Makassar (Antara Sulsel) - Wakil Presiden HM Jusuf Kalla menyakini dana haji yang akan diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur akan menguntungkan di masa mendatang.

"Resikonya pasti ada, ongkosnya naik haji itu kan dibayar dengan dolar. Kalau tidak diupayakan bisa terkena inflasi, karena daya beli. Untuk itu harus diinvestasikan ke proyek yang menguntungkan," kata Jusuf Kalla di kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.

Menurut Wapres JK, dana haji tersebut berasal dari uang muka para jamaah haji yang mendaftar hari ini dan naik hajinya pada 10-35 tahun ke depan, sehingga dari pada dana tersebut tidak digunakan lebih baik diinvestasikan ke infarstuktur dan usaha lainnya yang menguntungkan.

Selain itu, biaya naik haji dibayarkan menggunakan mata uang dolar, sehingga bila terus disimpan sampai 10 tahun kedepan biaya tentu tidak akan sama dengan pembayaran tahun ini, makanya dicarikan jalan agar bisa menguntungkan.

"Karenanya dana itu harus diinvetasikan misalnya infrastuktur pembangunan jalan tol karena akan meningkat terus pembayarannya dan investasi kelapa sawit juga bisa menguntungkan," ucap Ketua Dewan Masjid Pusat itu.

Bahkan, lanjut pria disapa JK ini, menjelaskan bila diinvestasikan ke jalan tol, kalau keuntungan sampai 15 persen per tahun, maka jauh lebih tinggi dari inflasi malah akan menjadi deplasi.

"Kalau langkah ini tidak dilakukan, bisa bangkut orang, bisa-bisa calon jamaah haji kita tidak akan naik haji, inilah alasan mengapa harus diinvetasikan," jelas Ketua PMI Pusat ini kepada wartawan.

Sebelumnya, rencana ini disampaikan Presiden Joko Widodo usai melantik Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7) bahwa dana haji yang tersimpan di kas pemerintah dapat diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur yang lebih menguntungkan.

Diketahui, berdasarkan hasil auditor 2016, dana haji baik setoran awal, nilai manfaat dan dana abadi umat tercacat mencapai Rp95,2 triliun dan diperkirakan hingga akhir tahun 2017 bisa mencapai Rp100 triliun lebih.

Kendati rencana pemerintah ini diyakini akan menguntungkan, namun disisi lain juga mendapat penolakan dari berbagai lembaga baik bergerak dibidang perlindungan konsumen maupun lembaga islam seperti Majelis Ulama Indonesia.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024