Makassar (Antara Sulsel) - Lembaga Anti Corruption Corupption (ACC) Sulawesi kembali merilis tujuh modus kasus dugaan korupsi yang menggunakan metode Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) agar kasus tidak dilanjutkan oleh penegak hukum di Sulawesi Selatan.

"Berdasarkan catatan, ada tujuh kasus tipikor yang di SP3-kan, baik diterbitkan Kejati Sulsel maupun Kejari Pare-pare," ungkap Wakil Direktur ACC Sulawesi Abdul Kadir Wokanubun di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.

Dalam keterangannya kepada wartawan, Kadir menyebut kasus pertama pada dugaan korupsi proyek Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao tahun anggaran 2009 di Kabupaten Luwu.

Pada kasus ini menjerat tiga tersangka masing-masing Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bambang dan rekanan proyek direksi PT Koya, Ismail serta direkturnya Koya Corporindo, Saleh Rahim dengan anggaran Rp15 miliar, ditaksir kerugian negara Rp5 miliar setelah dilakukan penyelidikan.

Diketahui, ada penyimpanan dua juta pohon dari total 360 ribu pohon. Penyimpanan lainnya di proyek ini tidak sesuai kontrak karena ditemukan ribuan bibit kakao tidak mengikuti proses, meliputi peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi.

Akhirnya, kasus ini kemudian dihentikan penyelidikannya di Kejati Sulsel pada 2013 lalu, padahal bila dihitung sejak putusan pra peradilan, para tersangka dijatuhi hukuman empat tahun, namun putusan itu tidak dijalankan.

Kemudian pada kasus kedua, kasus korupsi Pasar Lakessi Kota Pare-pare, dimana ada dua kasus korupsi pada kasus tersebut. Pertama, pembangunan gedung pasar yang diduga menyebabkan kerugian negara Rp5,4 miliar.

Kedua, biaya sewa pindah lods kepada pedagang dari lokasi lama ke lokasi baru ditarik biaya Rp1 juta dikali 1.600 pedangan, dimana uang tersbut tidak masuk ke kas negara melainkan ke rekening Wakil Wali Kota Pare-pare Andi Faisal Sapada.

Meski Kejati Sulselbar melakukan pemanggilan kepada yang bersangkutan, mantan wali Kota Pare-pare Sjamsul Alam, mantan Kepala UPTD pasar, Suarda, dan mantan Kepala Bagian Keuangan Pemkot Pare-pare Anwar Thalib serta sejumlah pedagang lods untuk membuktikan Pungutan Liar tersebut.

Belakangan Kejati Sulsel kemudian menerbitkan SP3 pada kasus itu pada 2016 dan baru diketahui di 2017, padahal sejumlah alat bukti untuk menjerat pelaku sudah dikatakan cukup untuk memenjarakan pelaku.

Selanjutnya, kasus ketiga, korupsi proyek pengadaan pembelajaran komputer dan perangkat lunak (software) di Dinas Pendidikan digunakan untuk keperluan laboratorium bahasa di beberapa sekolah pada Kabupaten Wajo tahun anggaran 2011 dengan jumlah Rp1,1 miliar

Dalam kasus ini, harga barang di Mark up kemudian belum setahun digunakan sudah rusak, setelah dilakukan penyelidikan, Syahruddin Alrif kini menjabat anggota DPRD Sulsel sekaligus pemilik CV Istana Ilmu yang memenangkan tender ditetapkan sebagai tersangka.

Alhasil, setelah dua tahun proses perjalanan kasus ini, secara diam-diam penyidik Kajati Sulsel mengeluarkan SP3 atau menghentikan penyelidikan atas kasusnya.

Lanjutnya, keempat, kasus pengadaan sapi bunting di Kota Pare-pare. Kasus ini bermula dari penyalahgunaan dana bantuan sosial anggaran sapi bunting yang disalurkan Dinas Perikanan Kelautan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (PKPPK) Pare-pare dengan anggaran Rp600 juta dari APBD provinsi 2012 namun saat pelaksanannya mengakibatkan kerugian Rp300 juta.

Pada kasus ini lima orang ditetapkan menjadi tersangka, tiga ketua kelompok masing-masing, Muh Saleh, Sukardi dan Hasanuddin. Tiga lainnya PPK yakni Ridwan, Juraid dan Hj Damiliah Husein. Namun belakangan Kajari Pare-pare menerbitkan SP3 dengan alasan tidak cukup bukti.

"Alasan tidak masuk akal, tersangka sudah mengembalikan uang Rp60 juta yang diangap tidak merugikan keuangan negara," ucapnya.

Kelima, Sambung Kadir, pada kasus pengadaan gerobak dorong Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pare-pare. Pengadan gerobak sebnayak 50 unit bantuan dari Kementerian Koperasi sebagai bantuan sosial dengan anggaran Rp750 juta dana APBN tahun 2013.

Polisi menemukan adanya indikasi penyalahgunaan anggaran senilai Rp375 juta yang diduga pengadaan fiktif. Rp50 juta masuk ke rekening koperasi diduga diselewengkan. Tiga orang dinyatakan sebagai tersangka yakni Kadis Perindag dan Koperasi Amran Ambar, Suaib selaku PKK dan Ghazali selaku sekertaris kelompok koperasi.

"Tetapi pada 2016 Kejari Pare-pare lagi-lagi menerbitkan SP3 pada kasus ini dengan alasan mengembalikan kerugian negara sebesar Rp35 juta," paparnya.

Keenam, kasus korupsi lampu jalan tahun anggaran 2014 dengan anggaran Rp1,8 miliar di Dinas Tata Kota dan Pengawasan Bangunan Pare-pare. Pada kasus ini tidak sesuai dengan spesifikasi, Kejari lalu menetapkan tiga tersangka pada 2015, tetapi belakangan juga di SP3-kan.

Ketujuh, kasus Gernas Kakao di kabupaten Bone, menggunakan APBN 2009-2010 dengan anggaran Rp7,31 miliar lebih. Pada kasus ini ditetapkan enam tersangka, namun pada 15 September Kejari Bone menerbitkan SP3 dengan dalih tidak terbukti.

Delapan Modus Penerbitan SP3

"Ada delapan modus penerbitan SP3, yakni diterbitkan diam-diam, menahan dokumen SP3, tersangka korupsi diberikan SP3 karena mengembalikan uang, alasan terganjal audit BPK, BPKP dan inspektorat," katanya.

Selanjutnya, pemberian SP3 dilakukan melihat dengan status jabatan dan status politik. Lalu, pemberian SP3 dilakukan pada saat berkurangnya atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi tersebut.

" Pemberian SP3 diduga dilakukan dengan praktek suap dan terakhir, Kejati Sulselbar terkesan membiarkan Kejari dibawahnya leluasa memberikan SP3 tanpa disertai alasan yang patut dipertanggungjawabkan secara hukum," tegas mantan aktivis PMII ini. 

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024