Makassar (Antara Sulsel) - Momentum Hari Anak-Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli, hanya sebagian kecil yang dapat menikmatinya dengan seremonial kecil hingga berskala besar.

Anak dalam arti harfiahnya adalah titipan Ilahi yang menjadi tanggung jawab bagi kedua orang tuanya sebagai organisasi terkecil. Selanjutnya menjadi tanggung jawab negara (pemerintah) sebagai pengayom masyarakat.

"Negara melindungi anak yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, karena itu dalam satu pasalnya disebutkan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara," kata pemerhati anak Dr Hadawiah Hatita yang juga dosen di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Sementara itu, dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilegalisasi oleh Perhimpunan Bangsa Bangsa (PBB), terdapat 10 hak anak yang universal yang harus diberikan kepada anak usia 0 - 17 tahun.

Dari 10 hak dasar anak itu, salah satu diantaranya berhak mendapatkan pendidikan. Poin ini menjadi sangat penting, karena akan menjadi peletak dasar bagi masa depan seorang anak.

Hal itu diakui Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Kota Makassar Andi Tenri Palallo.

Dia mengatakan, meskipun setiap anak melekat hak dasar baik yang menjadi tanggung jawab orang tua maupun pemerintah sebagai perwakilan negara, namun kenyataannya masih ada anak yang menjadi korban kekerasan dari orang terdekatnya maupun orang luar.

Di Kota Makassar sendiri terdapat kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 140 kasus sepanjang 2016 yang ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar.

Dari jumlah tersebut terdapat kasus kekerasan sebanyak 34 kasus, perbuatan cabul terhadap anak 25 kasus, persertubuhan terhadap anak 30 kasus, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 26 kasus, pemerkosaan 6 kasus, penganiayaan terhadap perempuan 10 kasus, membawa lari anak dibawah umur 5 kasus dan trafficking (perdagangan anak) 3 kasus.

Data tersebut hanya yang dilaporkan ke pihak yang berwajib, belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan ke pihak kepolisian atau BP3A Kota Makassar.

Mencermati fenomena itu, Tenri berharap agar semua pihak lebih berhati-hati, khususnya kaum perempuan dan anak yang sering menjadi target tindak kekerasan.

"Kasus yang ditemukan atau dilaporkan di lapangan menjadi fenomena gunung es, artinya masih banyak lagi kasus yang tersembunnyi, karena korban atau keluarganya masih merasa takut, minder atau terancam jika melaporkan ke pihak terkait," ujarnya.

Sementara itu, salah seorang siswa SMP negeri di Makassar, Nurmiati mengatakan, sebenarnya anak-anak tidak butuh seremonial sebagai tanda peringatan Hari Anak-Anak Nasional.

"Kami hanya ingin mendapatkan lindungan dari keluarga dan pemerintah agar merasa aman dan nyaman untuk mendapatkan hak kami," katanya.

Pola asuh anak yang salah, ditambah ketidakpedulian lingkungan dan pemerintah akan menjerumuskan anak dalam bingkai potret diri yang suram.

Kesehatan Rendah

Selain persoalan terkait hukum dan pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian serius, persoalan yang terkait dengan sektor kesehatan juga penting dalam melindungi anak agar mendapatkan hak dasarnya.

"Pandangan kalangan masyarakat, khususnya keluarga bahwa anaknya nanti dikatakan sehat kalau gemuk, itu justeru akan menjerumuskan anak mengidap berbagai penyakit dari kondisi obesitas (kegemukan)," kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (PERDOSSI) Cabang Makassar Dr dr Jumraini Tammase, Sp.S.

Menurut ahli syaraf yang bertugas di RS Regional DR Wahidin Sudirohusodo ini, anak-anak dengan kasih sayang yang salah penempatan dengan mengikuti semua keinginan anak, dapat menjadi pemicu kasus kesehatan pada anak.

"Di era digital ini, anak-anak mudah mendapatkan makanan lewat on line (daring), ataupun makanan instan lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada anak," kata Jumraini.

Dengan kondisi pembuluh darah yang rusak akibat mengomsumsi makanan "junk food", lanjut dia, tidak mengherankan jika anak yang bertubuh gemuk mudah terserang penyakit `stroke` atau jantung.

Berkaitan dengan hal itu, diimbau agar peran orang tua dalam mengawasi jajanan anak sangatlah penting, karena persepsi jika penyakit `stroke` hanya menimpa orang dewasa itu sudah bergeser.

Kalau sebelumnya, Menteri Kesehatan menekankan jajarannya di lapangan untuk menekan penyakit menular seperti demam berdarah, diare, TBC dan disentri yang sebagian pasiennya adalah anak-anak, kini pihak dokter dan paramedis diminta juga untuk fokus menekan penyakit tidak menular (PTM) seperti stroke, diabetes militus (DB) dan jantung.

Apalagi PTM yang dipicu berbagai faktor risiko antara lain gaya hidup tidak sehat, kurang aktivitas fisik dan diet yang tidak sehat, ini juga sudah merambah kalangan anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, apalagi disadari bahwa kesehatan adalah hak setiap warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi.

Anak yang sehat merupakan modal suatu negara untuk tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek. Kesehatan di sini tidak hanya menyangkut fisik, namun terkait juga dengan mental, sosial dan spiritual.

Semua itu tentu menjadi tugas mulia dari para orang tua dan tanggung jawab pemerintah selaku mandatori negara untuk menghadirkan bingkai kehidupan anak dalam menggapai masa depan.

Peran orang tua, lingkungan dan pemerintah akan menentukan masa depan anak yang kini harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan di lapangan, ditambah dengan gempuran era digitalisasi yang menghapus batas ruang dan waktu.

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024