Makassar (Antara Sulsel) - Lembaga Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menolak keras wacana untuk Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan tidak dipilih langsung masyarakat di daerah.

"Wacana ini yang dihembuskan kader-kader Partai Politik di DPR. Tentu ini pelemahan kewenangan DPD secara terstruktur dan massif," ungkap Direktur Kopel Indonesia Syamsuddin Alimsyah dalam siaran persnya diterima di Makassar, Jumat.

Menurut dia, setelah berhasil memasukkan persyaratan menjadi anggota DPD dapat diisi dari unsur Partai Politik pada Undang-undang pemilu periode lalu, kini penyeleksiannya kembali diusulkan melalui DPRD yang merupakan kader parpol di daerah.

Selain itu, dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan DPRD sebagai bagian dari eksekutif menjadi penyelenggara pemerintahan di daerah.

Melalui Undang-undang itu, lanjut dia, DPRD telah ditiadakan dan dihapuskan dari Undang-undang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD). DPRD saat ini berada di bawah rezim Kementerian Dalam Negeri.

"Bagaimana mungkin DPD bisa menjalankan fungsi `chek and balance` jika model rekruitmennya seperti ini?. Model rekruitmen diwacanakan itu semakin melumpuhkan DPD, apalagi saat ini dipolisasi kader Parpol," katanya.

Selain bertentangan dengan konstitusi, papar dia, masalah lain nantinya akan dihadapi secara internal. Perilaku pragmatisme anggota DPRD justru menjadi titik rawan untuk menjadikan arena `jual beli` dalam proses seleksi DPD. Harus dipahami, lembaga DPRD selama ini adalah salah satu lembaga yang dinilai tidak mampu menjaga integritas.

"DPRD adalah salah satu lembaga terkorup. Data Kopel periode 2009-2014 terdapat 2.169 orang anggota DPRD terjerat kasus korupsi, belum termasuk kasus judi dan narkoba," beber Alimsyah.

Dirinya menyebut, bagaimana mungkin integritas seperti itu akan menyeleksi anggota DPD yang semula DPD terseleksi melalui dukungan langsung masyarakat di daerahnya. Dan nantinya akan rawan politik uang di DPRD pada saat seleksi dan akan tersusupi kepentingan Parpol.

Kedudukan DPD sebagai perwakilan daerah yang tidak merepresentasi Parpol, kata dia, menjadi penyeimbang kewarasan bernegara antara DPR dan Presiden. Akan tetapi jika DPD diseleksi oleh DPRD, maka konfigurasi politiknya akan seratus persen bertopang pada Parpol.

Untuk itu, maka DPD tidak lagi menjadi penyeimbang negara atas konfigurasi Parpol dengan pengawasan dari non Partai di Parlemen.

"Kopel mengimbau agar menjadi tugas kita semua, terutama penyelenggara negara dan penentu kebijakan dan pembuat Undang-undang untuk menjaga marwah DPD dengan mengembalikan semangat awal pembentukannya tanpa Parpolisasi," harapnya.

Dalam pernyataan sikap ini, lanjut Alimsyah, sudah 10 tahun DPD moralitasnya lebih terjaga dibanding DPR. Hanya saja kinerja belum nampak karena kewenangannya yang terbatas. Hingga saat ini DPR tengah melakukan rapat untuk menggodok wacana tersebut.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor :
Copyright © ANTARA 2024