang Perlindungan Masyarakat Adat.

Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Luwu Utara nomor 300 tahun 2004 tentang Pengakuan Masyarakat Adat Seko, salah satu poin a pasal 10, disebutkan setiap pemberian izin-izin pemanfaatan Sumber Daya Alam di Wilayah Masyarakat Adat Seko harus atas persetujuan Masyarakat adat Seko.

Selain itu, PLTA PT.Seko Power Prima telah melanggar Perda RTRW Kabupaten Luwu Utara nomor 02 tahun 2011. Sebelumnya, masyarakat melakukan penolakan dengan memblokade jalan masuk desa pada Agustus 2015 dan Mei 2016. Penolakan masyarakat disambut dengan kekerasan aparat.

Puluhan Brimob dikerahkan untuk mengamankan aktivitas perusahaan. Intimidasi dan teror melanda kehidupan masyarakat, hingga warga terpaksa mengungsi masuk ke dalam hutan demi menghindari terror dan kejaran aparat, terutama warga laki-laki yang ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).

Bahkan pada Oktober 2016, 13 warga laki-laki ditangkap dan ditahan dengan tuduhan merusak fasilitas perusahaan, hingga akhirnya divonis 7 bulan penjara pada 27 Maret 2017. Ancaman dan kekerasan oleh aparat kepolisian kerap dialami oleh perempuan dan anak-anak di Seko Tengah.

"Kejadian ini terungkap karena salah seorang perempuan Seko mengirimkan surat, menceritakan kekerasan yang mereka alami. Sebab untuk menjangkau wilayah itu diperlukan waktu kurang lebih 12 jam melalui perjalanan darat, dengan medan cukuo sulit ditambah sinyal ponsel tidak ada," bebernya.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024