Makassar (Antara Sulsel) - Nilai produksi serta ekspor kakao di Sulawesi Selatan mengalami kelesuan akibat anjloknya harga serta adanya serangan hama sehingga kualitas komoditas itu menjadi kurang baik.

"Serangan hama penggerek buah kakao atau PBK serta jenis imago menyerang biji coklat sehingga hasil tidak sempurna dan mengeras," ungkap Ketua Umum Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Sulsel, Sulaiman H Andi Loeloe di Makassar, Selasa.

Selain hama PBK, serangan penyakit Vaskular Streak Dieback atau VSD sejenis hama perusak juga menyerang batang kakao, bahkan tanaman tersebut bisa mati. Tidak hanya itu faktor lain karena buah kakao busuk dan usia pohon kakao sudah tua.

Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah telah melakukan program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao belum lama ini guna mengganti tanaman kakao yang rusak dan sudah tua hingga tidak berproduksi.

Namun meski program Gernas Kakao dilaksanakan, tetapi dinilai kurang maksimal, karena tidak menyentuh secara keseluruhan.

Ia menyebut dari lahan seluas 1,7 hektare hanya 2,6 persen saja mendapat program Gernas Kakao.

"Masih ada 70 persen lahan yang belum tersentuh. Hal inilah seharusnya menjadi upaya pemerintah untuk melanjutkan program ini agar bisa menjadikan kakao sebagai komoditi primadona unggulan kita di Sulsel," harap dia.

Selain itu, informasi dari salah satu perusahaan pengelola kakao yakni Nestle menyebut bahwa harga kakao menurun terlihat pada grafik ditambah kualitas kakao kurang maksimal.

Pihaknya berharap kepada pemerintah untuk mengatasi hama tersebut dengan memberikan teknologi yang tepat guna agar produksi kakao menjadi meningkat dan dapat membaik di masa mendatang.

"Bila teknologinya sudah ada, tentu memicu semangat petani kakao memproduksi kakao lebih baik. Pupuk juga diperlukan petani agar seimbang, minimal pemerintah membantu dengan memberikan pupuk bersubsidi. Kalaupun ada bibit tanpa dibantu pupuk, sama saja," ucap Sulaiman.

Saat ini sebut dia, ada 254.689 kepala keluarga menjadi petani kakao di Sulsel dengan usia produktif 35-40 tahun keatas. Dari usia 35 tahun hanya 12 persen menyerap, sementara sisanya 62 persen usia 35 tahun ke atas disebabkan kurangnya pembekalan yang baik.

"Seharusnya generasi muda petani kita dibekali pengetahuan dengan baik agar dapat mengembangkan di kampungnya untuk meningkatkan produksi tanaman di Sulsel," katanya.

Berdasarkan data, produksi kakao pada 2016 sebanyak 113.462 ton dengan luas area di SulSel sebesar 236.991 hektare. Sedangkan produktivitas kakao per satu hektare saat ini hanya 656 kilogram per hentar per tahun. Dengan harga Rp20-Rp30 ribu per kilogramnya, biji asalan non permentasi.

Secara terpisah, Ketua Asosiasi kakao Indonesia (Askindo) Sulsel, Yusa Rasyid Ali, memprediksi produksi kakao tahun ini mengalami penurunan dibanding tiga tahun terakhir.

Hal itu disebabkan kurangnya lahan dan perhatian dari pemerintah.

"Di prediksi turun lagi dibanding tiga tahun terakhir sekitar kurang lebih lima persen," sebut mantan anggota DPRD Sulsel itu.

Penggunaan bibit SE Embrio yang diberikan pemerintah, kata dia, hanya bertahan beberapa tahun saja, dimulai 2010-2014. Bibit yang diberikan tidak cocok dengan lahannya sehingga terjadi kerusakan lalu dikembalikan dan mengalami penurunan produksi.

Jumlah produksi kakao pada 2014, lanjutnya, sebanyak 70 ribu ton, pada 2015 produksi kakao turun lima ribu dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan pada 2016 turun kembali sebanyak 60 ribu ton.

"Tentu ada program kegiatan di lapangan agar dapat meningkatkan produktifitas, intensifikasi, dan rehabiltasi tanaman baru. Bila tidak dilakukan maka komuditi akan digantikan misalnya kelapa sawit, jagung dan kacang-kacangan yang memiliki nilai ekonomis," ucapnya.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2025